Bung Amin

Jarum jam menunjukkan pukul delapan setengah delapan namun dua kursi masih kosong di ruang tamu.

"Anne, Ben, turun makan!" teriak Ibu Ivan.

Anne masih asik bergulat dengan setiap babnya. Sementara Ivan tengah fokus pada repitisinya. Adapun neneknya yang kembali memanggil untuk kedua kalinya tapi karena dia pikir mungkin cucu-cucunya sedang mengerjakan PR ia memilih kembali ke ruang makan.

Ketika Anne menyelesaikan bab terakhirnya jam makan malam sudah lewat sepuluh menit. Pasti nenek nunggu, batinnya. Ia cepat-cepat membuka pintu kamarnya tapi dua suara pintu terbuka secara bersamaan.

Mereka saling berpandangan canggung, seolah kata "Mau apa kamu?!" terpampang jelas di wajah mereka. Tapi Ivan buru-buru berjalan melewatinya sembari menyentakkan sandalnya menuruni tangga.

Anne berjalan membuntutinya saat Ivan hampir mencapai dasar tangga. Ia juga tak bisa tak bertanya-tanya dalam benaknya mengapa sifat sepupunya sangat kekanakan.

Di ruang makan semua orang sudah hampir menyelesaikan makan mereka kecuali Ivan yang baru saja mengambil nasi dan lauknya. Anne menyapa mereka sembari mengambil piring makannya.

"Kalau udah jamnya makan malam, kerjain PRnya ditunda dulu." Tutur bibinya.

"Iya Tan, tadi nanggung." Jawab Anne ringan.

Begitu mendengarnya Ivan menyipitkan matanya menatap Anne "Enggak ada PR padahal."

Bibi dan pamannya mendadak memandangi mereka tak percaya. Tatapan neneknya bahkan lebih menyelidik. Nih anak kenapa sih? Enggak paham situasi banget, gumam Anne dalam hatinya.

"Emang bukan kerjain PR, tadi Anne lagi buat catatan materi Tan, Om." jawab Anne santai sembari melirik penuh kemenangan ke arah Ivan.

"Tuh contoh kakakmu." tutur nenek.

Tak berselang lama semua orang menyelesaikan makan mereka dan meninggalkan ruang makan. Hanya tersisa mereka berdua yang duduk saling berhadapan. Anne tak bisa makan cepat karena masalah pencernaan tapi saat ia kira Ivan selesai. Ivan malah mengambil satu porsi besar nasi dan lauk menghiraukan tatapan heran Anne.

Kaya enggak makan setahun, pikirnya. Mereka menghabiskan makan dalam diam hanya dentingan sendok Ivan yang selalu memecah keheningan.

Beberapa hari berselang suara klakson mobil dikenalnya terdengar dari luar. Anne cepat-cepat membuka pintu rumah. Gerbang tengah dibukakan oleh mba mar sebuah mobil sport kuning melewati ambang gerbang berhenti di depan rumah. Seorang pria berusia tiga puluh lima tahunan yang telah lama dikenal membuka pintu mobilnya-menyapa Anne.

Anne sekedar memberi anggukan ringan. Ia paham apa arti kedatangan pria ini yang dikirim menjadi sopir pribadinya. Pak Ari pasti dikirim oleh Ayahnya setelah mendapatkan persetujuan dari ibunya.

Setelah neneknya keluar Anne kembali menuju kamarnya. Di lantai atas Ivan juga tampak baru saja kembali dari balkon menuju kamar miliknya. Mereka tak sengaja bertatapan sesaat sebelum cepat-cepat saling mengalihkan pandang.

Hujan turun sejak pagi hari buta. Di meja makan hanya tersisa Ivan dan Ayahnya tampak fokus pada layar laptopnya. Ivan malah asik bermain game membuyarkan fokus ayahnya "Kenapa kamu belum berangkat?"

"Masih hujan." jawab Ivan santai.

"Kalau nunggu terang, kapan berangkatnya. Sudah sana berangkat sama kakakmu."

Ivan masih tak menghiraukan "Ikut papah."

"Enggak ada kelas," tatapan ayahnya mulai mengeras "satu, dua.."

Ivan beranjak bangkit berlari menuju teras. Mobil Anne masih menunggunya dengan mesin di nyalakan. Ia mengendus dingin sebelum membuka pintu penumpang depan.

Di dalam Anne sudah duduk menatap kosong luar jendela. Pak Ari segera menyalakan mesin mobil setelah memberikan sapaan ringan. Sepanjang jalan mereka sesekali mengobrol tapi Anne tetap diam sepanjang perjalanan sampai tiba di depan gerbang sekolah.

Hujan masih sangat deras Anne hendak membuka pintu sembari bersiap menekan gagang payung. Tapi sudut matanya melihat Ivan hanya menatap linglung keluar jendela. Ia lupa membawa payung.

Kalau tutupan tas bajuku bakal basah kuyup, mending pulang aja sih, batin Ivan kesal.

"Mau bareng?" tanya Anne sambil menyodorkan payung.

Tanpa pikir panjang Ivan langsung memberi tanda persetujuan mengambil payung di tangan Anne dan bergegas keluar lebih dulu baru menghampiri Anne di depan pintu kursi penumpang belakang.

Ukuran payung cukup kecil nyaris tak menutupi mereka berdua. Mau tak mau harus berhimpitan menghindari air hujan yang menetes namun tetap saja sebagian bahu Ivan masih basah. Ivan menyentuh lengan bajunya yang sudah basah "Jamur sama ini payung juga gedean jamur." gerutunya.

Anne sekedar mendongak menatapnya tanpa ekspresi. Membuat Ivan merasa sedikit tidak enak dan saat mengira Anne mungkin tersinggung.

"Soalnya bukan buat jasa antar payung." kata Anne santai.

Ivan tak mau repot-repot menjawab lagi ia hanya memutar bola matanya. Saat jarak menuju lobi hanya sekitar empat langkah Ivan menyerahkan pegangan payung melangkah setengah ke teras lobi dalam sekali gerak.

Kelas masih belum di mulai tapi wakil ketua kelas tengah melakukan presensi. Ivan masuk sebelum tak lama setelahnya disusul Anne. Tampaknya guru bahasa Indonesia sedang terjebak banjir dan memberi mereka tugas membuat autobiografi mereka sendiri.

"Kalau aku udah jadi sepuh gini mah kecil." keluh Farhan.

Ratri memberikan suara persetujuan sembari mencari contoh autobiografi milik pahlawan "Minimal bisa merendah untuk meroket."

"Watashi no namae wa Farhan desu. Cita-citaku merekonstruksi dunia misi hidupku terinspirasi dari guruku Uchiha Madara." celetuk Farhan girang.

"Wibu wibu, punya malu dikit lah." tukas Ivan.

"Ckk, yang penting jadi," Farhan menyambar buku Ivan "Nama saya Ivan Benjamin......Saya bercita-cita menjadi seorang tentara karena saya ingin memegang semua jenis senjata api sungguhan." Farhan spontan tertawa terpingkal-pingkal sampai menular pada teman sekelasnya.

Anak laki-laki di seluruh kelas juga sontak bertepuk tangan dan memanggil Ivan dengan sebutan jendral, marsekal dan jenis lainnya. Sampai seorang anak laki-laki bertubuh kecil pendek yang dijuluki wong alit memanggilnya Bung Amin membuat suasana kembali riuh oleh tawa mengaburkan suara hujan deras di luar.

Anne juga tak luput terbawa suasana terkekeh sembari sesekali melirik kearah Ivan yang malah tanpa malu-malu tampak bangga memberikan sapaan dengan menggerakkan tangan di depan pelipisnya secara cepat.

Tentu saja tiba-tiba guru di kelas sebelah meneriaki mereka untuk berhenti tertawa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!