Cinta Pertama

Setelah mandi dan menghabiskan beberapa jam buat rebahan di sofa, gue baru sadar apartemen gue belakangan ini berasa kosong banget.

Vey masih belum balik sejak kejadian itu, waktu gue mabuk dan melepaskan ucapan bego itu, sementara Dino hampir gak pernah ada.

Gue belum sempat minta maaf ke Vey, dan gue juga gak pengen kirim pesan duluan.

Tapi kenapa, sih?

Toh, sekedar kirim pesan minta maaf saja.

Semua itu emang lebih gampang kalau ngobrol langsung. Rasanya beda, bilang sesuatu secara tatap muka dibanding nulis dan berharap orang lain menangkap maksudnya dengan benar. Soalnya, kalau cuma tulisan, orang bisa baca dengan nada yang mereka tentuin sendiri.

Gue buka Instagram, sekadar buat hiburan, memperhatikan story orang lain. Pas lewat story-nya Selma, ada foto buram dia di depan cermin, lagi pakai lipstik pink, sama kayak yang dia pakai waktu kita ketemu.

Ada tagar #Readyforparty, jadi kayaknya dia benaran bakal dateng ke pesta yang Phyton bilang.

Gue tahan jari di layar biar story-nya nggak hilang, terus gue perhatiin fotonya. Dia kelihatan happy. Dan itu bikin gue mikir, kayaknya dia benaran nggak ada niatan buat menghubungi gue lagi atau mengajak ketemu.

Ah, Asta, lo jangan kebanyakan mikir sendiri.

Gue lepas jari dari layar, dan story selanjutnya malah bikin gue senyum.

Niria.

Cinta pertama gue, first time gue, cewek yang pernah menghancurkan hati gue tapi juga yang menyembuhkannya sebelum dia pergi ke universitas.

Gue masih ingat banget sore itu, setahun yang lalu....

....Angin pantai bikin rambut hitamnya berkibar ke samping. Kita duduk di pasir, menghadap ke laut, kadang-kadang ombak menyentuh kaki kita.

Kita habisin weekend bareng, cuma berdua, di villa dekat pantai milik temannya Niria. Gue sendiri nggak yakin kita tuh sebenarnya apa. Kita nggak pacaran, tapi juga nggak dekat sama orang lain. Minggu depannya, Niria bakal pergi ke universitas.

"Lo merasa, nggak, laut itu kayak nggak ada ujungnya?" Gue lihat dia dari samping. "Luas banget,... bebas."

Gue menghela napas, terus balikan pandangan ke laut. "Mungkin."

"Gue merasa kayak laut," katanya sambil genggam tangan gue di atas pasir. "Gue pengen ke universitas, pengen berpetualang, kenal orang baru, dan gue pengen banyak hal."

Aduh.

Tapi gue langsung nyoba buat balikin keadaan.

"Anan sama Zielle mau coba LDR, kenapa kita nggak bisa?" Nada suara gue hampir kayak lagi mohon-mohon.

Niria makin kenceng genggam tangan gue, terus mukanya makin dekat.

"lihat gue, Asta," dia nyuruh, dan gue nurut. Tatapan gue tenggelam di matanya yang hitam pekat. "Sekarang bilang jujur, ini benaran yang lo mau?"

Gue buka mulut, tapi nggak ada kata yang keluar. Terus gue tutup lagi. Niria usap pipi gue dengan lembut.

"Kita berdua masih punya banyak hal buat dijelajahin sendiri-sendiri," katanya. Gue tahu persis maksudnya. "Gue pengen kita biarin aja semuanya kayak gini... tetep indah, tetep bebas, dan tetep ada rasa sayang di antara kita."

Gue nggak bisa nahan perasaan yang mulai numpuk di dada.

"Gue sayang lo, Niria." Gue cium dia, karena gue bisa merasakan apa yang kita punya mulai larut sama angin laut. "Gue sayang lo," ulang gue, tepat di bibirnya.

"Gue juga sayang lo, Asta. Ih jari-jari lo jangan usil."

Kita berdua ketawa, dan gue cium dia lagi, pengen menikmati tiap detik terakhir yang kita punya.

Pikiran gue terbawa ke malam pertama kali gue lihat dia, di klubnya Antari. Dia tiba-tiba muncul di samping gue, senyum sambil goyangkan badannya, seperti mengajak biat lupain semua yang bikin kepala berat.

Gue ingat banget waktu itu gue sempat mikir, "Gila, dia cakep banget."

Apalagi pas dia senyum, wajahnya benar-benar bersinar.

Tapi Niria bukan cuma sekadar manis. Dia dengarin gue lebih dari siapa pun, mengerti gue luar dalam tanpa pernah menghakimi.

Kita emang pantas dapat akhir yang indah kayak gini, romantis, masih saling sayang, tanpa harus saling mengikat. Karena cinta yang sesungguhnya nggak mengekang, nggak bikin sesek, dan nggak membatasi kita...

Jadi, pas gue lihat story-nya, gue langsung senyum lebar karena ya… dia benar. Buat gue, Niria bukan kenangan pahit atau yang nyakitin, dia itu kebebasan dan kasih sayang yang nggak ada habisnya.

Di story-nya, dia lagi di pesta penuh lampu warna-warni, loncat-loncat sambil megang cup merah, teriak-teriak kayak orang gila, rambutnya goyang ke segala arah. Auranya benar-benar bikin seneng.

Di story berikutnya, dia nyium cewek berambut merah. Gue senyum lagi. sudah beberapa bulan ini dia pacaran sama cewek itu, dan kelihatan banget bahagianya. Niria emang nggak pernah suka sama yang namanya rasis. Dia selalu bilang kalau dia itu fleksible, jatuh cinta sama orangnya, bukan sama gendernya.

Gue langsung reply story-nya pakai emoji hati, dan nggak nyampe semenit, eh, dia nelepon lewat video.

"Astaaaa!” Niria teriak sekenceng-kencengnya, hampir bikin gendang telinga gue copot. Suara musik, suara orang ngobrol, semua berantem di latar belakang, tapi gue masih bisa melihat sekilas wajahnya.

“Jangan bilang lo cuma di rumah doang, bego!”

Gue ketawa kecil, karena gue tahu percuma ngomong, dia pasti nggak bakal dengar dengan suara sekacau itu.

“KELUAR SEKARANG, Asta Batari!” Dia teriak lagi sebelum tiba-tiba matiin teleponnya.

Gue lihat HP, terus lihat diri sendiri.

Ya sudah lah.

Dengan semangat, gue ambil barang-barang gue dan pergi ke pesta.

Terpopuler

Comments

Ummi Yatusholiha

Ummi Yatusholiha

𝚝𝚎𝚛𝚒𝚖𝚊𝚔𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚢𝚊 𝚊𝚜𝚝𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚗𝚒𝚛𝚒𝚊,𝚐𝚎𝚐𝚊𝚛𝚊 𝚍𝚒𝚊 𝚊𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚐𝚘 𝚝𝚘 𝚙𝚊𝚛𝚝𝚢.
𝚜𝚎𝚖𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚍𝚘𝚗𝚐 🥰🥰

2025-03-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!