‘Tidak ada orang yang terlahir jelek. Kita hanya terlahir dalam masyarakat yang suka menghakimi’
-Kim Namjoon a.k.a RM (BTS)
***/***/***/***/***/***/***/***/***/***
“Maafkan Ibu, Pak? Ibu benar-benar tidak sengaja hiks hiks.”
Bi Mira terus saja menunduk, dengan air matanya masih terus mengalir. Di depannya, duduk Pak Agus yang sedang menghisap rokok. Sejak kejadian tadi, Pak Agus sama sekali belum mengeluarkan kata-kata apapun. Tapi bisa dipastikan, kalau dia tidak hanya sedang berpikir keras, tapi juga menahan emosi.
“Tadi, ibu baru selesai mempersiapkan perlengkapan untuk besok malam. Ibu tidak tahu, kalau ternyata Mbak Laras belum tidur dan menyambut kepulangan Tuan Bram. Ibu tidak sempat membereskan semuanya,” jelas Bi Mira, menambahkan.
“Sudahlah!”
Akhirnya Pak Agus pun bersuara. “Semuanya sudah terlanjur terlihat oleh Mbak Laras. Tidak ada yang bisa kita lakukan. Dan besok, minta maaflah lagi pada Tuan. Tapi ingat!” Pak Agus menatap mata istrinya.
“Cari alasan yang paling masuk akal, kalau sampai Mbak Laras bertanya lagi tentang masalah ini. Bapak tidak mau, kalau rahasia Tuan Bram terbongkar gara-gara kita!”
“Iya, Pak.”
“Sekarang siapkan air hangat, Bapak mau mandi!”
Bi Mira segera mengerjakan perintah sang suami. Dia tidak mau membuat marah siapapun lagi, atau menambah kesalahan apapun untuk hari ini.
-
Tyo menerima piyama yang diberikan oleh Laras. Dia baru saja selesai mandi, meski malam sudah sangat larut. Karena jika tidak dilakukan, maka Tyo tidak akan bisa tidur dengan nyenyak. Dan itu adalah satu kebiasaan yang sulit diubah.
“Kau marah, karena Mas pulang malam?” Tanya Tyo.
“Tidak.”
“Lalu kenapa kau tidak mau berbicara dengan Mas, sejak tadi?”
Laras tidak menjawab, membuat Tyo merasa bersalah. Ingin rasanya dia langsung lompat ke atas ranjang, serta memeluk tubuh mungil yang kini sudah bergelung di balik selimut.
“Mas tinggal ke dapur dulu ya? Mas haus, mau ambil air minum.”
Tyo tetap meminta izin, meski tahu kalau Laras akan mengabaikannya.
Bunyi daun pintu yang terbuka lalu tertutup, menandakan kalau Tyo sudah keluar dari kamar. Laras menurunkan sedikit selimut yang tadi menutupi seluruh tubuhnya sampai ujung kepala. “Aku juga haus,” keluhnya, sembari meraba leher.
-
Saat langkah Tyo hampir mencapai area dapur, dia bisa melihat Bi Mira dan juga Agus berada di sana. Kedua orang kepercayaanya itu langsung berdiri dengan punggung sedikit membungkuk, ketika menyadari kehadirannya.
“Apa Tuan membutuhkan sesuatu?” Tanya Bi Mira.
Tyo mengangkat dan memperlihatkan telapak tangannya ke arah Bi Mira.”Biar kuambil sendiri,” jawabnya.
Tanpa Bram sadari, kalimat penolakan darinya ternyata berakibat buruk. Mata Bi Mira mulai berkaca-kaca, dan Agus bisa mengerti perasaan istrinya.
“Ini sudah malam, kenapa kalian belum istirahat?” Tanya Tyo sambil terus menghadap dispenser. Dia baru berbalik, setelah menghabiskan satu gelas air minum.
“Maafkan istri saya, Tuan?” ucap Agus.
Mendengar permintaan maaf dari Agus, perhatian Tyo serta merta beralih pada Bi Mira. Pundak wanita paruh baya itu berguncang, dan Tyo tak perlu bertanya untuk mengetahui apa yang terjadi.
Tyo mendekati Bi Mira.
“Tyo tidak akan menyalahkan Bibi ataupun Paman. Karena Tyo tahu, cepat atau lambat, Ajeng pasti akan mengetahui semuanya.”
Bi Mira mendongakkan kepala, ketika tangan TYo menyentuh pundaknya. Seharusnya dia senang, karena Tyo tidak marah. Tapi pada nyatanya, hatinya malah semakin merasa bersalah. Dia benar-benar tidak mau menjadi orang, yang akhirnya membuat rahasia Bram terbongkar.
“Berhentilah menangis, dan beristirahatlah! Ini sudah sangat malam.”
“Tapi Tuan….” Agus hampir menyela. Dan lagi-lagi Tyo mengangkat tangan dengan telapak tangan yang menghadap Agus.
“Kapan-kapan kita bicarakan lagi. Tyo juga harus cepat kembali ke kamar. Karena kalau tidak, Ajeng akan bertambah marah.”
Tyo bergegas pergi. Meninggalkan Bi Mira dan Agus yang menatapnya dengan hati gundah.
-
Klek
Laras terlonjak kaget, ketika daun pintu tiba-tiba terbuka. Beruntung Tyo mendorong pintu kamar dengan perlahan. Karena kalau tidak, maka kemungkinan besar kening Laras akan terluka.
“Mau kemana?” Tanya Tyo, yang sama terkejutnya.
“Mm… mau ambil air minum.”
Tyo tersenyum, lalu mengulurkan tangan. Menyerahkan gelas yang masih terisi penuh. “Ini, minumlah!”
“Terima kasih,” sambut Laras.
“Tidak perlu!”
Ucapan Tyo menghentikan gerakan Laras yang hampir menempelkan bibirnya pada gelas. Mata dan juga mulutnya berbuka lebar.
“Maksud Mas, tidak perlu berterima kasih.”
Laras menghabiskan isi di dalam gelas yang diberikan oleh Tyo. Tanpa sisa sidikit pun.
Tyo mengulum senyum, melihat kelakuan sang istri. “Apa kau begitu kehausan? Apa masih kurang?”
Laras menggeleng malu-malu. Dia tidak menolak, saat sang suami mengambil gelas di tangan dan mendorong tubuhnya menuju ranjang. Membiarkan Tyo memeluknya dari belakang, karena sejak hamil, itu adalah posisi yang selalu bisa membuatnya cepat terlelap.
“Apa kabarnya hari ini?” bisik Tyo. Tangannya mengelus perut Laras yang sudah mulai menonjol.
“Dia baik.”
“Maaf kalau hari ini Mas pulang terlalu malam. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan secepatnya dan itu tidak bisa ditunda-tunda.”
Tyo bisa mendengarnya dengan jelas, bagaimana Laras menghela nafas berat. Mati-matian dia menahan rasa gemas, dan tidak menerjang sang istri di tengah malam seperti ini. Mengingat keberadaan calon anak mereka yang sedang tumbuh, maka Tyo harus memastikan Laras tidak kekurangan waktunya untuk beristirahat.
“Tidurlah!” perintahnya, menutup perbincangan sebelum mengikuti sang istri yang mulai mengarungi mimpi.
-
“*Tolong! Tolong!”
Laras berlari secepat yang dia bisa. Sesosok bayangan hitam besar terus saja mengikutinya. Entah sudah berapa kali Laras terjatuh. Tapi dia tetap tidak mau menyerah.
“Nenek! Tolong Laras!”
Dengan mengerahkan semua tenaga yang tersisa, Laras memaksa kakinya untuk terus berlari. Di depan sana, dia melihat Nenek Aisyah yang mengulurkan tangan padanya. Lalu membawa tubuhnya dalam pelukan. Saat Laras membalikkan badan, bayangan hitam yang tadi mengejarnya , telah menghilang*.
-
“Ajeng! Ajeng! Bangun sayang!”
Tyo mengguncang pundak Laras, begitu mendengar suara teriakannya yang meminta tolong berulang kali.
“Hah hah hah”
Tepat pukul 3 menjelang subuh, Laras terbangun dengan keringat dingin yang membanjiri kening dan tubuhnya. Jangan lupakan juga, nafasnya yang tersengal-sengal.
“Kau bermimpi?” Tanya Tyo, cemas.
Hanya tatapan nanar yang bisa Laras berikan, sebagai jawaban dari pertanyaan Tyo.
“Ada apa?” Tanya Tyo, lagi. Pria itu begitu mengkhawatirkan istrinya yang belum memberikan respon apapun.
Saat Tyo hampir menginjakkan kedua kakinya ke lantai, Laras menarik lengannya.
“Mas cuma mau ke dapur, ambil air minum buat kamu.”
-
“SI*LAN!!” umpat Tyo sambil berlari ke arah dapur.
***
Buat para Army…
Jangan marah ya, kalau Si_Ro menyertakan penggalan kalimat RM. Karena menurut Si_Ro, kata-kata RM di atas itu bener banget.
Cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kemiripan tokoh, jalan cerita, dan juga tempat, itu mungkin sebuah kebetulan semata.
Mohon maaf untuk typo dan kata-kata yang sekiranya menyinggung atau tidak sesuai dengan kenyataan, karena semua ini murni hanya karangan penulis.
Terima kasih untuk semua like, komen, dan vote poin maupun koin. Untuk yang sudah memberi bintang lima dan tanda love juga, terima kasih banyak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Miah Restiana
ini cerita ibunya sekar... ya thor.. buat tumbal dong.. kasihan
2021-09-07
0
Yoni Asih
bram tau klok yg ngejer2 di mimpi laras adalah pliharaan dia
2021-05-28
0
josephira
justru seneng aku tu thor,ada kata dan kalimat nya mas leader yg di sematin karna emng yg dia bilang tu bener ,bgt
2021-04-07
0