Gue buang pandangan, senyum kecil sambil geleng-geleng kepala.
"Lo nggak seharusnya ngomong gitu ke pelanggan."
"Gue cuma ngomong yang jujur."
Kita diam lagi.
Kali ini lebih lama.
"Bagaimana cara lo ngelakuin itu?" tanya Gue akhirnya.
"Maksudnya?"
"Lo bisa dekat sama orang dengan gampang gitu, bagaimana caranya?"
"Hmm..." Phyton pura-pura mikir. "Apa ya? Mungkin karena gue emang terlahir buat jadi orang yang menyenangkan. Ini bakat sekaligus kutukan."
Gue angkat alis. "Kutukan?"
Dia mengangguk terus berdiri. Pelan-pelan dia turun dari tangga kayu sampai ke trotoar.
Phyton memperhatikan gue dari bawah. "Kalau lo gampang dekat sama semua orang dan selalu jadi pusat perhatian, kadang lo juga narik seseorang yang salah."
Kata-katanya bikin gue keingat sama lebam di lengannya. "Lo pernah ngalamin?"
Dia mengangguk lagi, masih dengan senyum di wajahnya.
"Berkali-kali. Tapi ya, gue masih di sini, kan?"
Gue memperhatikan dia. Celana jeans-nya sudah agak lusuh, kemeja putihnya juga kelihatan kusut di beberapa bagian. Dan di situ gue sadar. Gue nggak tahu siapa Phyton sebenarnya.
Dia kelihatan ramah, gampang akrab, tapi gue benaran nggak tahu apa-apa soal dia. Dan gue pengen tahu.
Gue bisa gampang nyambung sama Bessie dan Phyton, dan itu bikin gue merasa nggak sendirian. Mereka bikin gue percaya kalau berteman itu gampang.
"Phyton."
Gue nggak tahu bagaimana cara tanya ini, jadi gue cuma jilat bibir sebentar, mencari kata-kata, sementara dia nunggu dengan mata yang waspada tapi tetap senyum santai. Dan akhirnya gue keluarin aja pertanyaannya:
"Lo baik-baik aja?"
Dia kerutkan alis. "Kok tiba-tiba tanya gitu?"
"Lengan lo... Gue nggak sengaja lihat lebamnya."
Senyumnya langsung pudar. Tangannya saling menggenggam di depan perutnya, refleks karena gugup.
"Gue baik-baik aja, kok. Nabrak pinggiran pintu doang. Lo tahu sendiri, tempat kita nyiapin kopi tuh sempit banget. Lagi asik nyeduh kopi, tahu-tahu nggak sadar ada sudut tajam di—"
"Phyton."
"Serius, gue nggak lihat sudutnya pas itu. Bodoh banget, ya? Sudut meja itu jelas banget—"
"Barusan lo bilang kejedot pintu, kan?"
Phyton langsung pucat, mulutnya terbuka kayak mau ngomong, tapi terus dia diam beberapa detik sebelum akhirnya mencoba buat menyelamatkan diri, "Kayaknya gue kebanyakan minum, sampai nggak sadar ngomong apa."
Tapi gue nggak nyium bau alkohol sama sekali pas dia ada di sebelah gue. Dia bohong. Dan gue mengerti kenapa. Kita baru kenal, dan gue sudah mengusik sesuatu yang jelas sensitif buat dia.
Tapi diam bukan pilihan kalau ini soal keselamatan seseorang. Kalau ada yang butuh bantuan, gue nggak bisa pura-pura nggak lihat.
Gue berdiri, turun dari tangga pelan-pelan. Phyton memperhatikan gue dengan hati-hati.
"Gue nggak tahu ada apa, tapi gue di sini." Gue tatap matanya dalam-dalam. "Apa pun yang lo butuhin."
Phyton buang pandangan ke samping.
"Lo bahkan nggak kenal gue. Jangan ngomong hal sedalam itu ke orang asing."
"Kenal atau nggak, kalau lo dalam bahaya, gue bisa bantu."
"Gue baik-baik aja."
"Phyton."
"Gue mau ke Selma aja, mumpung lo masih jadi pengecut buat samperin dia."
Dia melangkah, mencoba melewati gue, tapi gue refleks pegang lengannya pelan buat nahan dia.
"Tunggu."
Phyton langsung melepas tangannya dari genggaman gue. "Gue bilang gue baik-baik aja. Lo cuma halu, melihat sesuatu yang nggak ada. Lo bukan siapa-siapa buat ikut campur urusan gue."
Gue langsung berdiri di depannya, menghalangi jalannya.
"Phyton, dengarin gue."
Dia kelihatan mau dengar... tapi tiba-tiba matanya melewati gue, fokus ke sesuatu di belakang.
Dan ekspresinya berubah total.
Senyumnya hilang.
Matanya kosong.
Atau lebih tepatnya... takut?
"Apa yang terjadi di sini?"
Suara laki-laki dengan nada serak terdengar dari arah pintu. Pas gue nengok, gue langsung lihat cowok berambut hitam itu, yang dari tadi nggak jauh-jauh dari Phyton.
"Nggak ada apa-apa." Phyton buru-buru jawab.
Gue bisik-bisik, masih memperhatikan dia, nggak lepas dari ekspresinya yang tegang. "Phyton… ini dia, kan? Kalau lo nggak—"
"Eh, anak baru, kenapa lo bisik-bisik?" potong cowok itu.
Gue berbalik buat hadapi dia. Dari atas tangga, dia kelihatan jauh lebih mengintimidasi daripada sebelumnya.
"Emangnya kenapa gue harus jelasin ke lo?" balas gue, nggak mundur.
Dia miringkan kepala, kasih senyum tipis yang sama sekali nggak kelihatan ramah.
"Lo nggak, perlu. Tapi dia harus."
Dia nunjuk ke Phyton, yang langsung buru-buru jawab, "Kita cuma ngobrol."
Cowok itu sempat diam sebentar sebelum mengeluarkan suara yang lebih dingin. "Siapa yang ngizinin lo keluar dari pesta?"
Phyton langsung nunduk. "Gue cuma butuh udara."
"Oh, gitu."
Gue nggak percaya ini benaran terjadi di depan mata gue.
Nih orang apaan, sih?
Firasat gue makin kuat, dia pasti ada hubungannya sama lebam di tubuh Phyton.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Ummi Yatusholiha
𝚔𝚊𝚜𝚒𝚊𝚗 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗, 𝚔𝚊𝚢𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚍𝚒𝚊 𝚍𝚒 𝚋𝚊𝚠𝚊𝚑 𝚊𝚗𝚌𝚊𝚖𝚊𝚗 𝚝𝚞𝚑 𝚌𝚘𝚠𝚘𝚔 𝚍𝚎𝚑
2025-03-13
0