...“Adinda adalah kunci...
...dan Harris J bukan gembok.”...
...🍬🍬🍬...
Mubal seperti ini paling enak dengarin musik saja tanpa melakukan aktifitas apa-apa.
Tunggu. Ada yang lupa dalam benak gadis itu. Bergegas sembari mengambil jilbab lalu turun tergesa dari kamar.
Sampai di sana, mata semakin terbuka lebar untuk bawa pulang ke rumah.
“Dinda! Apa lagi ini ko beli, hah?!” Teriak Hana dari dapur.
Ananda sedang tergesa-gesa masuk rumah, karena kebelet buang air kecil, melupa untuk menyembunyikan snack dalam kamar yang masih tergantung di motor.
Keluar dari kamar mandi menampilkan cengir tanpa dosa, "hehe..snack-ku tuh mama." Sambil menggaruk-garuk kepala di selimuti jilbab itu.
“Awas eh, kalau mama tahu ko kasih orang, ndak bakal kasih lagi ko uang jajan. Biar kapok.” Kena ancam dong.
Hue..pengen nangis.
Sekujur tubuh juga sangat letih, ingin segera bertemu pulau mimpi saja dulu. Lalu mengangkat kantong kresek yang masih tergantung di motor dan masuk dalam kamar.
Meletakkan barang belanjaan sembarang arah, lalu melempar tubuh di atas kasur tanpa buka jilbab. Lelah sekali.
Kebiasaan memang, suka tidur pakai jilbab. Kalau Hana memergoki, kena omelan habis-habisan lagi.
Begitu sudah rutinitas seorang gadis cuek kalau sedang tak bersama teman-teman mengelilingi destinasi jayapura, mageran dalam kamar.
Kadang tercipta rasa rindu pada dua sahabat yang selalu nangkring dalam kamar, bertukar cerita sampai tawa menderai tanpa jeda.
Adinda jarang sekali mengajak teman-temannya main ke rumah. Karena satu, hanya datang sibuk dengan HP pun bungkus makanan tanpa perasaan.
Itu sebabnya beberapa hari lalu Risti masih kurang percaya dengan ibunda temannya sendiri. Apa kah benar dengan omongan Kanao? Beliau sangat humble tanpa menceramahi seperti orang tuanya sendiri di rumah?
Benar. Mereka sudah lihat orang tua Risti suka ngelarang kalau bukan kita semua datang jemput pergi. Berbanding terbalik dengan sahabat gadis itu, Varinta. Kudu Adinda yang datang duduk dulu setelah itu culik keluar rumah.
Malam itu, sunyi menyergap diri sembari meminum banyak bulir asa di balik puisi selalu tercipta.
Dia bertemu mimpi mustahil lewat imaji saja.
Karena sebuah nama kunci untuk membuka pintu mimpi di butuhkan kepercayaan tinggi dan tidak berbalik dengan sikap plin plan sembari meninggalkan semua coretan indah itu dalam kepala.
Memang tidak mudah bagi mereka bertahan dalam dream impossibel, tapi tidak sulit bagi-Nya menjadikan ada dibalik kemustahilan di pelihara manusia dalam kepala.
“Hm, camkan, ko hanya anak yang tra berguna, Din! Gegayan pengen ketemu artis london. Bicara indonesia saja masih kaku, apalagi mau ngobrol dengan dia pake bahasa inggris.” Mendadak menalak diri dengan rasa insecure.
Sebuah nama kunci
Aku beri titik mimpi
Melihat Harris di imaji
Benar kah bukan gembok
Untuk buka pintu ingin?
Yup. Adinda adalah sebuah kunci dan apa kah benar, bule itu bukan sebagai gembok atas dasar mimpi-mimpi terlanjur tergores sangat penuh harap di aksara? Untuk di buka ke destinasi sangat di penuhi simfoni manis.
Lalu, memerhatikan sebuah nama kontak di benda pipih.
“Sibuk kah? Duh..takut ganggu anak orang eh.” Keluh gadis itu sendiri, bercampur gelisah juga.
Opsi terpilih adalah mengunci layar benda persegi panjang tersebut dan menghembuskan napas panjang.
Lelah juga dalam menyembunyikan mimpi sendiri dari sahabat-sahabat.
“Ko bikin? Sa bisa main ke situ kah?”
Terkejut bukan main dong, Gessa mau ke sini lagi? Untuk hal apa, tumben sekali menghabiskan waktu tanpa melakukan hal berarti.
Sudah tahu kalau ke rumah, tidak mendampakkan apa-apa selain cerita tanpa jeda.
Pasti ada masalah di rumah. Pikir Adinda menerka-nerka.
“Hm, ke sini sudah. Mau kah sa jemput ke rumah?” Adinda pun menawari diri untuk ke sana.
“Ah, tra perlu, Din. Sa bisa naik ojek ke sana. Tunggu sudah.” Gessa langsung menutup panggilan itu.
Oh God. Seperti mengerti isi pikiran gadis itu, Gessa mengabari sangat mendadak.
Kalut. Tidak membohongi diri sendiri, butuh sandaran sahabatnya saat ini.
Tersenyum getir, detak-detak berpacu maraton, tidak biasanya sekali. Padahal Gessa belum tiba sudah jauh lebih berkeringat dingin.
Adinda sadar diri kalau sahabat yang satu ini sangat menampik hal berbau aroma mustahil, bakal di hujat habis-habisan.
“Din..”
“Astaga, Ges, ko kenapa bisa begini?!” Terkejut bukan main dong.
Hanya terdengar decih tawa hambar berbalut luka dari sahabat sendiri.
“Masuk dulu sudah ke kamarku. Sa ambilkan air hangat dulu.”
Berkelebat rasa penasaran dalam kepala, masalah apa lagi yang menimpa sahabat sendiri, bahkan tidak bisa membantu meringankan beban mental itu.
Rin..lihat, Gessa di pukul lagi sama keluarganya, getir gadis itu dalam batin.
Usai mengambil air hangat juga handuk wajah, segera mengompres dengan hati-hati.
“Biar sa saja sendiri yang bikin, Din. Maaf merepotkan.” Tawa-tawa getir di tampilkan lagi.
“Ko kenapa lagi? Cerita sudah, atau bila perlu ko tidur dulu di sini.” Kata Adinda sangat lirih.
Menggeleng lemah.
“Ges, gunanya sahabat itu apa? Kalau bukan saling melengkapi, lagian mamaku tidak marah kok kalau ko nginap di sini.”
“Kalian sudah baik sekali sama sa, Din. Tra enak juga sama mamamu, sa datang dengan keadaan begini, baru ko tawari nginap di sini lagi.” Menolak sehalus mungkin.
Justru buat Adinda, “berhenti bicara seperti itu sudah, Ges! Kita anggap semua sama, dan tra merasa terbebani kalau ko datang dengan keadaan begini atau tanpa lecet sekali pun, sa pintu rumah selalu terbuka untuk ko.” Semakin greget dengan sahabat paling keras kepala kedua setelahnya.
“Hehe, sori belum bisa jadi sahabat yang baik dan belum mampu gantian traktir kalian.”
Sumpah serapah pun terbit dari mulut Adinda.
“Ok-ok, kalau begitu hari ini sa nginap sehari di ko rumah. Tapi..mamamu tra marah toh, Din?”
“Ugh..pengen sentil ko ginjal loh, Ges.”
Bukan sehari di berikan untuk sahabat sendiri, melainkan beberapa hari. Sempat di tolak mentah oleh Gessa.
“Ndak papa, tinggal dulu di sini, nak. Kalau kamu pulang, bisa-bisa orang tuamu hajar kembali.” Hana menasehati yang buat perempuan itu bungkam dan memilih menetap sementara di sana.
Gessa sangat bersyukur bisa mendapati sahabat terbaik pun keluarganya juga tidak pandang hina dirinya karena faktor ekonomi. Justru membelai jemari rapuh itu dengan ikhlas.
Tahu kok, kalau keluarga Adinda mampu tapi ibunda berstatus penjual kue seribuan yang melahirkan rasa tidak enakan juga ke beliau.
Dan, satu hal pasti, Adinda tidak pernah minta timbal balik lebih, cukup melegakan rongga terdesak ngilu tiada habis dalam rumah.
🍬🍬🍬
GAGAL mendapati panggilan untuk interview di pekerjaan.
Merobek-robek hingga menjadi serpihan kertas kecil yang beberapa detik lalu di tulis.
“Bodok sampe!” Kesal sendiri.
Masuk tiga bulan belum mendapati posisi pekerjaan yang layak.
Apa pantas melulu minta jajan tanpa sebuah penghasilan tetap? Bosan juga telinga panas kena sindir pedas dari keluarga sendiri.
Ugh. Memang yak kalau dari kecil bodoh dan tidak berguna, untuk mandiri mendapati sebuah posisi penghasilan dari pekerjaan rumit tergapai.
Adinda tidak membutuhkan gaji tinggi yang terpenting sudah memiliki pekerjaan tetap, melegakan rongga jiwa pun terbebas dari sindirian pedas keluarga, selalu mengatai bodoh, tidak becus dan sulit membawa hal-hal prestasi ke rumah.
Prestasi kah?
Jadi teringat satu catatan terlanjur berada dalam destinasi imaji.
Harris J.
Mata tetiba panas pun napas tersendat-sendat, seperti menahan tangis juga sesak di jiwa.
“Orang bodoh seperti sa begini bisa apa, hah?!” Lagi, berbicara sendiri merutuki diri.
Tahu kok selalu bergelantungan oleh keberuntungan karena bantuan orang lain bukan lewat usaha sendiri.
Penghapal quran
Tetiba di tulisan
Pantas jadi kepentingan?
Selalu menerbitkan diksi mengalun simfoni manis di sana tanpa harus menangis tahu cv lowongan pekerjaan melulu di beri kegagalan.
Puisi-puisi bercerita mengenai bule london, seolah-olah menganyun-ayun sangat ikhlas sembari mengelupas nyeri di dada.
Adinda masih ingin menetap di sana. Menikmati simfoni sendiri dalam imaji, mengistirahatkan luka realita sesaat.
“Din?” Hana pun membangunkan diri dari delusi.
Tertegun.
Dengan merambat cepat, luka-luka menjeruji pikir perulangan lagi.
“Kenapa, Ma?” Melongo heran, menyahuti dari dalam kamar.
“Mau makan nasi goreng kah tidak?”
“MAU..MAU!” Girang gadis itu, segera lompat dari tempat tidur dan menyusul ke dapur.
Aroma-aroma nasgor sudah mulai tercium dari atas tangga. Kalau tidak salah ingat, Harris J juga menyukai makanan tersebut.
Dan, batas tersenyum miring.
Jangan bangkit kan sesuatu mustahil dalam pikir untuk bisa berbagi tawa lewat masakan sendiri.
“Ko kalau makan sambel di lihat-lihat sedikit kek, mama sudah kasih pedis tadi.” Hana mengingatkan, saat tahu ananda mau menyendoki sambel tersebut.
Hanya cengir tanpa dosa di perlihatkan.
Jemari itu tetap mengambil beberapa sendok sambel tersebut, yummy! Pedis mantap, bikin ketagihan untuk di makan lagi.
Tidak tahu kenapa sejak mendapati penolakan dari pekerjaan, mendadak ingin melampiaskan ke aroma pedis dalam piring.
Adinda sendiri tahu kalau allah tidak menyukai hamba yang mendzolimi diri sendiri, tapi selalu saja di langgar setelah merasa sakit ngadu dalam sunyi lalu merutuki nafsi tidak berguna. Padahal kesalahan di buat sendiri.
