LIMA

Tiga tahun berlalu, tak terasa Nara tumbuh menjadi gadis cantik, yang dulu bertubuh kecil dan mungil, kini tumbuh menjadi gadis yang memukau. Tubuhnya yang tinggi dan proporsional menjadi pusat perhatian di kampusnya di Semarang. Seiring bertambahnya usia, Nara mengembangkan kepercayaan diri yang tinggi, kecerdasan yang tajam, dan kerap kali berbicara dengan kata-kata yang pedas namun tetap elegan.

Setiap langkahnya di koridor kampus,seakan memanjakan mata para kaum Adam. Nara selalu terlihat dengan headphone yang melingkar di leher jenjangnya, simbol dari kecintaannya pada musik dan dunia pribadinya yang ia ciptakan.

Headphone tersebut bukan hanya aksesori, tapi juga pelindung dari hiruk-pik dunia sekitar, memungkinkannya untuk tenggelam dalam pikiran dan musik kesukaannya.

Gadis itu tidak hanya dikenal karena kecantikannya, tapi juga karena kecerdasannya. Nara seringkali menjadi pusat diskusi di kelas, menyampaikan argumen dan pandangan dengan logika yang kuat, yang seringkali membuat yang lain terdiam. Kombinasi keberanian dalam berbicara dan kecerdasannya menjadikan Nara sosok yang dihormati teman sekelas dan kakak tingkatnya.

Nara, yang biasa disapa Nana, tengah asyik meresapi setiap kata dalam buku yang dipegangnya. Ranting dan dedaunan pohon yang rindang menyediakan naungan sempurna, membuat suasana membaca menjadi sangat nyaman. Tiba-tiba, kerimbunan itu terpecah oleh suara langkah kaki yang berlari mendekat.

Sasa, sahabat Nana, muncul dengan nafas terengah-engah, matanya berbinar menemukan Nana di tempat yang sudah biasa. "Hey, tumben gak ngantin, Na?" tanya Sasa dengan nada gembira, sambil menyodorkan pisang coklat yang masih hangat dari kafe di depan.

Nana tersenyum, merespon sambil menunjukkan bagian pisang coklat yang baru saja digigitnya, "Em, enak," ucapnya, mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju.

Sasa terkekeh, matanya menatap Nana dengan penuh keakraban. "Ya lah enak, apa lagi gratis," timpalnya, menambahkan canda dalam obrolan ringan mereka.

Mereka berdua tertawa sejenak, menikmati simpul persahabatan yang selalu terjalin di antara mereka. "Na, ayok ke kelas," ajak Sasa, mengalihkan topik dengan semangat. Nana menutup bukunya perlahan, mempersiapkan diri untuk melangkah bersama sahabatnya menuju rutinitas selanjutnya di dalam kelas Pak Anwar.

Matahari sore yang hangat menerpa wajah Nara, sinarnya menembus dedaunan yang menaungi tempat duduknya di taman kampus. Dia tersenyum lebar, matanya berkilau penuh semangat saat sebuah ide cemerlang untuk novel terbarunya muncul di benaknya. Tangan kanannya bergerak cepat, menulis garis besar cerita di buku catatannya.

Sasa, yang baru saja mengakhiri kelasnya, menghampiri Nara dengan langkah gontai. Dia menyipitkan matanya, mencoba memahami apa yang membuat sahabatnya itu begitu gembira sendirian. "Kenapa Na? Apa ada yang lucu?" tanyanya dengan kening yang berkerut, penasaran.

Nara menoleh, senyumnya semakin lebar. "Hem, aku dapat ide baru untuk novelku," ujarnya, semangatnya terasa sampai ke ujung jari. Dia berdiri, menutup buku catatannya dengan cepat.

"Yuk ke Kafe, aku butuh suasana tenang," ajak Nara, tak sabar ingin mulai mengembangkan ide tersebut.

"Hem, let's go," sahut Sasa, mengikuti langkah Nara yang sekarang lebih cepat menuju kafe kesayangan mereka, tempat dimana ide-ide Nara sering kali berubah menjadi kisah yang memikat para pembaca.

Nara sedang menikmati pemandangan kota dari ketinggian kafe ketika tiba-tiba dia merasakan sentuhan di punggungnya. Sebuah tangan besar milik pria asing yang duduk di belakangnya itu tampaknya mencoba menyentuhnya. Dengan refleks, Nara yang merasa dilecehkan segera berdiri dan tanpa ampun menyiramkan minuman dingin yang sedang ia nikmati ke wajah pemuda itu.

"Wajah pemuda itu basah kuyup, dan dia terkejut dengan tindakan Nara. Nara, dengan wajah memerah dan mata yang menyala karena marah, tak bisa menahan emosinya.

"Dasar pria mesum, beraninya kamu narik tali braku," teriak Nara, suaranya menggema di seluruh kafe. Pemuda itu hanya bisa terdiam, tampak malu dan kebingungan sambil memahami situasi yang terjadi. Nara masih berdiri tegak, menatap tajam ke arah pemuda itu, seolah ingin mengukir rasa jijik dan kemarahan yang dia rasakan ke dalam hatinya.

Namun saat Nara hendak melemparkan gelas plastik ke arah pria itu, tiba tiba pemuda itu membuka suaranya dengan sarkas.

"Apa kamu bilang,aku menarik bramu?"Ucap pemuda itu dengan tersenyum kecut.Pria itu lantas melemparkan kumbang besar yang baru saja ia ambil dari punggung Nara, tepat di atas meja gadis ber paras ayu itu.

Sontak seluruh pengunjung kafe menatap ke arah Nara, seakan menghakimi tindakan yang baru saja Nara lakukan pada pemuda berhidung mancung itu.

"Apa...! jadi....kamu..." ucap Nara terbata,  langsung membekap mulutnya, berkali kali Nara menelan ludahnya yang begitu terasa serat.

"Lain kali berpikirlah sebelum bertindak," ucap Pemuda itu dengan suara dingin. Nara tertegun, belum sempat Nara meminta maaf atas kesalah pahaman yang terjadi, pemuda itu langsung melangkah meninggalkan mejanya,tanpa memperdulikan panggilan Nara.

"Mas tunggu, ini salah paham"ucap Nara mengejar pemuda itu.Sayangnya pemuda itu tak mempedulikan apa yang Nara ucapkan. Sepertinya pemuda itu terlanjur kesal, karena dipermalukan Nara di depan umum.

Nara lantas terpaku di depan kafe, wajahnya pucat pasi dan tangan kirinya masih gemetar. Matanya tak bisa lepas menatap mobil hitam  yang kian menjauh, hatinya berkecamuk dengan rasa bersalah yang mendalam.

"Maaf, sungguh aku minta maaf," gumamnya  lirih, suaranya terbata-bata.

Sasa, sahabatnya, mendekap bahu Nara sambil mengusap punggungnya yang terkulai lemas.

"Tenang, Na. Ini hanya kesalah pahaman saja. Lagipula, kamu terprovokasi oleh tindakan yang kamu pikir beliau melecehkanmu kan," kata Sasa mencoba menenangkan.

Namun, Nara terus melayangkan pandangan kosongnya, memori tentang kejadian barusan, terasa seperti mimpi buruk baginya.

"Tapi, Sa... aku sungguh keterlaluan, bagaimana bisa aku mempermalukannya di depan umum. Padahal beliau berniat baik padaku" sesal Nar, Sasa terdiam tak tahu harus berkata apa.

"Bahkan, Aku malah membuatnya berlumuran susu milo di wajah dan kemejanya. Dia pasti merasa terhina di hadapan banyak orang. Aku harus menebus kesalahanku Sa" lanjutnya lagi. Rasa bersalah Nara semakin menjadi.

Sasa menghela napas, "Jika begitu jalan satu satunya, Kita harus mencari tahu di mana dia tinggal, atau setidaknya tempat kerjanya. Mungkin kamu bisa minta maaf secara langsung. Itu akan lebih baik."

Nara mengangguk, seakan berpegang pada harapan kecil itu. "Aku harus mencarinya, Sa. Aku harus,menemukan pria itu" tekadnya mulai pulih, meskipun rasa bersalah di hati masih begitu nyata.

Ditempat berbeda Pemuda itu terrus merutuki tindakan gadis barbar yang tak tahu terima kasih.

"Hem..dia pikir, dia siapa, sungguh konyol," omel pria berhidung mancung itu, sambil menatap kemejanya yang bernoda.

Keesokan harinya, Nara bergegas ke kampus, karena ia harus ke perpustakaan pagi ini. Untuk mengembalikan buku yang ia pinjam. Setelah ia menyelesaikan buku pinjamannya di perpus, Nara kembali ke ruang kelas untuk mengikuti pelajaran dosen baru lulusan Harvard.

Nara duduk manis di kursi paling depan tepat di hadapan meja dosen. Nara terbiasa diduk di kursi paling depan, gadis itu asik membaca buku yang baru ia pinjam dari perpus,dengan telinga ditutup Headphone. Namun tampaknya Nara hanyut dengan buku yang ia baca, hingga Nara tak menyadari jika dosen manajemen bisnis yang baru sedang memasuki ruang kelasnya.

Sasa yang merasa tak asing dengan sosok dosen itu, sontak menyenggol tangan Nara yang tergeletak di atas meja, dengan mata fokus ke buku bacanya.

"Na, dia..." bisik Sasa sambil melepas Headphone yang melekat ditelinga sahabatnya. Merasa terganggu, Nara menoleh menatap Sasa.

"Apa...?" tanya Nara tanpa dosa. Sasa kembali menelan ludahnya.

"Pria itu..." bisik Sasa dengan pandangan terarah ke meja dosen.

Sontak Nara mendongak dengan wajah memucat menatap kearah dosen yang duduk penuh wibawa di kursinya.

"Ooo..tidak..." batin Nara merasa terancam nyawanya saat itu juga.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!