Langit tak perlu repot menjelaskan, kalau dia tinggi.
***/***/***/***/***/***/***/***
Akhir-akhir ini Laras sungguh merasa sangat bosan. Sejak diketahui ada janin yang tumbuh di dalam rahimnya, dia dilarang menyentuh pekerjaan yang berpotensi membuatnya kelelahan. Tyo benar-benar tidak memperbolehkan sang istri mengerjakan tugas ibu rumah tangga, seperti yang biasa dia lakukan.
Tyo sama sekali tidak memberikan izinnya untuk Laras, berada di area dapur terlalu lama. Setiap selesai makan, Laras diharuskan naik dan masuk ke dalam kamarnya lagi. Jadi tidak ada kegiatan apapun yang bisa membantu bumil itu untuk menghabiskan waktu, kecuali rebahan di kasur empuk atau sofa.
Hujan baru saja berhenti, saat jam dinding sudah menunjukkan waktu magrib. Laras masih berdiri di dekat jendela, sambil menghirup aroma tanah yang terkena siraman air hujan. Mengingatkannya akan kampung halaman, yang baru kemarin dia kunjungi.
Tok tok tok
“Mbak Laras?” Terdengar panggilan dari Bi Mira, mengiringi suara ketukan di pintu.
“Iya Bi,” saut Laras, setengah berteriak.
Laras segera membuka pintu kamar. Dia mendapati asisten rumah tangga Tyo yang setia, menyapanya dengan punggung membungkuk.
“Sudah hampir waktunya makan malam. Apa ada sesuatu yang ingin Mbak Laras makan?” Tanya Bi Mira, kemudian.
“Apa Mas Tyo sudah pulang?”
Satu kebiasaan Laras yang mulai dipahami oleh semua orang penghuni rumah, yaitu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
“Belum. Mungkin sebentar lagi,” jawab Bi Mira, cepat.
“Baiklah,” balas Laras. Wajahnya seketika berubah lesu. Karena tidak biasanya Tyo pergi begitu lama, dan itu sukses menurunkan nafsu makannya.
“Apa semua jendela kamar Mbak Laras, sudah ditutup?” Tanya Bi Mira. Wanita paruh baya itu tidak mau membiarkan Laras larut dalam lamunan.
“Jendela?” ulang Laras.
Sadar tidak akan mendapat jawaban, Bi Mira segera masuk ke dalam kamar. Sesudah menutup daun jendela, tangannya lalu bergerak cepat untuk menarik gorden tebal yang menjulur panjang hingga lantai.
“Memang jendelanya kenapa, Bi?”
“Sande kolo, Mbak Laras. Biasakan untuk menutup pintu dan juga jendela, kalau sudah magrib. Karena akan ada banyak makhluk halus yang mulai berkeliaran di waktu-waktu seperti itu. Apalagi Mbak Laras kan sedang hamil, jadi harus lebih berhati-hati.”
Kedua tangan Laras, serta merta menangkup perutnya sendiri. Ada rasa ngeri yang tiba-tiba menerpa kulit punggungnya, setelah mendengar penjelasan dari Bi Mira.
“Iya Bi, terima kasih.”
-
Agus mengendarai mobil mewah milik majikannya dengan perasaan takut. Pasalnya hari ini, Tyo sudah beberapa kali dibuat marah oleh anak buahnya. Pekerjaan yang tidak terselesaikan dengan baik, mengharuskan Tyo untuk turun tangan langsung, dan membuatnya pulang larut malam.
Sesekali mata Agus melirik Tyo, melalui kaca spion tengah. Ada pertanyaan yang ingin dia ajukan. Tapi melihat keadaan Tyo yang sepertinya masih dibalut emosi, akhirnya Agus mengurungkan niatnya.
Agus adalah orang yang paling lama bekerja pada Tyo. Dia juga merupakan suami dari Bi Mira, asisten rumah tangga yang dipercaya mengatur orang-orang yang bekerja di dalam rumah besar milik Tyo.
“Menyetirkanlah dengan benar, Paman. Kalau ada yang ingin kau tanyakan, maka tanyakan saja. Tidak perlu melirik berkali-kali,” sindir Tyo dengan mata yang masih tertutup.
Saking dekatnya dengan Agus, Tyo bahkan memanggil pria itu dengan panggilan ‘Paman’. Tyo sudah mengenal baik siapa Agus, karena dia juga merupakan sahabat ayahnya semasa masih hidup.
“Mmm… untuk besok malam, apa yang harus Paman lakukan?” Tanya Agus.
Tyo mengerutkan kening. Mencoba mencari arah pembicaran yang dimaksud oleh Agus. Maklum saja, seharian ini dia sudah menggunakan segala konsentrasinya untuk pekerjaan.
“Apa besok malam jum’at?” Tanya Tyo.
“Benar, Tuan.”
Walaupun umur Tyo lebih muda, tapi Agus selalu menjaga kesopanan dengan tetap memanggil majikannya dengan sebutan ‘Tuan’.
“Lakukan saja seperti biasanya, Paman.”
Agus mengangguk. Dia mengerti dengan benar, kalau Tyo sangat tidak suka, tiap kali membahas masalah ini.
Harus diakui, kalau Agus telah menjaga Tyo dengan baik. Mereka begitu dekat. Hampir tidak ada rahasia Tyo yang tidak dia ketahui. Agus bahkan bisa mengerti arti dari hembusan nafas kasar yang dikeluarkan oleh Tyo.
“Usahakan untuk tidak membuat istriku curiga!” perintah Tyo, tegas.
-
Mobil mulai masuk ke area halaman rumah. Dan begitu Tyo turun dari mobil, pintu rumah besarnya langsung terbuka lebar. Di sana, di ambang pintu rumahnya, Laras berdiri dengan senyuman yang begitu manis.
“Ini sudah malam. Kenapa kau belum tidur, hem?”
Dengan langkah lebar, Tyo buru-buru mendekati sang istri yang mulai menuruni undakan teras. Wanita itu memang membuat jantungnya berdetak lebih cepat, karena sering bersikap serampangan. Katakanlah kalau hanya rasa khawatirnya saja yang berlebihan, tapi itu dilakukan Tyo demi wanita yang paling dia cintai dan juga calon penerusnya.
“Hati-hati dengan langkahmu, Ajeng!” tegur Tyo. Lalu sejurus kemudian, dia mengusap ujung kepala Laras, tanpa lupa mendaratkan kecupan di kening sang istri.
“Laras menunggu Mas pulang.”
“Jangan menyiksa dirimu sendiri,” Tyo memeluk tubuh Laras, tidak lagi peduli akan keberadaan Bi Mira dan Agus yang berdiri dibelakang keduanya.
Sebenarnya Tyo tidak menyangka kalau Laras akan menyambut kepulangannya hari ini, mengingat waktu yang sudah mendekati tengah malam. Dan Tyo sangat senang dibuatnya. Senyuman yang ditampilkan Laras, berhasil menghilangkan segala rasa lelah akibat pekerjaan yang sangat menguras tenaga dan pikirannya.
Tyo mengelus perut Laras. “Kau harus selalu ingat! Sekarang di dalam sini, ada yang sedang bertumbuh. Jaga kesehatanmu tanpa harus menunggu Mas marah.”
“Iya Mas, Laras mengerti.”
“Kau sudah makan?” Tanya Tyo.
Laras hanya mengangguk.
Tyo meraih bungkusan yang diserahkan oleh Agus, lalu menunjukkannya pada Laras. Tepat di depan matanya.
“Pesananmu.”
“Ini apa?”
“Jangan bilang kalau kau lupa?”
Mata Tyo mengamati wajah Laras dengan seksama. Dalam hatinya, dia mengharap akan ada perubahan ekspresi yang ditampilkan sang istri. Tapi nyatanya itu tidak terjadi. Dan pundak Tyo luruh seketika.
“Ck! Ternyata kau benar-benar lupa,” gerutu Tyo.
“Mas….”
“Tadi siang, kau mengirim pesan pada Mas. Kau minta dibelikan cake roll kesukaanmu,” Tyo menjelaskan dengan sikap malas.
Laras hanya menanggapi penjelasan Tyo dengan cengiran bodoh, tanpa merasa berdosa sama sekali.
“Lalu bagaimana dengan bunga yang ada di dapur, apa itu juga hadiah dari Mas buat aku?” Tanya Laras.
“Bunga?” ulang Tyo, Agus dan Bi Mira, serempak.
“Iya, bunga dan pisang yang ada di dapur. Apa itu buat aku?” ulang Laras.
Tubuh Bi Mira gemetar hebat mendapati tatapan tajam dari Tyo dan juga Agus. Jemarinya saling meremas, dengan kepala tertunduk.
“Ma-maaf Mbak Laras. Itu… itu bunga Bibi,” ucap Bi Mira dengan nada terbata.
“Ooh, ya sudah.”
Laras mengerucutkan bibir. Kecewa karena dia pikir itu adalah hadiah yang dikirim Tyo untuknya, sebagai permintaan maaf karena pulang kerja terlalu larut.
“Mas, cake-nya buat besok saja ya? Laras sudah kenyang.”
Nafas lega dihembuskan oleh Tyo, Agus dan juga Bi Mira secara bersamaan. Laras tidak menyadari hal itu. Dia malah melenggang ke arah dapur tanpa menoleh, dengan membawa kotak berisi cake.
Tyo menyusul langkah Laras tanpa mengucapkan apa-apa. Dan air mata Bi Mira langsung meluncur deras tanpa bisa ditahan.
***
Semoga 2 bab ini tidak mengecewakan.
Cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kemiripan tokoh, jalan cerita, dan juga tempat, itu mungkin sebuah kebetulan semata.
Mohon maaf untuk typo dan kata-kata yang sekiranya menyinggung atau tidak sesuai dengan kenyataan, karena semua ini murni hanya karangan penulis.
Terima kasih untuk semua like, komen, dan vote poin maupun koin. Untuk yang sudah memberi bintang lima dan tanda love juga, terima kasih banyak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Berdo'a saja
emmmmm bunga
2022-02-24
0
NADIRAH
paling buat sajen...iya kan thor
2021-12-27
0
Irma Sari
mira terlalu lugu ato pilon sich....
beda tipis ya ... 🤣😂
2021-09-25
0