...“Terkesima. Cukup buat jantung berolahraga hampir limbung karena masih belum percaya tersapa dua bola mata.”...
...🍬🍬🍬...
Aroma-aroma kelembutan masih berdesir dalam hati, mengalirkan rasa syukur bisa merasakan bulan penuh mulia, Ramadhan tahun 2016.
Mereka menjalani puasa sudah lima hari.
Adinda merindukan moment tilawah bersama sahabat, kalau sudah malam takbiran saling tukar informasi sudah berapa jus di tamatkan kalau ada yang melewati batas, itulah orang mendapati THR.
“Haha, anak ini bikin apa eh?” Adinda tertawa geli sendiri, mengingat saat itu kalah tanding tilawah selama bulan puasa dua tahunlalu.
Dari pada menunggu respon atau mengusik anak mahasiswi sibuk dengan tugas bagai laundry lebih baik menghabiskan detak-detak waktu dengan menulis.
Haha, menulis kah? Kenangan Putih Abu-Abu saja sangat-amat ambyar, masih belum ingin berhenti jadi penulis abal-abalan.
Tanpa sadar, sudah menuju angka dua dini hari. Wah, sejam lagi sahur.
Gadis itu pun memutuskan untuk memejamkan sebentar kedua bola mata tersebut, akibat lelah juga menatap layar laptop berjam-jam.
“Hello, Assalamualaikum. Thanks for the gift. I love it. You such a talented writer. Once again thank you. Last but not least, I’m so glad that having it, and it’s a pleasure for me to meet you.” Ungkap seorang itu dengan senyum mengembang.
“Waalaikumsalam. Oh yeah, your welcome. Oh yeah thanks you for the compliment. But is was just a hobby of mine and just make different things with your fans out there. Sorry you got my address from who?” Bengong, kok bisa berada depan mata?
Terkesima. Cukup buat jantung berolahraga hampir limbung karena masih belum percaya tersapa dua bola mata. Pun, percakapan asing mengalir bagai air yang tidak perlu terpusingkan bagi gadis itu sendiri. Fasih menggunakan bahasa inggris.
Mengucek mata berkali-kali, memastikan di lihat adalah Harris J. Santai, mengajak selfie semakin buat Adinda melongo heran, harusnya bukan bule itu minta selfie tapi sebaliknya.
“Oh..hoo..No..No you do not say that. With your efforts, we can meet. And I salute abilities. And this is particularly the gift I’ve ever had. Can you teach me to writeng?” Pintah Harris J.
Desiran di hati buat Adinda mengangguk senang secara rifleks. Perasaan menggebu riang, sorot mata menangkap karangan tertulis Adinda Ariani dengan cover warna biru. Semakin buat nafsi lompat sumringah. Secepat itu kah terbit, bukan kah belum menuliskan apa pun?
Merasa cukup puas dapat tanggapan dari gadis itu. Harris J ngajak ke masjid ngaji bareng.
Adinda mengarah kan ke rak paling sudut, karena bule itu tidak membawa al-quran. Uh, akhirnya berdiri yang ngambil al-quran karena Harris J bingung di mana rak tersebut.
Usai duduk lagi di samping bule london, tetiba ..
You are my hero, you are my hero
You are my hero, always my hero
You are my hero an i’ll keep you safe in my heart
Lagu itu mengalun dengan lembut, “ih.. Menyebalkan sekali kah!” Berseru ketus, sambil mengucek mata.
Dengan langkah gontai, membuka pintu kamar melihat sudah 03.01 waktu indonesia timur. Mengetuk pintu kamar adiknya untuk segera turun ke dapur sahur bersama.
Sebatas mimpi banyak sekali tinggal jejak asa terutama satu cover seperti nyata terbentang dalam jiwa.
Realita merentangkan pongah, mengoceh tidak serius untuk lihat dia mengejar mimpi mustahil yang bahkan sudah di arahkan langsung lewat sebatas pulau kapuk.
Ah, sekali lagi. Cukup buat Adinda berpikir panjang mengenai cover berwarna biru, terkesan nyata tanpa berada dalam mimpi.
Kok bisa sih? Pikir gadis itu, masih belum percaya.
Rabb.. Apa kah ini satu mimpi yang sudah di berikan dengan ikhlas Kau beri dengan mendatangkan bule london dalam mimpi gadis itu?
Jadi.. Tujuan mengejar Harris J adalah lewat novel, begitu kah?
Sungguh, masih belum bisa membanyangkan mengenai cover terlihat sejuk dalam sebatas mimpi itu terasa nyata. Terbukti melekat-lekat dalam pikir.
Fix. Usai sahur nanti nunggu shubuh tiba, menghabiskan waktu untuk mulai membangkitkan cerita mengenai bule london.
Lambat laun, mengenai novel telah tercipta beberapa minggu belakangan ini tidak bisa menutupi lagi atau bersembunyi di balik sunyi tanpa mengabari langsung ke Hana.
Sangat penasaran.
“Mama, sa ada buatkan Harris J novel nih.” Adinda berseru riang.
“Buat apa buatkan orang sesuatu yang dia sendiri tidak kenal kita.”
Uhuk. Menohok sekali.
Hana benar sekali, tapi seenggaknya berikan sedikit motivasi buat ananda dalam mengejar sesuatu mustahil. Siapa tahu kalau rejeki bisa bersitatap dengan bule london, begitu kah?
Dan, mengetahui sangat jelas dan tanpa perulangan dari ibunda. Masih meneruskan keras kepala tanpa berhenti bermimpi.
Sebab di balik sebatas mimpi itu menunjukkan arti apresiasi nyata.
Insyallah, mendapati mendahagakan rongga mimpi.
Malam itu, usai dari sholat terawih di masjid, kembali dalam kamar ingin meneruskan draf tersebut. Tidak memiliki banyak imaji untuk tertuang di sana.
Ah, lebih baik buka youtube lalu lihat vlog bule london itu.
Drt..drt.., Ada panggilan masuk mengusik rutinitas dan keasikan Adinda saja.
Tapi, tidak terlalu kesal sebab yang telah tertunggu menerbitkan sebuah kabar lewat telepon.
Tumben? Di sana jam berapa sih, sedangkan indonesia timur sudah pukul sepuluh malam.
“Assalamualaikum, Dindo. Ko lagi apa? Masa tuh tidak telepon sa?”
Meletup-letup sumringah dalam dada. Suara yang telah lama di rindukan kembali bisa bermain dalam daun telinga gadis itu sekarang.
“Huaa..waalaikumsalam. Ko tahu? Sa nih tahan perasaan buat hubungi ko. Takut ganggu anak kuliahan.” Berseru riang dong.
Tapi, tak membohongi diri, ketika tercetus anak kuliahan sangat menyayat hati. Pengen sekali merasakan apa itu mengenakan pakaian bebas sembari duduk dengar dosen ngajar dalam kelas.
Dengan melesat sangat cepat. Ruas iri juga sesak itu menguap kala mendengar tawa derai sahabat sendiri di sebrang telepon lewat whatsapp.
“Tidak kok, eh..benar juga sih, kadang sa sibuk. Ini saja ucap hamdalah karena senggan dari tugas.”
Adinda membalas dengan kekehan kecil.
“Trus..kapan nih rencana datang liburan ke Jayapura? Sepi oey tanpamu..” Adinda melempar intonasi di buat-buat cukup melahirkan decih jijik dari sahabatnya itu.
“Tahu..kalau sa ini ngangenin. Mungkin, tunggu liburan semester dua kali, baru sa liburan ke sana? Eh..be the way kabarnya Gessa gimana? Tuh anak benar-benar dah..di hubungi susah sekali di angkat eh. Kalah-kalah pak presiden nih!” Perempuan itu berceletuh.
Varinta sudah bisa mengabari walau tidak setiap saat, karena kali ini bisa lenggang dari tugas bak laundry. Bahkan menggunung melebihi cucian laundry.
Cukup melegakan, bisa saling ngobrol lagi walau tidak setiap saat.
“Macam tra tahu kesibukannya saja, saat sudah lulus sekolah. Tapi, tahu ndak? Kapan hari tuh dia main ke rumah, trus sudah begitu hilang kabar lagi.” Adinda menginfokan sambil membuang napas panjang, lelah.
“Oya? Pasti ada masalah di rumahnya lagi tuh, makanya datang tanpa kabar. Dia ada cerita kah sama ko, Din?”
“Macam tra tahu sifatnya kah? Tertutup begitu, bahkan sama sahabat sendiri.” Jujur Adinda tidak menyukai sikap Gessa yang terlalu menutupi masalah.
“Kita tidak berhak buat paksa dia berbagi, kan?Sudah..mungkin Gessa butuh waktu kapan mau berbagi sama kita.”
Tapi, sampai kapan Gessa peluk perih sendiri? Perempuan itu menanggapi AVN seperti tidak terlalu penting. Kalau kalut, batas melarikan diri dengan mendengar ocehan mereka berdua. Sudah jelas, Gessa juga butuh pundak untuk sekedar bersandar sesaat.
“Oh yah, Rin. Di sana enak? Trus kuliah tuh rasanya bagaimana sih?” Uh, akhirnya tercetus juga kan.
“Kuliah sudah, Din. Tahun depan nanti ambil pendaftaran eh?”
Mau dia juga begitu. Kan, pertanyaan itu batas menambah topik pembicaraan saja, biar tidak terlalu kaku kek kanebo.
“Tidak deh. Ko tahu sendiri toh? Dulu di sekolah saja suka nangis, karna gagal terus, tra bisa kerja apa yang ada di bidang kejurusanku.” Adinda tertawa getir, kembali di bangunkan persoalan rumit pelajaran semasa di smk dulu.
...🍬🍬🍬...
KEMARIN habis ngobrol tanpa lelah dengan sahabat sendiri, cukup melegakan rongga imaji saat sedang mogok ide.
Tersenyum mengembang. Saat ini Adinda meneruskan draf yang tertinggal kemarin.
Dan, berpikir bagaimana masyarakat JJS dalam menanggapi sebuah kidung telah berterbangan sangat manis lewat karya milik gadis itu sendiri? Menjadi pusat apresiasi, pujian, manis atau bahkan terbalik?
Be the way, terlalu asik bincang obrolan-obrolan mengenang masa sekolah, melupa untuk ada satu catatan mimpi harus tersampaikan ke Varinta.
Membuang napas begitu lelah.
Lagi, memeluk mimpi seorang diri tanpa sebuah motivasi dari orang terdekat kedua, sahabat.
Takut. Berkelebat sangat lebar dalam kepala, apa kah pantas seorang gadis sederhana memiliki modal karya terbilang absurt bisa tersodor ke jemari bule london?
Tetiba mengangkat kedua bahu, tidak tahu. Sebisa mungkin harus mencoba walau ke depannya seperti apa. Sudah terlanjur bermimpi besar yang bahkan jangan terlalu bermimpi tinggi, nanti jatuh dan sakit tidak jadi kenyataan diksi ini akan mendarat bertubi-tubi dalam pikir pun transit ke daun telinga.
“Dinda?!” Teriak Hana dari bawah.
Menyimpan file itu lalu membuka pintu kamar, kalau sudah terpanggil yang berarti duduk bantu bikin kue jualan.
Ruas-ruas meletup sangat tak sabaran, sesuatu ingin tersampaikan walau menyadari hanya batas cuek tertanggapi.
“Ma, semalam tuh, saya mimpi ketemu Harris.” Fiuh. Akhirnya tercetus juga.
Selang beberapa detik kemudian, tercetak senyum getir di wajah gadis itu. Bersiap mengumpulkan keberanian untuk dengar penegasan beliau mengenai jangan terlalu berharap lebih aksa untuk bersua dengan orang yang bahkan tak mengenali kita.
“Hm,” cukup mendengar penuturan ini, menjelaskan tidak tertarik untuk di dengar.
Saat ibunda angkat kue dari oven panas, sekilas sorot mata itu tertuju ke Adinda, “mimpi apa kah?” Mendadak mengalirkan rasa senang dengar cetusan Hana.
Walau tahu tidak terlalu minat melempari diksi tersebut, cukup membagi ruang untuk berbagi.
“Semalam tuh saya mimpi kalau Harris sudah pegang novelku, Ma! Trus, anehnya lagi, kan saya belum buat naskahnya, kok bisa yah, Ma, dia sudah pegang?” Berseru senang lalu diakhiri wajah bengong.
“Oh,” mendadak melongo hebat dong.
Kan, terlihat ekspresi itu berubah total, berdesir-desir sangat ngilu dalam hati. Sungguh tidak bohong dalam jiwa sangat meronta ingin dapat pelukan motivasi bahkan itu dari ibunda sendiri.
Hue, padahal sudah senang di lempari pertanyaan tadi, memang kok Adinda menyadari bahwa terbungkus rasa tidak tertarik. Tetap ngenyel pengen cerita juga dan akhirnya kena mental mimpi begini kan.
“Mama kan sudah pernah bilang, ndak usah kerjakan hal yang tidak ada manfaatnya. Lebih baik ko ngaji sana, daripada bikin novel buat Harris.” Menohok hati paling dalam.
Hanya bergetir dalam sunyi sembari menyusun cetakan kue tersebut.
Ma, pokoknya Dinda bakal bawa pulang gelar apresias, gumam gadis itu penuh membara dalam dada.
Apresiasi kah? Dulu waktu sekolah saja kena cibiran tak mengenakan mental cita, sekarang ingin bawa pulang gelar prestasi dari sebuah karya?
Artis luar negeri bahkan bahasa menggunakan inggris, sanggup kah bertahan dalam sekitaran mimpi mustahil?
Lagi. Menggambarkan sebuah wajah-wajah penuh perih, Hana telah membentangkan ketakrestuan lihat ananda membelai-belai mimpi tinggi itu. Jadi, apa yang harus di bincangkan lagi depan ibunda?
Adinda hanya fokus menyusun beberapa cetakan kue itu untuk ibunda masukkan adonan lalu di panggang dalam oven.
Apakah perbincangan mengenai mimpi tinggi, tidak di perbolehkan dalam menjadikan dalam nyata di kuping karya?
Tahu kok kalau nafsi sangat merepotkan bahkan sekolah untuk naik kelas kudu terbantu, remedial melulu dalam kantor. Seorang diri tanpa di temani teman kelas. []
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments