Kekurangan dan kelebihan, selalu berteman baik dalam setiap pengambilan keputusan.
***/***/***/***/***/***/***/***
Laras memoles pelembab bibir sebagai sentuhan terakhir, sebelum berangkat ke rumah neneknya yang ada di kampung. Dan Tyo yang baru keluar dari kamar mandi, dengan pakaian yang sudah lengkap, berjalan mendekati sang istri. “Sudah siap?” Tanyanya.
“Sudah,” ucap Laras seraya mengangguk. Bibirnya terus menyunggingkan senyum, sejak membuka mata pagi tadi.
“Ada apa, Mas?”Tanya Laras saat menyadari kerutan di kening Tyo.
“Apa kau lupa, perkataanku semalam?”
“Perkataan semalam?” Laras bingung. Kerutan yang tadinya menempel pada kening Tyo, kini berpindah tempat.
Tyo membuka satu persatu laci penyimpanan yang ada di meja rias. Tangannya pun langsung sibuk mengaduk semua isi laci.”Dimana kau simpan semua perhiasanmu?”
“Perhiasan? Untuk apa?”
Tyo dibuat greget bukan main, saat Laras lagi-lagi hanya mengulang pertanyaan tanpa menjawab.
Setelah menemukan kotak perhiasan yang dia cari, Tyo segera membantu untuk melepaskan semua perhiasan yang menempel pada tubuh Laras. Mulai dari kalung, gelang dan anting sederhana yang sudah lama dipakai sang istri. Satu-satunya yang tidak dilepas oleh Tyo, adalah cincin pernikahan mereka.
“Aku membelikan semua ini, bukan untuk dijadikan sebagai pajangan.”
Laras menunduk takut, dan membiarkan Tyo melakukan apa yang pria itu mau. “Mulai hari ini, kau harus memakai perhiasan yang besar dan mewah. Aku tidak mau mendengar berita, kalau Ibu Ambar menghinamu lagi. Berani sekali dia…”
“Jadi ibu menor itu, namanya Bu Ambar?” Laras mendongak tepat di depan mata Tyo, lalu memotong ocehan suaminya dengan pertanyaan.
“Ck! Apa sekarang itu penting?” Tyo menjawab, ketus.
Laras kembali menunduk, sembari menggigit bibir bawahnya. Dia tidak berani melihat wajah Tyo yang melempar tatapan tajam.
“Mas..,” cicit Laras, saat tangan Tyo hampir memasangkan kalung berlian di lehernya.
“Hmm?!”
“Bolehkah aku yang memilih perhiasannya?”
“...” Tyo memicingkan mata. Terlihat sangat tidak suka dengan apa yang akan diutarakan oleh sang istri, biarpun belum terucap.
“Kita hanya akan ke rumah nenek. Dan sepertinya, kalung berlian ini terlalu mencolok. Sangat berlebihan.”
Laras menelan ludah, mendapati mata Tyo yang semakin membulat.
“Tapi aku janji! Setelah pulang dari rumah nenek, aku akan memakai perhiasan yang Mas pilihkan. Hem?” tambah Laras. Dia mengakhiri permintaannya dengan nada merengek.
Tyo menghela nafas kasar. Dia benar-benar kehabisan akal untuk bisa mengubah kesederhanaan sang istri, walau hidupnya sudah berubah.
Tapi Tyo jelas harus mengalah, demi cinta dan kebahagiaan Laras. Apalagi kalau mengingat wanitanya juga sedang mengandung. Jadi sekecil apapun perubahan emosinya, itu pasti akan mempengaruhi perkembangan janin mereka.
“Boleh ya, Mas?” Laras mengguncang lengan Tyo.
“Apa kau berjanji?” Tanya Tyo dengan menangkup kedua pipi sang istri.
Mendengar suara Tyo yang sudah kembali biasa, Laras tidak bisa menyembunyikan senyum. Kepalanya mengangguk berulang, sebelum melemparkan diri ke dalam pelukan suaminya.
-
Nenek Aisyah menyambut kedatangan cucu dan cucu mantunya, dengan makanan enak yang memenuhi meja.
“Ada acara apa, Nek? Kenapa ada banyak sekali makanan?” Tanya Laras begitu berjalan menuju dapur untuk membuatkan kopi untuk Tyo.
“Hari ini Nenek memang sengaja masak banyak, untuk menyambut kedatanganmu bersama Tyo.”
“Benarkah?” Tanya Laras, sembari mencomot risoles. “Tapi darimana Nenek tahu, kalau hari ini Laras dan Mas Tyo akan pulang?”
Nenek Aisyah berdehem sebelum tersenyum kikuk. “Entahlah. Nenek hanya merasa yakin, kalau kau akan datang hari ini. Itu saja.”
