...Adinda adalah kunci dan Harris J bukan pintu?...
...●●●●●...
Apakah bisa menemukan sebuah nama kunci yang di mana Adinda sebagai kunci dan Harris J adalah pintu dalam membuka semua asa di balik mimpi tinggi sedang di buat seorang diri?
Sudah beberapa minggu belakangan ini masih berada dalam menganalisi satu coretan angan benar-benar mendatangkan prestasi. Tapi, apa yang bisa cocok untuk sosok artis ternama, yang bukan sekedar baju, kaligrafi seperti biasa di kasih?
Kan, sudah camkan ingin menyodorkan hal beda, merupakan kepentingan buat sosok bule tersebut.
Sebuah nama kunci Aku beri titik mimpi Melihat Harris di imaji
Benar kah bukan gembok Untuk buka pintu ingin?
Dan, selalu tercipta sebuah bait-bait puisi yang mengusik-ngusik isi pikir, belum bisa menemukan apa yang ingin di lukiskan dalam angan mengejar kemustahilan itu.
Kalau masih berada dalam jemari AVN di sisi, sudah di pastikan ada diskusi manis tersampaikan oleh kedua orang itu.
Jangankan buat membersamai, saat Gessa datang ke rumah beberapa hari lalu saja, menutupi sangat rapat. Karena masih belum yakin dengan keputusan dan pilihan dalam bermimpi tinggi.
“Eh?” Gadis itu heran, sangat.
Karena baru beberapa hari lalu main ke rumah, sudah menampilkan notif yang menerbitkan banyak pertanyaan di kepala Adinda.
“Ko bikin? Sa bisa main ke situ kah?” Sangat bergetir.
Namun aroma keterlukaan batin belum bisa dirasakan sosok paling terpeka di AVN, hanya sedikit bingung buat apa main ke rumah lagi? Bukan tipekal Gessa sekali, menghabiskan waktu dengan main terus.
“Hm, ke sini sudah. Mau kah sa jemput ke rumah?” Adinda pun menawari diri untuk ke sana.
“Ah, tra perlu, Din. Sa bisa naik ojek ke sana. Tunggu sudah.” Gessa langsung menutup panggilan itu.
Kenapa? Apa terjadi sesuatu di rumah, masalah lagi? Pertanyaan berbagai pertanyaan dalam kepala mengusik-ngusik gadis itu sendiri.
“Din..”
Saat sudah menunggu dengan kegusaran, sahabatnya pun datang.
Langsung buru-buru membukakan pintu rumah.
“Astaga, Ges! Ko kenapa bisa begini?!” Sangat terkejut melihat keadaan Gessa.
Terdengar hanya tawa-tawa hambar, ada luka berbalut dalam diam seorang sosok sangat baik dalam mendengar keluhan mereka berdua.
“Masuk dulu sudah ke kamarku. Sa ambilkan air hangat dulu.”
Berkelebat rasa penasaran dalam kepala, ada masalah apa hingga melihat lebam membiru tersebut? Begitu terpukul, tidak bisa menjadi sahabat baik apalagi menolong.
Arg. Selalu begitu, tertutup dengan masalah sendiri. Bagaimana mau bisa tahu apa permasalahan sedang di kantongi seorang diri oleh Gessa di rumah?
“Biar sa saja sendiri yang bikin, Din. Maaf merepotkan.” Lagi, menampilkan tawa getir.
Sangat terlihat jelas, sudah begitu tertekan dengan keadaan rumah. Membrutal tak berperasaan sama sekali, hingga kepalan tangan mendarat cuma-cuma di wajah Gessa.
“Ko kenapa lagi? Cerita sudah, atau bila perlu ko tidur dulu di sini.” Kata Adinda sangat lirih.
Ada gelengan lemah di sana.
Apakah terlalu lelah menghadapi dramatis dalam rumah, menjadikan sosok pendengar setia ini bergeming di balik wajah lebam-membiru tersebut?
Membutuhkan sebuah pertolongan, di dengarkan sembari mengelus ramah. Namun, tidak di butuhkan oleh perempuan itu. Hanya sekedar melarikan nestapa saja di rumah sahabat, sudah lebih dari cukup menyembuhkan ketoxic-an dalam rumah.
“Ges, gunanya sahabat itu apa? Kalau bukan saling melengkapi, lagian mamaku tidak marah kok kalau ko nginap disini.” Jujur, sangat greget, pen makan sahabat sendiri di hadapannya ini.
“Kalian sudah baik sekali sama sa, Din. Tra enak juga sama mamamu, sa datang dengan keadaan begini, baru ko tawari nginap disini lagi.” Menolak sehalus mungkin.
Justru buat Adinda, “berhenti bicara seperti itu sudah, Ges! Kita anggap semua sama, dan tra merasa terbebani kalau ko datang dengan keadaan begini atau tanpa lecet sekali pun, sa pintu rumah selalu terbuka untuk ko.” Kesal Adinda, gemas sekali.
“Hehe, sori belum bisa jadi sahabat yang baik dan belum mampu gantian traktir kalian.”
Bukan. Seharusnya belum bisa jadi sahabat yang baik dialamatkan pada Adinda, membebankan dengan segudang cerita keluhan yang tak ada ujung.
Bahkan, Varinta sekali pun tidak mempermasalahkan persoalan uang sering dikeluarkan buat sahabat. Karena uang bisa di cari lagi tapi sahabat seperti Gessa di mana?
“Ugh..pen sentil ko ginjal loh, Ges.” Gerutu gadis itu.
...●●●●...
Hana naik ke atas, “ndak papa, tinggal dulu disini, Nak. Kalau kamu pulang, bisa-bisa orangtuamu hajar kembali.” Beliau menasehati dan beri tempat buat nginap.
“Bodoh!” Adinda merutuki diri sendiri.
Setelah tiga bulan belakangan ini sudah menyodorkan cv lamaran pekerjaan, belum ada satu pun yang menelpon gadis itu buat interview.
Sepayah itu kah dia?
Hah. Benar. Tidak ada yang dapat di banggakan dari sosok gadis bodoh tidak memiliki masa depan layak, hanya tahu terbantu perulangan dari orang lain.
Penghapal quran
Tetiba di tulisan
Pantas jadi kepentingan?
Kenapa, setiap kali menemukan kalut pasti akan menerbitkan puisi mengenai Harris?
Seperti membisik sesuatu yang sangat manis, tidak membolehkan gadis itu bersedih apalagi mengumpat pada diri sendiri payah di balik diksi tercipta.
Dan, bukan itu saja ada aroma menggiurkan dari bawah, Mama masak nasi goreng. Dengan cepat menghapus kesedihan di wajah lalu melangkah ke dapur dengan perasaan semangat. Ada masakan favorit.
“Jangan makan sambel banyak-banyak.” Mama sudah menasehati. “Haha, siap Bu bos!”
Namun, “pedis apa!” Mengeluh kepedisan, makan sambil minum untuk mengurangi pedis di mulut.
“Makanya, Mama sudah bilang jangan pakai sambel banyak-banyak.
Awas eh, kalau ngeluh sakit perut?” Hana langsung mempringati.
Sebagai pelarian saat tahu diri belum bisa menempati salah satu pekerjaan di dalam cv lamaran yang sudah di masukkan Adinda.
“Kapan ko dapat pekerjaan, Din? Sudah di telpon kah belum?”
Pertanyaan yang sangat di hindari, kenapa harus di ingatkan lagi?
Cukup buat gadis itu gelisah sendiri.
“Eng..belum di telpon sih, ma. Kenapa?”
Melihat Hana menghembuskan napas lelah, sembari bilas piring kotor, ada wajah kebingungan berasal dari Adinda.
“Kalau ko sudah dapat kerja, kan, enak. Mama lagi yang istirahat, trus kalian yang kasih mama uang jajan.”
Maunya gadis itu juga sih begitu. Hanya belum rejeki mau gimana lagi dong?
Sedikit frustasi belum bisa memberikan yang terbaik buat Mama selama ini selalu bersabar dalam mengantongi rupiah supaya ananda bahagia, tak pernah mendengar keluhan mengenai uang.
“Nanti, kalau memang belum dapat telpon, biar Mama minta tantemu carikan sudah.” Sahut Hana tiba-tiba.
Sempat merasakan sebuah sejuk-sejuk dalam hati sedetik kemudian berdesir tidak bisa mandiri seperti dua sahabat telah berhasil menjadi mahasiswi pun tahu Gessa kuliah sembari kerja, buat iri.
“Ma, punya idola kah?” Adinda langsung mencetus hal ini.
Apa karena bahagia, bisa mendapati kerja lewat prantara? Tanpa berpikir panjang mengenai kalimat menohok mengenai mimpi besar yang memang sudah sangat jelas di tangkap saat kali pertama menceritakan tentang Harris J ke Mama.
“Buat apa tanya begitu.” Di balas dengan datar campur ketus.
Aih, benar juga sih. Hah, terlanjur menerbangkan sebuah kalimat sekedar iseng yang memancing keterlukaan lagi dalam hati.
“Lebih baik ko sholat sana atau ngaji kek.” Sahut beliau lagi.
“Kan, sa tidak begitu mengidolakan sih Harris J, Ma. Hanya, batas kagum.” Jujur, sangat menyuarakan protes.
Namun, “yo, batas kagum itu yang akan jadi tergila-gila! Lebih baik baca quran sana, kalau tidak ada kerjaan.” Di timpali sangat ketus dong dari hana.
Hah? Melongo seperti orang bodoh. Salah langkah dalam menciptakan sebuah obrolan tak menarik perhatian beliau.
“Jangan pesimis dulu, ko bisa coba lagi dengan belajar. Suatu hari ko bisa jadi programmer dan animator!”
Rabb..apakah pantas seorang gadis sederhana bermodal nekat itu meminta sebuah motivasi lagi dari Varinta?
Walau tahu sangat gagal menjemput kedua keinginan semasa sekolah dulu? Dan, untuk ini saja, meminta sebuah angan bisa jemput pintu prestasi lewat sosok sangat ramah termiliki Harris J? []
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments