Jalan Pulang Kita

Jalan Pulang Kita

Rumah baru

Ruangan kepala sekolah itu luas dan terasa dingin. Salah satu dindingnya berupa partisi kaca—memisahkan antara ruang kepala sekolah dan ruang bimbingan Konseling.

Potret Presiden dan Wakil Presiden yang tergantung tinggi di tengah dinding menatap tegas ke seluruh penjuru ruangan. Lemari arsip terpajang berjejeran dengan lemari piala penghargaan yang berada di sudut ruangan.

Seorang wanita bergaun merah dan seorang gadis berkuncir kuda tinggi mengenakan pakaian kasual sopan tengah duduk berdampingan diatas sofa kulit hitam. Di hadapannya adalah seorang pria berusia lima puluhan, keriput di lekuk wajahnya memberi menambah kesan tampak begitu berwibawa.

"Jadi Anne, baru bisa masuk sekolah sekarang, karena Ibu masih harus ngurus berkas-berkas di sana?"

"Iya Pak, bener." jawab wanita itu.

"Ohh ini yang dulu izin nggak ikut ya MPLS ya Bu?" lanjut pria di hadapannya yang merupakan kepala sekolah.

Ibunya mengangguk mengucapkan kalimat yang sama.

"Sekarang kan kegiatan belajar mengajar sudah dua minggu, selain Anne tidak ikut MPLS, Anne juga tidak ikut PTA ditambah lagi Anne sudah dua minggu ketinggalan pelajaran," jelasnya.

"Sebenernya bukan masalah besar, tapi seharusnya ada konfirmasi lain Bu. Karena kan takutnya sekolah sudah menghapus namanya dari daftar siswa baru."

"Untuk masalah itu, saya sebagai ibunya merasa sangat menyesal Pak," timpal ibunya.

Bapak Kepala sekolah mengulurkan tangan mengambil tumpukan berkas di atas meja, membolak-baliknya sejenak. Lantas jemarinya berhenti pada sebuah sertifikat, "Anak yang hebat sekali, bisa dapet mendali perak tingkat nasional. Pasti ibunya bangga," ujarnya.

Ibunya tertawa langsung tertawa kecil. Kemudian beliau kembali membalikan lembaran demi lembaran hingga tak mampu menahan senyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Anak yang sungguh luar biasa," gumamnya.

TOK

TOK

TOK

Seorang guru perempuan berdiri memegang setumpuk seragam yang masih dikemas. Pak Kepala sekolah segera mempersilakan masuk.

"Ini seragamnya ya Bu, sudah lengkap dari senin sampai sabtu," jelasnya, sembari menaruhnya di atas meja. Lantas guru itu kembali undur diri.

Pak kembali berkata, "Anne mulai berangkat besok ya nak, biar tidak ketinggalan pelajaran terlalu banyak."

Anne bersenandung pelan. Ibunya dan Bapak kepala sekolah kembali berbincang-bincang santai. Sementara tatapannya menyisir ruangan. Melalui partisi kaca buram, tampaknya ruang sebelah berisi dua anak remaja laki-laki dan seorang guru. Meski partisi kaca berperedam suara, namun percakapan mereka masih terdengar walau lemah.

"Kalian masih kelas sepuluh, baru dua minggu kalian mulai KBM. Sudah berani bawa komik porno!"

Bentakkannya terdengar keras menembus pertisi kaca. Bapak kepala sekolah dan ibunya yang tengah berbincang sontak terdiam. Suasana hangat berubah seketika menjadi canggung.

Anne merasa heran dan tak bisa tak bertanya-tanya dalam hatinya. Bagaimana bisa ada anak yang begitu bodoh?

Pak kepala sekolah berdehem keras, menghentikan bentak guru sebelah. Lantas menatap ia dan ibunya dengan senyum canggung yang penuh permintaan maaf di wajah wibawanya.

"Namanya juga anak-anak pak," komentar ibunya.

Pak kepsek hanya tertawa yang seolah dibuat-buat. Percakapan ringan kembali berlanjut, tak lama kemudian ibunya mengakhiri percakapan dan izin berpamitan.

Mereka beranjak bangun. "Ayo Anne, salam sama Pak kepala sekolah."

Nggak usah di suruh juga tau, batin Anne. Sambil menyalami dan mencium punggung tangan Pak Kepsek.

Anne dan ibunya berjalan di antar pak Kepsek. Ketika melewati ambang pintu partisi kaca. Sebab rasa penasarannya ia menoleh, matanya tak sengaja menatap seorang siswa berambut cepak yang menatapnya mengamat. Cepat-cepat ia menunduk, tak mau bertatapan terlalu lama.

Di depan mobil yang terparkir di halaman depan. Anne hendak menekan panel pintu penumpang belakang.

"Apa mama supirmu?" cibir ibunya, lalu masuk kursi kemudi tanpa menunggu jawaban.

Ia pun tak susah-susah menjelaskan atau pindah ke kursi depan. Melalui kaca spion mereka sesekali akan bertatapan namun tak satupun mengucap untuk memecah hening.

Hingga mencapai pertigaan, ibunya memutar kemudinya kearah yang berlawanan dengan hotel tempat mereka menginap sebelumnya.

"Maa, bisa tinggal sendiri," Ucap Anne, memecah keheningan.

"Nanti kamu tahu maksud mama, kalau udah tinggal di sana."

Ia ingin terus menolak. Namun tetap bungkam menatap kaca jendela. Apa gunanya? Hasilnya bakal tetep sama. Itu cuma tiga tahun, ya tiga tahun, batinnya, meyakinkan diri.

Tak lama kemudian mereka sampai di depan sebuah rumah jadul bertingkat dua. Ibunya menekan klakson lalu seorang wanita paruh baya berdaster membukakan gerbang.

Begitu mereka turun. Wanita itu menuntun mereka ke dalam. "Nenek mana?"

Tiba-tiba seorang wanita tua berambut putih berlari dari dalam rumah. Matanya yang berair, terbelalak seolah tak percaya.

Anne langsung menoleh menatap ibunya. Pipinya telah dibasahi oleh air mata—menciptakan dua garis panjang. Ia mengucapkan kata dengan sedikit terisak, "Buu."

Wanita tua berlari dan memeluk ibunya sambil tersedu-sedu, air mata mengalir membasahi gaun putih polosnya.

Anne berdiri mengamatinya dari samping, ditemani wanita berdaster yang ternyata matanya sudah berkaca-kaca.

Anne berfikir bahwa wanita tua itu, masih tampak cantik di tengah wajahnya yang keriput. Rambut putihnya juga menambah kesan elegan seorang wanita tua.

"Ini Anne?" tanya wanita tua itu.

"Anne Salim sama nenekmu," suruh Ibunya.

Neneknya langsung memeluknya erat erat, "Sudah lima belas tahun sejak terakhir kali nenek lihat kamu," lantas mencium keningnya lembut.

Meski pikirannya kosong, Anne segera memeluk balik tanpa mengatakan sepatah kata.

Kemudian mereka di ajak masuk, "Mar, buatkan teh buat Yuyun sama Anne."

"Pie Yun, suamimu?"

Ibunya mulai bercerita tentang proses perceraiannya yang sulit dan yang lebih sulit mengenai hak asuhnya. Namun Anne masih merasa kesal. Mengapa ibunya berusaha begitu keras kalo akhirnya malah dititipin di rumah neneknya. Bahkan masih tidak tahu malu berpesan agar dirinya tak boleh berpacaran terlalu intens.

Anne mendengarkan bosan obrolan orang tua. Sesekali ia akan menyenderkan punggungnya di sofa atau meneguk teh manis. Tak lama setelahnya Ibunya beristirahat di kamar neneknya. Hanya tersisa dirinya yang kini mendengarkan setiap kata yang ucapakan neneknya.

Yang bercerita tentang masa kecil ibunya dan pamannya dengan bahasa Indonesia sesekali menyelipkan kata dalam bahasa jawa. Beberapa hal sudah ia ketahui seperti Ibunya yang diambil dari sebuah panti asuhan. Namun cerita lainnya seperti Ibunya yang menjaga pamannya sewaktu kecil ketika nenek dan kakeknya sedang sibuk.

Anne merasa sedikit kagum bercampur iba, menatap pintu yang baru saja dimasuki ibunya. Sampai menjadi wanita paruh baya, ibunya masih tak bisa menemukan orang tua kandungnya.

Tanpa diduga, wanita tua itu mengajaknya berkeliling rumah. Dan memperkenalkan setiap nama tanaman hias yang paling besar.

Sampai di halaman samping. Pandangan Anne tertuju pada kolam renang bergaya modern yang tampak sedikit kontras dengan model bangunan rumah.

"Kolam renang di bikin belum lama," tutur nenek. "Sepupu yang minta."

Kemudian mereka masuk melewati pintu samping yang ternyata langsung menuju dapur. Wanita berdaster yang dipanggil Mar tengah sibuk memasak, "Itu mba Mar, dia yang bantu-bantu nenek di rumah."

Mba mar segera menghentikan pekerjaannya dan menyapa Anne, "Nduk, kalo mau minta buatin apa-apa bilang ke mba ya."

"Iya mba, Anne ngga akan sungkan,"

Nenek kembali mengajaknya berjalan, sampai di depan tangga ia menunjukan dua pintu kamar, "Nanti kamu yang kanan, yang ada kamar mandinya, sepupumu yang kiri."

Di luar tiba-tiba terdengar orang tengah mengobrol. Begitu mereka menoleh, di ambang pintu berdiri seorang wanita berseragam guru dan pria berkacamata.

"Bu, Mbak Yuyun....ini Anne, kan?" seru pria itu.

"Salim sama paman bibimu, nduk." suruh neneknya.

Anne mendekati mereka lalu menyalami keduanya. Tapi begitu ia menyalami bibinya—wanita itu langsung menariknya dalam dekapan.

"Sudah gadis kamu, Ann." ucap bibinya pelan, suaranya sedikit terisak.

Anne terdiam di pelukannya, menatap kosong setiap helai rambut wanita itu. Lantas ia dengan ragu-ragu mengangkat lengannya dan perlahan memeluk bibinya.

Mendadak sebuah teriakkan terdengar di halaman depan. "Pa, ini mobil baruku?"

Anne menatap bibinya yang langsung melepas pelukan dengan senyum canggung, sementara wajah pamannya tersenyum masam dan melangkah keluar.

"Itu sepupumu." bisik neneknya.

Tak lama kemudian pamannya masuk, diikuti seorang remaja jangkung di belakangnya. Mata Anne seketika membelalak kaget, Dia bocah mesum tadi kan?

"Ivan, salim dulu sama kakakmu." suruh pamannya.

Ivan membalas memelototi dari balik punggung pamannya sebelum berjalan mendekat. Sampai begitu dekatnya hanya berjarak tiga puluh centimeter lalu mengulurkan tangan.

Anne ingin melangkah mundur, namun melihat perbedaan tinggi diantara mereka. Ia menggertakkan giginya merasa tak terima. Dia punya masalah apasih! nggak jelas bangett! batinnya kesal.

Ia pun balas mengulurkan tangan, Ivan dengan cepat menjabatnya erat. "Jangan kasih tau Papah soal tadi!" ucap Ivan pelan melalui giginya yang terkatup.

Anne mendongak menatap wajah Ivan yang sok dominan. "Ckk...lepasin," tukas Anne lirih sambil melototi Ivan.

Ivan kembali memelototinya dan segera melepaskan jabatan tangan. Lalu mundur, kembali berdiri di sisi pamannya.

Neneknya mengajak mereka duduk-duduk santai di sofa ruang tamu. Mengobrol ringan membahas berita yang akhir-akhir ini ramai di telivisi.

Ibunya yang baru saja bangun tidur, dengan santai masuk dalam obrolan. Namun entah mengapa, Anne merasa obrolannya malah menjadi canggung.

Ivan dengan cakap langsung menyalami Ibunya.

"Ivan, tolong ambilin budhe paperbag warna hitam di bagasi mobil," ucap ibunya, memberi kunci mobil.

Ivan mengangguk sambil menyahut kunci ditangan ibunya

"Iyaa budhe."

Segera Ivan kembali menenteng paper bag, berjalan mendekati ibunya. Lalu menyodorkan paperbag berwarna hitam bertuliskan merk brand italia. "Ini budhe,"

"Nggak, itu buat kamu." ucap ibunya lembut.

Seketika matanya tampak berseri-seri, seolah sudah tahu apa isinya. "Terima kasih, kakak cantik," seru Ivan senang.

Anne melihatnya merasa geli. Mengingat perbedaan sikapnya yang drastis. Suka kan itu aku yang milih sepatunya, cibir Anne dalam hatinya.

Ibunya dulu seorang model sekaligus aktris, ia dengan gampang mengelus kepala Ivan sebagai tanggapan. Bibinya tertawa kecil sambil menepuk paha Ivan, "Manggilnya Budhe."

Suara tawa mengisi ruang tamu kecil itu. "Tapi Budhe beneran masih kaya mba-mba kuliahan loh," ujar Ivan.

Ibunya tertawa lepas menepuk-nepuk bahu Ivan. Sampai tiba-tiba ia menjatuhkan kecupan ringan pada bibir Ivan. "Gimana? masih kaya ciuman mba-mba kuliahan?"

Tawa Ivan langsung terhenti. Matanya terbelalak kosong sambil menyentuh bibir dengan jemarinya. Tak tau jika semua orang di dalam ruangan menertawainya. "Budhe, itu first kiss-ku loh" gerutu Ivan.

Ibunya terkikik tanpa dosa, mengetuk ringan dahi Ivan "Dasar bocah nakal,"

Dalam hatinya, Anne juga ingin menertawai sepupunya yang polos keras-keras sambil mengejek.

Seusai makan malam, ibunya berpamitan pergi. Tak banyak yang dikatakan pada Anne, kecuali pesan agar tak berpacaran yang kembali diucapkan. Nenek, bibi dan pamannya juga berkata sungguh-sungguh akan menjaganya dengan baik.

Namun di antara mereka termasuk Anne tak ada yang tahu jalan hidup apa yang akan di pilih ibunya. Meski di meja makan bercanda ingin menjadi seorang biarawati.

Nenek, paman, bibi, Ivan, mba mar dan Anne berdiri di depan gerbang rumah. Menatap mobil sport kuning yang perlahan mengecil.

Perasaanya kosong, Anne tak tahu apa yang tengah dirasakan. Hanya kosong, tak ada kesedihan maupun kegembiraan. Hatinya kosong.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!