Si Paling Bucin

Gue melihat wajahnya yang pelan-pelan seperti dapat pencerahan. Terus dia pasang ekspresi sok kaget. "Gila sih, itu gila banget. Asta yang kalem gini ternyata diam-diam yang paling bucin, ya?"

Dia bercanda sambil ketawa.

Gue ikut ketawa kecil. "Gue emang orang paling gampang ditebak."

Dia ketok lengan gue pelan. "Terus? Nunggu apa lagi? Kenapa nggak lo samperin?"

"Gue nggak jago sosialisasi."

Bessie cuman nyengir. "Iya, gue tahu, Asta."

Kita geser sedikit ke samping supaya nggak menghalangi orang yang lewat. Bessie bersandar ke dinding, menyilangkan tangannya di dada.

"Kayaknya kita perlu latihan buat ningkatin skill sosialisasi lo."

"Lihat, siapa yang ngomong? Emang lo jago bersosialisasi?"

Bessie langsung pasang ekspresi sok tersinggung. "Asal lo tahu aja, gue punya banyak teman."

"Iya, iya—"

"Asta!"

Tiba-tiba ada suara lain yang manggil gue.

Gue melihat rambut biru menyelip di antara kerumunan sebelum akhirnya dia sampai ke tempat kita berdiri.

Phyton.

Dia senyum lebar, pipinya masih ada semburat merah seperti biasanya. Dan saat itu juga, gue sadar… itu bukan karena panas di kafe tempat dia kerja atau gara-gara emosi. Itu emang bagian dari dia. Phyton punya pipi yang agak kemerahan.

"Asta! Dan Nona Bessie." Phyton membungkuk sedikit, sok sopan.

"Kalian berdua saling kenal?" Bessie ganti-gantian nunjuk kita berdua.

Phyton mengangguk. "Asta pelanggan tetap di Teras."

"Serius?" Bessie melihat gue kayak nggak percaya. "Kok gue nggak pernah lihat lo di sana?"

"Dia selalu dateng pagi, lo biasanya ke sana sore," jelas Phyton sambil naruh tangan di pinggang, terus menatap gue. "Gue seneng lo akhirnya dateng. Udah ngomong sama Selma?"

Bessie langsung mengeluarkan napas panjang. "Menurut lo, Phyton? lihat deh, tatapan anak anjing terlantar itu."

Phyton geleng-geleng kepala. "Lo butuh bantuan? Gue jago urusan gini-ginian."

"Gue baik-baik aja," jawab gue, meskipun agak malu.

Phyton langsung ngobrol sama Bessie, kasih ide-ide buat samperin Selma. Tapi gue malah fokus ke satu hal lain.

Tanpa sadar, Phyton garuk-garuk lengannya sendiri, terus betulkan lengan bajunya sampai ke atas bahu. Dan saat itu juga, gue lihat…

Lebam.

Bekas memar di kulitnya.

Jelas banget kayak bekas jari-jari tangan yang mencengkram terlalu keras.

Gue langsung mengerutkan alis. Phyton berhenti garuk-garuk, terus benerin lagi lengan bajunya.

Mata kita ketemu.

Gue pengen banget tanya, "Lo nggak apa-apa? Lo butuh bantuan?"

Tapi gue tahu… itu bukan pertanyaan yang bisa gue lempar begitu saja di tengah pesta kayak begini.

Di depan Bessie, gue rasa ini bukan hak gue buat tanya, tapi ya sudah lah, bakal gue lakuin pas ada kesempatan lain.

Pandangan gue beralih ke pojok, tempat gue tadi lihat Phyton pertama kali. Di sana ada cowok berambut hitam, lagi merokok sambil ngobrol serius sama cowok lain.

"Ada yang aneh sama nih orang..." pikir gue.

Gue balik melihat ke Phyton lagi. Dia ketawa bareng Bessie, mereka ngobrolin kejadian waktu Bessie nggak sengaja numpahin kopi dan mereka harus bersihin lantai bareng.

Gue lirik lagi cowok berambut hitam itu. Mereka kayak dua kutub yang beda banget. Phyton tuh ceria, penuh energi, sedangkan cowok ini... ada aura gelap yang mengikuti dia ke mana-mana.

"Asta, lo ngelakuin itu lagi," keluh Bessie.

"Hah?"

"Lo kebanyakan mikir, nggak ngomong apa-apa. sudah sepuluh menit lo diam aja."

"Oh... maaf."

"Jadi, lo ada rencana nggak?" Bessie nunjuk ke arah Selma pakai bibirnya. Gue mengikuti arah tatapannya, dan di sana ada cewek pirang yang dari tadi nggak berhenti senyum.

Pikiran gue langsung balik ke malam itu. Siluetnya di tengah gelap, payungnya, suaranya. Mungkin itu alasan kenapa jantung gue langsung deg-degan tiap lihat dia. Cara kita bertemu, susah buat dilupain. Tapi gue harus bisa santai, nggak mau bikin dia takut.

"Gue butuh udara," kata gue sambil muter balik ke lorong yang menuju pintu masuk.

Begitu keluar, udara malam langsung menyambut gue. Gue duduk di tangga depan, memperhatikan langit yang malam ini kosong, nggak ada bintang.

Gue dengar langkah kaki dari belakang, dan pas gue lihat ke belakang, ternyata Phyton. Dia duduk di sebelah gue, tapi nggak ngomong apa-apa. Gue balik melihat ke depan, diam saja.

Selama beberapa detik, kita cuma diam.

"Pertama kalinya gue kenal seseorang yang namanya Asta."

Gue menghela napas.

"Oh, ya?"

"Umm."

Gue sedikit nengok ke dia, masih duduk di sebelah gue, rambut birunya tetap berantakan ke segala arah.

"Kenapa?"

Phyton menyandarkan kepalanya ke belakang, matanya menempel ke langit.

"Harus banget gue jelasin?"

"Iya."

Dia angkat bahu terus memperhatikan gue.

Hening.

Terpopuler

Comments

Ummi Yatusholiha

Ummi Yatusholiha

𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗 𝚜𝚞𝚔𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚊𝚜𝚝𝚊 𝚔𝚊𝚑

2025-03-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!