Ah, pedis apa bilang. Panik sendiri dalam batin.
Berulang kali mengisi air es dalam gelas, Hana menggeleng lihat tingkah keras kepala ananda yang sudah di peringati masih di kerjakan.
“Awas nah, kalau ngadu perutmu sakit.” Kata Hana mengganggu konsentrasi gadis itu menghilangkan pedis di mulut.
“Hm..tidak kok, ma. Enak sekali kah, kalau pake sambel banyak-banyak begini.”
Ma, ada satu mimpi yang ingin Dinda ceritakan. Tapi, mama pasti tra setuju sih. Gumam Adinda, sedikit kalut.
Melihat butir-butir nasgor dengan sensasi pedis terasa dalam mulut, ada ruas-ruas getir tercipta dalam bungkam.
“Kapan ko dapat pekerjaan, Din? Sudah di telpon kah belum?”
Hue..Mama pertanyaan ini sudah yang sa hindari, tapi mama ingatkan lagi. Gelisah gadis itu dalam hati.
“Eng..belum di telpon sih, ma. Kenapa?”
Hana menghembuskan napas lelah, sambil membilas piring kotor.
“Kalau ko sudah dapat kerja, kan, enak. Mama lagi yang istirahat, trus kalian yang kasih mama uang jajan.”
Benar. Itu yang di harapkan ananda, tapi semesta belum mengizinkan untuk bisa menikmati penghasilan sendiri.
Tadi saja frustasi dalam kamar lihat SMS penolakan dari manager.
Mau sampai kapan bergantung dengan keberuntungan mendadak, hah? Emang masih berstatus sekolah kah, yang bakal ada guru membantu mencarikan pekerjaan layak.
“Nanti kalau memang belum dapat telepon, biar mama minta tantemu cari kan sudah.”
Hah. Bernapas sangat lega.
Berarti memiliki peluang lebih untuk bisa merasakan gaji pertama kah?
“Ma, punya idola kah?” Tetiba tercetus tanpa terkontrol.
“Buat apa tanya begitu.” Timpal Hana sangat ketus pun datar.
Tak bohong kalau hati keseleo mendengar penuturan ibunda. Lalu menerbitkan senyum miring tak tertolong lagi dalam menceritakan satu mimpi ke malaikat tanpa sayapnya itu.
“Lebih baik ko sholat sana atau ngaji kek.” Kata Hana lagi.
Mendadak membangunkan rasa optimis gadis itu tanpa sadar, “kan, sa tidak begitu mengidolakan sih Harris J, Ma. Hanya, batas kagum.”
Ada rasa waspada ketika melempari diksi-diksi terlanjur tertangkap daun telinga Hana.
“Yo. Batas kagum itu yang akan jadi tergila-gila! Lebih baik baca quran sana, kalau tidak ada kerjaan.” Ketus beliau.
Percakapan pun usai. Lalu Adinda kembali dalam kamar.
Kembali membuka semua deret-deret puisi tak sengaja tercipta itu, ada senyum-senyum lirih tertampil.
Lalu memasukkan dalam map yang memang jarang terbuka.
Setelah itu memoar lama terbuka ulang,
“Sa gagal gambar animasi itu di komputer, sa gagal..benar-benar manusia yang sangat payah lakukan apa pun!” Dengan getir tercetak, sahabatnya mengulum senyum menguatkan.
“Tra semua usaha harus berakhir manis. Butuh proses panjang. Kalau ko serius kejar jadi animator, bisa saja kedepannya ko bisa jauh lebih hebat.”
Varinta selalu saja seperti itu, motivator yang selalu mengelupas insecure dalam dada sahabat sendiri.
Boleh kah untuk mengabari mengenai satu mimpi impossibel itu ke perempuan yang sedang menimba ilmu di padang? []
Notes :
Mubal adalah Muka Bantal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments