Lee harusnya senang, karena para pengganggu di sekolahan sudah kena hukuman. Namun, entah mengapa dia bersedih juga. Ketiga murid itu menjadi kesulitan mengikuti ujian kelulusan. Lee sangat lembut hatinya dan tidak tega dengan orang lain meski orang itu tega padanya.
"Lee, mulai sekarang jika ada yang mengganggu, kamu harus berani melawan. Setidaknya jika tak berani, laporkan ke orang tua atau kepolisian. Jika mereka terusan menghajarmu, bisa-bisa nyawa menjadi taruhannya." kata Kepala Sekolah menasehati Lee.
"Baik, Pak. Terima kasih banyak." jawab Lee sambil membungkuk hormat.
"Kalau begitu, kalian boleh kembali ke kelas," imbuh Kepala Sekolah kepada Lee dan Cindy.
"Baik, Pak. Terima kasih, Pak Kepala Sekolah dan Bu Hera," ucap Lee dan Cindy bersamaan.
Lee dan Cindy pun beranjak dari ruangan konseling, berjalan ke ruang kelas pembelajaran mereka. Saat berjalan, Cindy dan Lee terdiam. Tanpa pembicaraan apa pun, mereka masuk ke dalam kelas.
Bu Hera masih di ruang konseling. Dia berterima kasih dengan kebijaksanaan Kepala Sekolah. "Terima kasih, Pak. Anda sangat bijak." lirih Bu Hera kepada Kepala Sekolah yang dahulu pernah mengatakan cinta padanya.
"Jangan panggil Pak, di sini hanya ada kita berdua, 'kan?" kata Pak Kepala Sekolah menggoda Bu Hera.
Bu Hera pun tersenyum dan bangkit berdiri, "Pamit dulu, ya. Mau masuk kelas, murid-murid menunggu."
Bu Hera segera meninggalkan ruang konseling. Kepala Sekolah hanya melihatnya berlalu pergi. Tak bisa mencegah karena tak mempunyai hak apa-apa. Bu Hera sudah malas menanggapi Kepala Sekolah yang selalu menggodanya. Padahal beliau sudah memiliki istri. Bu Hera tak suka dengan pria seperti itu. Dia lebih suka dengan pria yang lebih muda darinya.
Lee dan Cindy kembali mempelajari tugas-tugas di dalam kelas. Mereka saling terdiam karena bingung akan hal yang dihadapi tadi pagi. Antara senang Lee tak akan diganggu lagi atau sedih ketiga murid yang mengganggu Lee mendapat hukuman.
Pelajaran berlangsung seperti biasa. Dua kali istirahat singkat, Lee hanya di kelas dan minu. air putih yang disediakan dari sekolahan di pojok kelas.
Pelajaran pun usai ketika bel pulang sekolah berbunyi. Tak terasa sudah jam tiga sore. Lee bergegas membereskan buku dan hendak keluar kelas.
"Lee, lupa kalau ada tambahan?" tanya Bu Hera pada Lee yang akan keluar kelas.
"Ha? Oh, iya, maafkan aku, Bu. Lupa karena kejadian tadi pagi. He he he ...." jawab Lee sambil mengusap kepalanya sendiri.
"Iya, nggak apa. Oh, iya, kenapa Lee selama ini tak bilang kalau sering dibully?" Bu Hera pun mengambil kursi di samping Lee dan meletakkannya dekat Lee. Dia duduk di sana untuk mendengarkan cerita Lee.
"Bagaimana lagi, Bu. Lee dan Ayah sudah cukup susah. Jika hanya dibully, sudah biasa. Terpenting tidak mengganggu Ayahku, sudah bisa kumaafkan." Lee berusaha menutupi luka hatinya. Siapa yang bisa menahan pembullyan sejak TK? Bahkan orang lain pun bisa muak dan membalas jika terus-terusan disiksa dan dihina.
"Lee ... kamu tahu, 'kan, hal itu tidak baik untuk hidupmu? Pembullyan tidak boleh didiamkan saja. Lain kali, kamu harus bisa melawan. Harus bisa membela diri. Agar setelah lulus SMA pun kamu bisa melanjutkan hidup dengan lebih baik." Bu Hera menasehati Lee.
Tak terasa, satu per satu murid sudah pergi dari kelas dan hanya tinggal mereka berdua. Bu Hera yang harusnya memberi pelajaran tambahan justru tak tega melihat Lee murung.
"Lee, maafkan aku jika banyak ikut campur. Tapi sungguh aku tak tahu ini menimpamu sejak lama." lirih Bu Hera yang ikut merasa bersalah.
"Bukan salah, Bu Hera, kok. Justru Bu Hera baik sekali, mau menolong murid miskin dan cupu sepertiku." Lee menatap mata gurunya. Tanpa kaca mata, Lee terlihat lebih tampan. Membuat Bu Hera merasa malu dan salah tingkah.
"Lee ... kamu itu tampan. Hanya saja kamu tak menyadarinya. Andai saja aku mempunyai kekasih sepertimu ...." Perkataan Bu Hera terhenti. Dia secara tak sadar mengucapkan kalimat itu.
Lee terdiam menatap Bu Hera. Begitu pun sebaliknya. Bu Hera merasa gugup, tetapi Lee hanya diam, tak merasakan apa pun karena memang dia tak ada rasa dengan gurunya itu.
Beberapa saat mereka terdiam, Bu Hera pun mempunyai ide untuk mencairkan suasana. "Lee, bagaimana kalau kita nonton bioskop dan makan malam untuk merayakan hari bebas bully, gimana?" Tawaran yang menarik dari Bu Hera tak mungkin Lee tolak.
"Wah, bagus juga idenya, Bu. Tapi ... aku harus pulang dan ganti seragam ini," jawab Lee sambil memegang seragamnya.
"Tenang saja, kita beli banu baru! Ayo buruan!" seru Bu Hera yang bangit dari duduk dan menggenggam tangan Lee untuk segera pergi dari kelas.
Lee membawa tas dan ikut ke mana Bu Hera membawanya. Mereka segera ke parkiran mobil setelah Bu Hera mengambil tas di ruang guru. Tanpa disadari, seseorang mengamati kebersamaan mereka dan merasa cemburu.
***
Di sisi lain, rumah Randy ....
Kenyataan pahit harus Randy hadapi. Setelah mencambuk dengan ikat pinggang, Ayah Randy pun pergi. Meninggalkan Randy yang terluka dan babak belur di rumah sendirian.
Randy mencoba berdiri dengan tubuh penuh luka. Dia pun menelpon Aero--temannya yang juga diskors.
"Aero, lu di mana?" lirih Randy menahan sakit.
"Gue di rumah, untung aja ortu gue pergi. Jadi nggak ada yang tahu, nggak masalah. Lu gimana?" tanya Aero khawatir pada kondisi Randy karena tahu Ayah Randy sering menghajarnya.
"Gue ... sekarat." jawab Randy kemudian menutup teleponnya karena tak kuat menahan perih di sekujur punggungnya dan perutnya yang sakit karena tendangan dari ayahnya yang bagai orang kerasukan menghajar tak karuan, tanpa ampun.
Aero yang mendengar itu langsung panik. Dia menghubungi Zack agar menemaninya ke rumah Randy. Mereka meski kena skors, tetap kompak menjalani nasib bersama.
Zack menjemput Aero dengan mobil, lalu bergegas ke rumah Randy. Dua kawan Randy itu tahu jika sahabat mereka dalam bahaya jika berhadapan dengan ayahnya yang seperti setan. Sesampainya di depan rumah Randy, Aero bergegas masuk sedangkan Zack menunggu di mobil.
"Randy ... Randy ... lu di mana?" teriak Aero sambil membuka pintu yang tak dikunci.
Randy mencoba berdiri dan berjalan keluar, tetapi sialnya, dia terjatuh. Aero pun mendengar suara Randy yang terjatuh dan segera menghampirinya.
"Astaga Randy! Ayah lu emang nggak waras. Kalau gini, lu bisa mati." kata Aero kemudian membawa Randy keluar rumah. Setelah mengunci pintu, Aero membawa Randy ke dalam mobil.
Zack pun terkejut. Dia segera membantu Aero membawa Randy masuk mobil. "Gila, nih, bokap lu mau bunuh anak sendiri apa? Gue laporin polisi aja, ya?" kata Zack yang tak terima melihat kondisi Randy.
"Nggak usah, ntar jadi panjang kalau bawa polisi." Aero mewakilkan apa yang Randy pikirkan. "Lebih baik ke klinik sekarang," imbuhnya.
Aero dan Zack segera membawa Randy ke klinik. Mereka khawatir akan nyawa Randy. Meski mereka disebut berandalan, mereka masih mempunyai rasa setia kawan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Rustamaji
Up !!!
2021-07-13
0
Hanie Slalusyank Udie Forrever
tau kan rasanya dipukulin ren mknya jgn bully orang lain
2021-01-22
1
Hanie Slalusyank Udie Forrever
tau kan rasanya dipukulin ren mknya jgn bully orang lain
2021-01-22
1