Laras tertawa mendengar alasan yang diberikan oleh neneknya. “Kalau memang benar ada hal seperti itu, maka Nenek akan cocok jadi peramal. Hehee…”
“Ah sudahlah, sekarang cepat panggil adik dan suamimu. Kalian pasti lapar, setelah menempuh perjalanan jauh.”
“Iya, Nek.”
-
Laras menghampiri dua pria yang sedang duduk di teras rumah sambil terus asik mengobrol. Sengaja melangkah perlahan untuk mengagetkan keduanya, yang seolah tidak memperdulikan keadaan sekitar.
Laras mendengus pelan, saat menangkap lirikan Tyo. Namun ternyata, itu tidak menghentikan niatnya untuk berbuat usil. Toh masih ada Arya, sang adik yang belum melihat keberadaan dirinya.
“DOR!”teriak Laras, tepat di samping telinga Arya yang sedang serius memperhatikan ucapan sang kakak ipar, Tyo.
“AAAKH!” Arya menjerit kaget. “KAKAAAK!”
Melihat reaksi sang adik, Laras segera berlari masuk ke dalam rumah. Dia berlindung di belakang tubuh Nenek Aisyah.
“Ada apa ini?” Tanya Nenek.
“Kak Laras, Nek. Dia ngga pernah berubah,” Arya masih terus berusaha menggapai Laras yang kini berlari ke arah Tyo.
“Ajeng! Berhenti! Jangan lari-lari, ingat kandunganmu!” Tyo menegur Laras yang berlari menghindari tangkapan Arya.
Seketika tubuh Arya membeku, begitu mendengar ucapan Tyo dengan jelas. “Benarkah itu?”
Laras mengangguk, sambil mengusap perutnya yang masih rata.
“Benarkah aku akan punya keponakan?” Tanya Arya sekali lagi, untuk memastikan.
“Iya, bawel.”
Arya kembali berlari ke arah Laras. Bukan untuk memberi hukuman atas keusilan sang kakak, tapi untuk memeluknya dan memberi ucapan selamat.
“Selamat ya, kak. Sebentar lagi, kau akan menjadi seorang ibu.”
Laras membalas pelukan Arya, dengan linangan air mata. “Dan anakku akan memanggilmu dengan sebutan ‘paman’. Paman jelek!” ejek Laras.
“Ish! Dasar kakak jahat. Jangan turunkan sifat usilmu pada keponakanku ya?”
Tyo tidak tertarik mengganggu momen haru, antara Laras dan Arya. Dia akhirnya memilih mendekati Nenek Aisyah yang sudah merentangkan kedua tangan untuk memberinya pelukan.
“Selamat untuk kalian berdua, ya? Nenek turut bahagia mendengarnya.”
“Selamat juga untuk Nenek. Karena sebentar lagi, Nenek akan dipanggil ‘Nenek Buyut’,” ucap Tyo.
Aisyah dan Tyo melepas pelukan, dan berbagi tawa.
“Nenek tidak mau memberiku ucapan selamat dan memelukku?” Laras menyela percakapan suami dan neneknya.
“Dasar pencemburu, kemarilah!” Aisyah memberi perintah pada Laras, untuk mendekat.
“Berhati-hatilah dengan kandunganmu,” bisik Aisyah. Tangan tuanya mengelus rambut Laras dengan perasaan sayang.
Anggukan Laras diiringi tangis. Dia begitu merindukan sentuhan dan pelukan wanita yang telah menghabiskan waktu untuk mengurusnya sejak bayi. Laras hampir mengeluarkan pertanyaan, begitu menyadari keanehan dari ucapan sang nenek. Namun jari telunjuk Aisyah yang menempel di bibirnya, membungkam mulutnya kembali.
“Ayo kita makan dulu. Suamimu pasti sudah sangat lapar. Dan juga jangan lupakan calon jabang bayimu, yang perlu banyak nutrisi.”
***
Cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kemiripan tokoh, jalan cerita, dan juga tempat, itu mungkin sebuah kebetulan semata.
Mohon maaf untuk typo dan kata-kata yang sekiranya menyinggung atau tidak sesuai dengan kenyataan, karena semua ini murni hanya karangan penulis.
Terima kasih untuk semua like, komen, dan vote poin maupun koin. Untuk yang sudah memberi bintang lima dan tanda love juga, terima kasih banyak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Berdo'a saja
tp kok Bram jadi begitu ya
2022-02-24
0
Irma Sari
apa maksud ucapan nenek ya...
seperti nya kek ada "sesuatu" yg dia tahu...
2021-09-24
0
Hana🌹🌹
itu lah yang membuat Bram jatuh cinta kepada serene,karena kebaikan Serena mengingatkan Bram dengan laras
2020-11-23
0