...“Memang, hanya menemukan bule itu sebatas delusi. Realita sangat banyak luka merentangkan dengan pongah. Lalu, lukisan pun mendekap hangat.”...
...🍬🍬🍬...
Seperti biasa, selalu memiliki rute bersama teman sewaktu SMP hingga sekarang. Juga tidak memiliki ruang untuk melakukan hal tidak wajar, batas singgah ke destinasi hits di kota mereka setelah itu isi perut lalu balik ke rumah.
Hana sudah beri kepercayaan juga. Yang bukan berarti di salahgunakan seperti kebanyakan anak-anak di luar sana.
“Ih..sa kalau jadi ko, Din, mungkin dari dulu ukur jalan sampai puas!” Celetuh salah satu teman Tias, saat gadis itu sedang main di kost Tias.
Ukur jalan sampai puas kah? Untuk hal apa, kesenangan sendiri? Yang bakal berujung tragis.
Kalau tidak ada tujuan untuk apa coba?
Adinda sendiri tidak menyangkal kalau di rumah tanpa berjelajah di kota cenderawasih, sangat penat juga sih.
Tempat tinggal gadis itu terlalu banyak destinasi hits yang sangat indah dan mewah berasal dari alam yang begitu alami, memang cocok buat anak-anak muda bahkan orang dewasa pun berbondong untuk menikmati ciptaan-Nya.
Melihat teman-teman pada asyik selfie.
Dia juga tidak ingin tertinggal untuk potret pemandangan sangat menakjubkan itu.
Nikmat tuhan mana kah yang kau dustakan? Siapa ingin berlibur ke luar negeri kalau lokal aja sudah bisa bikin beta berlama-lama berdiri di sana.
Tergantung kita bagaimana mengekspresikan alam ciptaan tuhan tanpa membuang-buang duit ke negeri orang.
Bahagia bisa tercipta sendiri tanpa terbayarkan oleh rupiah.
“Buset, jalan ke danau love ambyar, sempit lagi. Ngeri oey di samping banyak jurang juga eh?” Protes Kanao.
“Ingat, tidak ada kesempurnaan di dunia ini. Kita perlu mensyukuri apa yang sudah allah kasih ke kita.” Kata Risti.
Walau berteman ada yang berdeda keyakinan, saling menghargai satu sama lain.
Risti, Kanao dan Adinda adalah teman halaqoh sisanya nasrani dan masih terjalin silaturahmi begitu baik.
Bahkan mereka yang nasrani selalu mengingatkan ketiga temannya buat singgah ke masjid, sholat.
Pun tidak lupa ketiga perempuan hijabers itu juga menjadi alaram pagi untuk lihat teman-temannya pergi ke gereja.
“Beta sekali nganggurin kameramu. Kalau punyaku nih, sudah terpakai tanpa mubasir di simpan saja jadi pajangan dalam kamar.” Kanao terkekeh.
Tidak tahu kenapa Adinda kurang tertarik saja mengenakan kamera, kalau teman-temannya meminta bawa saat jalan seperti ini. Simpan dalam ransel dan menyodorkan ke mereka yang pakai.
Cukup kamera HP saja tanpa harus ribet pakai yang DSLR.
Padahal pertama kali beli, sangat girang sambil ngelus-ngelus sekarang di kacangin dan jadi pajangan saja dalam kamar.
“Macam tidak tahu saja, kalau Dinda mood, baru mau ikut jalan. Kalau malas, paling mageran sampai jamuran dalam kamar.” Celetuh Risti.
“Haha, itu sudah. Kalau tidak capek, pastilah saya ikut kalian juga kok.” Adinda juga tertular tawa temannya itu.
Ah, Kanao teringat sesuatu, “kenapa tidak kasih sewa saja, Din? Daripada mubasir di kamarmu?” Usulnya.
Betul juga sih, tapi belum mau mengumpulkan niat untuk itu. Karena takut kamera dibeli pakai uang ulang tahun dari grandma rusak, akibat tersewakan.
Jangan kan kamera, novel di kasih pinjam sudah rusak pas di kembalikan.
“Malas saja.” Simple sekali jawaban Adinda.
Cukup buat Kanao menganga lebar.
“Ih..Din! Sayang sekali loh, duit itu loh?! Kalau kamera punyaku nih, sudah dari kemarin saya sewakan. Biar uangnya bisa di pakai beli apa kek, tanpa harus minta jajan di orang tua.” Cerocos Kanao.
Tersentil sangat dalam.
Adinda jadi mengingat status ibunda batas penjual kue seribuan yang modal nitip di orang pun etalase sendiri, tidak menjamin kue-kue itu habis terjual melainkan banyak yang terkembali dengan keadaan rusak.
Buat dia bergetir, benar kata Kanao. Sewa kamera adalah jalan alternatif hasilkan duit sendiri tanpa harus minta uang jajan di orang tua.
Tapi, ketertakutan dalam batin masih bersiul-siul protes tidak menginginkan benda mahal itu terjadi penyewaan.
“Din, kamu tidak malu kah pekerjaan mamamu hanya penjual kue?” Pernah, mendengar penuturan dari keluarga jauh sendiri.
Cih. Buat apa malu coba? Tidak pakai logika kah, di luar sana susah mencari kerja kenapa tidak di syukuri tanpa mengeluh?
Apa kah dengan bisikan seperti itu buat dia gengsi memiliki orang tua batas penjual kue seribuan? TIDAK!
Mereka saja yang terlalu menginginkan gelar pekerjaan layak tapi tidak pikir ke depan bagaimana cara untuk bisa mendapati posisi itu, kalau selalu prioritas gengsi doang.
“Din, sudah masuk magrib nih? Mamamu tidak marah kah?” Kata Risti, cemas.
“Kok kamu bilang begitu? Takut kah sama mamaku?” Ada sesuatu menggelitik perut gadis itu sendiri, menahan tawa.
Risti mengangguk pelan. Mereka sudah berada di sekitaran parkiran masjid, bersiap-siap mengambil wudhu.
“Soalnya mamamu orangnya cuek. Sebelas dua belas sih dengan anaknya.”
Seketika semburan tawa berasal dari Kanao, “kalian saja sih yang tidak tahu tante Hana bagaimana, baik tahu! Sangat..sangat baik! Terus kalau kita main ke rumahnya, tante Hana buatkan kita makanan atau tawari kita minum.” Terus terangnya.
“Masa sih? Kurang percaya ah.” Risti mencibir.
Karena memang perempuan ini saja belum pernah main ke rumah Adinda. Maka dari itu berikan persepsi kurang yakin begitu.
“Yasudah sekarepmu lah, Ris. Yok..sholat, keburu isya nih. Dari tadi ngobrol mulu.” Kanao pun mengakhiri obrolan mereka lalu masuk dalam tempat wudhu.
Teman nasrani pada menunggu di parkiran, usai sholat mereka singgah isi perut sudah dari tadi minta di beri asupan.
...🍬🍬🍬...
Pernah bikin kelebat hebat dalam sebuah balutan prahara dengan sahabat sendiri, bertahun-tahun bersama.
Dan, Adinda tidak ingin membahas sebuah sengit ketika terlalu baik dengan ruang bernama family multimedia itu kala ujian nasional.
Cukup menjadi catatan pembelajaran saja. Jangan terlalu beri kebaikan yang bakal mendampakkan masalah besar ke depannya.
Sekarang mereka terbentang oleh jarak begitu aksa.
AVN sangat sibuk mengurus cita pasti, sedangkan gadis itu? Duduk manis tanpa melakukan hal apa pun selain menyusahkan keluarga.
Belum ada panggilan dari pekerjaan yang sudah di kirim cv. Membuang napas sangat gusar, sampai kapan menunggu? Sudah bosan dan telinga panas juga sih mendengar cibiran mereka, karena diri belum juga mandiri mendapati pekerjaan.
Gessa bruntung bisa melanjutkan studi di UNCEN, kampus terbilang terkenal di jayapura tapi susah untuk bisa masuk di sana.
Sedangkan Varinta menetap di Padang, mengambil jurusan kebidanan.
Uh, kedua sahabat yang memiliki masa depan begitu menjanjikan.
AVN selalu terjaga dalam kasih tanpa undang bengis lagi. Begitulah caption tertulis di dinding status whatsapp.
Hal cuma tidak lihat dua sahabatnya baca. Karena sibuk menyergapi mereka.
“We..kalian mau dengar kah tidak, kalau saya punya mimpi mustahil?” Getir Adinda, berbicara sendiri, sambil lihat foto mereka bertiga masa sekolah dulu.
Sangat beruntung sekali.
Mendapati sosok sahabat susah di hubungi kini berada depan mata.
“Tumben ke rumah?” Adinda mencibir.
“Hehe..bosan jadi di rumah. Makanya sa datang saja ke ko rumah.” Gessa nyengir tanpa dosa.
Saat sedang butuh sembari di temani cerita, selalu saja panggilannya tidak diangkat.
Gessa adalah sahabat berambut kriting sendiri, papua, di antara mereka berdua. Juga sahabat paling mengerti pun menjadi telinga setia kala kedua perempuan itu berhamburan melarikan getir realita.
Padahal Gessa juga memiliki beban tidak sedikit, melainkan menggunung. Tapi, hebat dan kuat bisa di simpan sendiri tanpa harus berkisah dengan mereka berdua.
“Siapa nih ko gambar, Din?” Kata Gessa, tercengang.
Lamat-lamat memerhatikan, “ada deh, kepo!” Adinda membalas dengan canda dong.
“Bagus loh ko punya gambar, tumben bisa menggambar.” Gessa juga ikut meledek.
“Dih..berhenti cari gara sudah, simpan..simpan! Nanti sa gambar lecet lagi.” Lah, Adinda jadi ketus dong.
Ges, sori kalau sa belum bisa jujur soal gambar itu. Gumam Adinda dalam batin.
Lagi. Sahabatnya masih memerhatikan dengan rasa kagum. Apa kah sesuatu telah menarik rasa penasaran Adinda terkesan cuek itu?
Kalau benar, sudah dari tadi berkicau seperti kereta tak berjeda. Tapi, yang Gessa lihat adalah sikap tenang di tampilkan oleh sahabatnya itu.
“Din, tumben tra habiskan waktu buat pulban.” Pancing Gessa.
“Buat apa coba? Tra ngantuk kok.”
Gessa berusaha sabar dan terus mengorek untuk lihat dia jujur persoalan gambar yang sangat penasaran di lihatnya itu.
“Siapa tahu ko capek begitu, habis menggambar. Karna.. Tra biasanya sih.”
Lagi. Berusaha memancing.
“Kenapa? Dari tadi tinggal bahas sa gambar terus, mau kah sa gambar ko muka? Sini..sudah, mana pensil?”
Arg. Gessa tidak menemukan sercecah untuk menghabiskan rasa penasaran dalam batin.
“Potem simpan sudah ah. Nanti sa gambar rusak lagi karna ko lama-lama pegang begitu.” Adinda berujar sangat ketus.
Hah. Perempuan itu pun nyerah. Dia sangat keras kepala dan terus menyembunyikan sesuatu mengenai gambar tersebut.
Biarkan Adinda menyembunyikan mimpi serta-merta mimpi tinggi bertemu bule london dalam imaji.
Menjemput kesunyian dapat menciptakan angan lebih aksa.
Tahu diri juga kalau realita merentang pongah untuk jemput mimpi impossibel pun tanpa sadar lukisan itulah memeluk sangat lembut.
Adinda menyadari dari ekspresi sahabat ingin mengetahui siapa seseorang di balik lukisan sedang di lamat-lamat tanpa memindahkan pandangan ke tempat lain.
Maaf. Begitulah tercipta dari batin gadis itu sendiri. []
Notes :
Sa adalah Saya *Bahasa Papua*
Ko adalah Kamu *Bahasa Papua*
Tra adalah Tidak *Bahasa Papua*
Pulban adalah Peluk Bantal
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments