Terkesima. Cukup buat jantung berolahraga hampir limbung karena masih belum percaya tersapa dua bola mata.
●●●●
Aroma-aroma kelembutan masih berdesir dalam hati, mengalirkan rasa syukur bisa merasakan bulan penuh mulia, Ramadhan tahun 2016.
Sudah masuk puasa ke lima hari. Adinda sangat merindukan moment di mana bisa bertilawah bersama sahabat yang sudah menempuh kuliah di Padang.
Dulu, semasa sekolah saat masuk bulan puasa, berlomba-lomba mengkhatamkan quran. Kalau salah satu dari mereka mendapati datang bulan, bakal meledek tidak bisa mengejar jauh bacaannya.
Sekarang tidak bisa mengulang moment paling menyenangkan itu bersama Varinta. Sudah menjadi mahasiswi.
Mahasiswi, menginginkan dalam merasakan di posisi itu, sangat. Tidak bisa mengelak kalau juga mau kuliah, sayang selalu terpatahkan oleh bodoh dari keluarga sendiri.
Pernah, menuliskan sebuah karya Kenangan Putih Abu-Abu terbilang absurt dan menjadi tawa-derai menyindir nafsi dari orang sekitar.
Jam dua dini hari, sejam lagi sahur, mengistirahatkan tubuh dulu. Takut nanti tidak bisa puasa dengan baik, kalau terlanjur begadang sampai shubuh.
“Hello, Assalamualaikum. Thanks for the gift. I love it. You such a talented writer. Once again thank you. Last but not least, I‟m so glad that having it, and it‟s a pleasure for me to meet you.” Pengakuan seseorang itu dengan kagum.
“Waalaikumsalam. Oh yeah, your welcome. Oh yeah thanks you for the compliment. But is was just a hobby of mine and just make different things with your fans out there. Sorry you got my address from who?” Dan, di balas dengan kebingungan, kok bisa berada depan mata?
Terkesima. Cukup buat jantung berolahraga hampir limbung karena masih belum percaya tersapa dua bola mata. Apakah benar, sebuah mimpi tinggi memberikan sebuah petunjuk menuju pintu prestasi?
Sebuah percakapan sangat asing terdengar, mengalir seperti air, fasih berbahasa inggris.
Orang itu mengajak selfie yang cukup membingungkan seharusnya Adinda yang minta. Kenapa kebalikannya sih?
“Oh..hoo.. No..No you do not say that. With your efforts, we can meet. And I salute abilities. And this is particularly the gift I‟ve ever had. Can you teach me to writeng?” Pintah Harris J.
Mengangguk senang, ada desir mengharukan dalam hati. Apalagi menangkap sebuah cover berwarna biru kelautan Adinda Darissa yang sedang di pegang oleh bule london di hadapannya itu.
Sebentar, kan, belum menuliskan apa pun selain puisi? Kenapa sudah di perlihatkan satu buku telah terbit berada dalam genggaman Harris J, yang memang sama sekali belum ada pemikiran buat novel selain puisi selalu mampir setiap kali dia merasa sedih dan mimpi mengenai bule sedang berada di hadapannya ini?
Bule itu ngajak ngaji, saat ngambil quran dan duduk di samping Harris J, satu nada mengusik diri ..
You are my hero, you are my hero You are my hero, always my hero
You are my hero an i‟ll keep you safe in my heart
“Menyebalkan sekali kah!” Berseru sangat ketus, lalu mematikan alaram tersebut.
Dengan langkah gontai buka pintu kamar dan menuju depan kamar adiknya, mengetuk-ngetuk bangunin sahur.
Melihat waktu sudah masuk 03.01 mereka berdua pun turun sahur bersama, ada Hana juga sudah bangun.
Menikmati santapan sahur dengan perasaan campur aduk, sangat penasaran kenapa bisa sebatas mimpi menerbangkan banyak asa untuk Adinda yang sebatas gadis sederhana?
Berarti mau di buatkan sebuah novel? Sebagai hadiah yang berbeda itu dari JJS di luar sana, begitu kah?
Hah. Menghembuskan napas perlahan, bagaimana cara membangunkan sebuah cerita yang sama sekali tidak memiliki inspirasi untuk di tuangkan ke dalam novel mengenai Harris J?
Tapi, jujur sudah membangunkan sebuah semangat tersendiri dalam batin Adinda.
Makasih, Ris, sudah buatkan satu tujuan bersua dengan kau lewat novel. Gumam gadis itu dalam batin.
●●●●
Kemarin selepas sahur menunggu shubuh, Adinda sudah buat draf dengan judul A Dreams sama persis lewat mimpi yang sudah di perlihatkan oleh bule london itu.
Sangat menggebu sekali saat bersitatap dengan layar laptop, walau masih di bayangkan oleh karya perdana absurt, tak terpedulikan karena
satu tujuan sudah menjadi prirotas mengejar Harris J bukan lagi lewat puisi.
Selama membuat draf A Dreams, selalu sembunyi-sembunyi dari Mama, takut nanti kena damprat sangat protes. Ntar, saat sudah mengumpulkan banyak keberanian baru melantangkan sebuah mimpi tinggi ada di novel ke Hana.
Dan, setelah masuk satu minggu sudah cukup mempunyai keberanian dalam lantangkan angan mengejar mimpi lewat novel.
“Mama, sa ada buatkan Harris J novel nih.” Seru Adinda sangat girang.
“Buat apa buatkan orang sesuatu yang dia sendiri tidak kenal kita.”
Uhuk! Nah, sudah jelas dari awal kalau Mama tidak merestui sebuah mimpi gadis itu, masih tetap ngeyel memberitahui.
Ayolah, jangan buat semangat itu patah hanya karena sengaja perulangan buat lorong-lorong mimpi terasa gelap.
Malam itu, selepas sholat terawih di masjid, sudah sangat tidak sabar untuk ketemu satu tujuan dalam laptop.
Buntu ide. Sedikit menggerutu kesal dalam kamar, tidak memiliki banyak inspirasi mengenai bule london itu.
Aha. Baru ingat, kalau memerlukan youtube di sana bisa lihat vlog Harris J. Siapa tahu bisa mendatangkan ide tanpa sengaja, yang bisa menuangkan ke dalam cerita.
Ada kesal, sedikit, saat ada panggilan masuk dari sahabat. Sambil melihat jam dinding dalam kamar, 10 malam. Di padang jam berapa sih?
Ntar, kalau telponan begini, khilaf tidak bisa tidur dan kesiangan sahur lagi.
Tahu kalau Varinta sangat tidak bisa kecapekan, hanya ada rindu nunggu kabar dari sosok orang yang memang sudah di sibukkan oleh cita.
Boleh lah bertutur kata, walau sebentar? Eh, tergantung dengan topik apa yang bakal mereka bahas nanti.
“Assalamualaikum, Dindo. Ko lagi apa? Masa tuh tidak telepon sa?”
Suara-suara sudah lama menghilang beberapa belakang ini, begitu senang bisa mendengarkan lagi.
“Huaa..waalaikumsalam. Ko tahu? Sa nih tahan perasaan buat hubungi ko. Takut ganggu anak kuliahan.” Berseru riang dong.
Namun, ada mengusik jiwa mengenai anak kuliahan yang menginginkan juga merasakan posisi dua sahabatnya itu sekarang.
“Tidak kok, eh..benar juga sih, kadang sa sibuk. Ini saja ucap hamdalah karena senggan dari tugas.” Mendengar itu, cukup buat Adinda terkekeh kecil.
“Trus..kapan nih rencana datang liburan ke Jayapura? Sepi oey tanpamu..” Sengaja di buat-buat, yang lahirkan jijik dari Varinta.
“Tahu..kalau sa ini ngangenin. Mungkin, tunggu liburan semester dua kali, baru sa liburan ke sana? Eh..be the way kabarnya Gessa gimana? Tuh anak benar-benar dah..dihubungi susah sekali diangkat eh. Kalah-kalah pak presiden nih!” Perempuan itu berceletuh.
Benar. Hanya satu sahabat paling susah di hubungi itu yang sekarang tidak tahu bagaimana kabar Gessa.
“Macam tra tahu kesibukannya saja, saat sudah lulus sekolah. Tapi, tahu ndak? Kapan hari tuh, dia main ke rumah, trus sudah begitu hilang kabar lagi.” Sambil membuang napas lelah.
Bingung harus dari mana mendekap keterlukaan mental sang sahabat, kalau selalu menyembunyikan permasalahan rumah dari mereka berdua.
“Oya? Pasti ada masalah di rumahnya lagi tuh, makanya datang tanpa kabar. Dia ada cerita kah sama ko, Din?”
“Macam tra tahu sifatnya kah? Tertutup begitu, bahkan sama sahabat sendiri.”
“Kita tidak berhak buat paksa dia berbagi, kan? Sudah..mungkin Gessa butuh waktu kapan mau berbagi sama kita.”
“Oh yah, Rin. Di sana enak? Trus kuliah tuh rasanya bagaimana sih?”
Malas terus-menerus membahas sebuah permasalahan yang bahkan orangnya sudah berubah.
“Kuliah sudah, Din. Tahun depan nanti ambil pendaftaraan eh?”
“Tidak deh. Ko tahu sendiri toh? Dulu di sekolah saja suka nangis, karna gagal terus, tra bisa kerja apa yang ada di bidang kejurusanku.”
Esok hari,
“Dinda?!” Teriak Hana dari bawah.
Menyimpan file itu dan bantu Mama buat kue seribuan.
“Ma, semalam tuh, saya mimpi ketemu Harris.” Fiuh. Akhirnya tercetus juga.
Selalu berdebat dengan isi kepala, mengenai mimpi mustahil itu.
“Hm,” hanya dehaman ini di berikan sebagai tidak tertarik mendengarkan lebih jauh.
Tapi, selang beberapa detik, “mimpi apa kah?” Beliau sedikit tertarik.
Apakah tidak bisa mengendus sebuah penasaran saja, tidak lebih dari itu?
Bukan sengaja menciptakan nestapa dan luka, melainkan nafsi membutuhkan ruang dalam berbagi kisah mengenai mimpi, bisa kah mengulurkan jemari agar tetap berdiri mengejar kemustahilan depan mata?
“Semalam tuh saya mimpi kalau Harris sudah pegang novelku, Ma! Trus, anehnya lagi, kan saya belum buat naskahnya, kok bisa yah, Ma, dia sudah pegang?”
“Oh,” mendadak melongo hebat dong.
Hanya dua kata itu, dari cerita cukup panjang membuat Adinda menunduk, sangat sedih. Tidak ada dukungan dari Mama sama sekali mengenai mimpi itu.
“Mama kan sudah pernah bilang, ndak usah kerjakan hal yang tidak ada manfaatnya. Lebih baik ko ngaji sana, daripada bikin novel buat Harris.”
Hanya bergeming, sembari nyusun cetakan kue, tak lagi membahas mengenai bule london sudah berada dalam kedua bola mata aksara. []
●
●
'Mimpi perlu di kejar bukan berhenti di ketakrestuan ibunda, yang bakal buat kita menyerah dan menyesal di kemudian hari, karena tidak sungguh-sungguh dalam mengejar mimpi jadi nyata.'
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments