...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
Gue kangen banget lari pagi.
Butuh waktu empat minggu buat benar-benar pulih, sampai akhirnya dokter mengizinkan gue olahraga lagi. Secara fisik, gue udah balik normal.
Tapi secara mental?
Itu cerita lain.
Gue masih sering kebangun gara-gara mimpi buruk, mimpi di mana gue dihajar habis-habisan sama cowok-cowok itu, gak ada habisnya. Dan sekarang, tiap kali hujan turun, mood gue langsung hancur.
Jam setengah tujuh pagi, pas gue masuk ke apartemen. Gue tutup pintu lalu jalan masuk ke lorong yang masih remang-remang karena matahari belum nongol. Begitu sampai dapur yang lumayan luas, gue nyalain lampu.
Dari ujung lorong kamar, kepala Dino yang masih acak-acakan muncul, matanya masih setengah melek. "Ngapain lo udah bangun sepagi ini?"
"Baru habis lari."
"Jam..." Dia menyipitkan mata, mencoba baca jam di microwave. "Jam enam pagi?"
"Setengah tujuh."
"Anjir, bahkan kakek gue aja gak bangun sepagi itu buat lari."
"Kakek lo gak pernah lari," gue nyeletuk santai sambil taruh kunci di atas meja dapur.
"Nah, benar."
"Lo sendiri ngapain udah bangun?" tanya gue sambil buka kulkas dan ambil sebotol air. "Eh..."
"Selamat pagi!"
Tiba-tiba suara cewek heboh menggema di apartemen. Seorang cewek yang udah cukup sering gue lihat lewat di samping Dino dengan energi yang gak ada habisnya.
Namanya?
Vey.
Dia itu apa-nya Dino?
Gue juga gak punya jawaban. Kadang mereka kayak pasangan normal, kadang kayak orang asing yang gak saling kenal. Gue gak ngerti, karena gue bukan tipe orang yang kepo. Yang penting buat gue, Dino asik diajak nongkrong, meski awalnya gue kenal dia gara-gara Kakak gue, Anan, sekarang dia jadi salah satu teman dekat dan juga roommate gue di sini.
Jujur aja, punya dia sebagai roommate di minggu-minggu pertama kuliah itu berkah banget. Setidaknya gue gak merasa sendirian. Dino selalu punya cara buat bikin gue sibuk, jadi gue gak kebanyakan waktu sendiri buat kangen sama rumah. Gue kangen banget sama Kakek, Antari dan istrinya, Ellaine, sama anjing-anjing gue. Tapi yang paling bikin kangen adalah Ailsa, keponakan gue. Gue gak pernah nyangka bisa sekangen ini sama dia.
"Asta?"
Gue kedip-kedip, sadar Vey sekarang ada di sebelah gue, mengibaskan tangannya di depan muka gue.
"Masih tidur, nih?"
Gue senyum tipis. "Pagi, Vey."
Dino menguap lebar, terus jalan ke arah dapur buat gabung sama kita.
"Ya udah, mumpung kita udah bangun semua, sarapan yuk?"
Gue langsung angkat kepalan tangan buat tos sama dia. Dino jago masak, dan itu skill yang baru lo hargai setelah lo harus tinggal sendirian.
Gue?
Masak?
Jangan harap.
Satu-satunya yang gue bisa cuma bikin dessert, dan gak mungkin juga gue hidup cuma dari kue sama roti manis tiap hari.
"Lo mau sarapan apa?" tanya Dino sambil mainin matanya. "Mau yang ala-ala Eropa? atau yang full American breakfast?"
Dino membungkuk buat ngeluarin wajan dari laci. Tapi Vey malah ambil kesempatan buat berdiri di belakangnya, merangkul pinggangnya, terus goyang-goyangin badannya dengan gerakan yang… ya, lo tahu lah.
"Udah, stop!" bisik Dino sambil balik badan dan langsung cium Vey dengan penuh semangat, membantingnya pelan ke meja dapur.
Gue melipat tangan, merasa geli sendiri.
Mata gue langsung pindah ke arah lain, fokus memperhatikan lukisan buah pir yang tergantung di tembok dapur. Gue udah biasa sih sama kelakuan mereka, tapi tetap saja, bisa gak, sih, cari waktu dan tempat yang lebih pas?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Teh Euis Tea
msh bingung sih sm ceritanya tp tetep ku coba baca
2025-03-03
1
Ummi Yatusholiha
dasar teman luck nut 🤭🤭
2025-03-06
1