Untuk malam ini Anne tidur di kamar tamu. Esoknya ia berangkat diantar oleh paman dan bibinya. Begitu sampai sekolah
Beberapa hari selanjutnya Anne pulang sekolah menaiki angkot, tapi karena berdesak-desakan dan panas bercampur bau keringat ia memutuskan di hari selanjutnya berjalan kaki.
Ratri berulang kali juga menawarinya boncengan tapi Anne mengingat obrolan mereka beberapa hari sebelumnya.
"Si brengsek Ivan dari dulu memang kikir." celetuk Ratri seraya menatap punggung Ivan.
"Hah?"
"Ann, kamu tahu enggak Ivan dulu pas SMP nyebelin banget sumpah." ucap Ratri kesal.
"Nyebelin gimana?"
"Nih ya dulu pas SMP temennya banyak yang cewe, trus dia sering ngasih contekan tuh tuh ke cewe-cewe tapi giliran sama aku malah dia yang minta contekan."
"Cantik?"
"Ya cantik sh tapi bego. Pas ngerjain tugas kelompok di rumah Ivan bukannya ikut ngerjain malah deketin ibunya Ivan."
"Itu bukan bego, tapi caper."
"Iya tapi tetep aja."
Saat mengira percakapan akan berakhir Ratri kembali bicara "Kamu tau temen yang biasa bonceng sama Ivan?"
"Enggak." Anne menggelengkan kepala.
Ratri mengambil ponselnya-membuka galeri menunjukan dua remaja laki-laki yang mengenakan Jersey putih bercocok hitam yang saling merangkul. Keduanya memiliki tinggi badan yang hampir sama tetapi perbedaan warna kulit mereka sangat menonjol. Sekali lihat tanpa dijelaskan Anne tahu Ivan yang berkulit putih. Tapi Ratri tetap menjelaskan saat menunjukkan orang disebelahnya yang berkulit sawo matang. Namanya Yuda, mereka anggota klub voli, jelas Ratri.
"Namanya cocok sama mukanya." tanggapnya.
Ratri kembali berbicara mengenai Yuda. Ia juga tanpa malu-malu mengatakan jika cintanya bertepuk selebah tangan. Selama ini dia hanya dapat memotret dari kejauhan layaknya mepaparazi selebriti. Anne sampai merasa sedikit merasa iba saat Ratri menunjukkan gambar kepala buram.
Sampai seminggu kemudian hari-harinya berjalan lancar. Sampai pamannya tiba-tiba berangkat kekampus tempatnya mengajar di pagi hari buta. Semalam Pamannya sudah memberi tahunya lewat chat tapi Anne sudah tertidur. Di teras rumah ia ragu-ragu berangkat sekolah. Jika berjalan kaki pasti telat tapi ia tak mau mendapatkan Alfa.
Greeeeeet
Garasi terbuka, Ivan menaiki sebuah motor Scoopy berwarna merah mengenakan helm full face yang tampak aneh dan tidak cocok. Ia berhenti di depan gerbang rumah memberi isyarat pada Anne.
Meskipun sedikit kesal karena mengenakan helm full face saat mengendarai motor metic. Tapi ketika menatap Anne yang berdiri linglung di depan teras rumah Ivan tak tega membiarkannya berjalan kaki-mungkin berlari menuju sekolah. Beberapa hari sebelumnya ia sudah melihatnya dari kejauhan saat Anne berjalan kaki pulang sekolah. Lagian kenapa enggak pulang sama Ratri aja sih, pikirnya.
Anne tak kunjung menanggapi saat Ivan mengira Anne tak mau berboncengan. Anne langsung menghampirinya mengambil helm yang diberikan olehnya.
Mereka mengendarai motor dalam diam tak ada satupun yang berani memulai obrolan. Ivan sengaja mengambil jalan memutar karena jika melewati jalan raya pasti akan macet tapi jalan yang dilaluinya penuh lubang dimana dan polisi tidur buatan warga. Membikin helm mereka saling beradu terlalu sering. Kadang bahu Anne dan punggungnya juga saling menghantam membuat Ivan duduk semakin maju ke depan "Ckk, mundur dikit sana. Sempit tahu." ucapnya kesal.
Bukan cuma Ivan yang merasa kesal Anne sudah sangat ingin turun sejak awal tapi mendengar perkataan Ivan membuatnya semakin kesal "Ya kamu bisa pelan dikit enggak!" sahutnya sembari duduk menjauh dan mendorong bahu Ivan.
Tapi ia tak tahu karena pandangannya tertutup helm Ivan seekor Ayam lewat saat ia mendorong bahunya dengan keras. Dalam sepersekian detik dunia berputar, tiba-tiba telapak tangan, siku dan lututnya terasa sakit. Anne jatuh menelungkup disusul suara motor yang terguling.
Anne perlahan bangkit menatap telapak tangannya yang sedikit kotor dan terasa panas. Sikunya hanya tergores mengeluarkan bintik-bintik darah sedangkan lututnya lebih parah karena semua area luka berdarah meskipun tak terlalu lebar.
Matanya langsung terbelalak kaget mengingat wajahnya. Anne segera membersihkan telapak tangannya dan meraba wajahnya tapi hanya sedikit debu berpasir yang menempel. Ia segera menghela nafas lega.
Tapi melalui penglihatan tepinya Ivan tengah memandanginya dengan bingung. Anne menatapnya balik penuh tanya tapi Ivan malah langsung tertawa keras. Baru ia tersadar Ivan tidak jatuh sama sekali seluruh seragamnya masih rapih dan bersih.
Anne bergegas kearah Ivan dengan kesal menendang belakang lututnya dan melupakan miliknya yang terluka. Ivan menghindar dengan cepat saat Anne mengernyitkan dahinya karena rasa sakit yang menjalar. Ivan segera berhenti tertawa dan menatap lututnya "Mau ke UGD?"
Anne menatap jam tangannya-menggelengkan kepala dan menunjuk motor "Cepetan nanti telat."
"Lukamu?" tanya Ivan.
"Cepetan, nanti mampir UKS dulu sebelum masuk kelas."
Ivan cepat-cepat mengangkat motor yang rubuh tapi saat ia melihat Anne kembali menaikinya ia tampak ragu-ragu. Tapi akhirnya mereka sampai di sekolah meskipun terlambat karena Ivan mengendarainya sangat pelan.
Anne bergegas menuju UKS selagi Ivan memarkirkan motornya di tempat parkir indoor. Petugas UKS adalah seorang perawat wanita berusia dua puluh empat tahunan ia bertanya tentang asal luka Anne saat membersihkan lukanya. Selesai di perban Anne langsung menuju ruang kelas untungnya guru masih belum masuk.
Teman kelasnya segera mengerumuninya. Seorang gadis keturunan Chindo-lah yang paling banyak menanyakan kronologinya. Anne merasa mereka terlalu berlebihan. Saat mereka perlahan mulai bubar. Ratri merasa aneh karena ia biasanya berangkat bersama pamannya.
"Om-mu jatuh miskin?"
"Nonsense, om ku tadi berangkat pagi, Aku bonceng sama anaknya."
"Om-mu punya anak?","Aku kira masih bujangan." sambungnya.
"Padahal mau minta dikenalin."
Anne sudah mulai terbiasa dengan candaan Ratri yang tak bermoral tapi saat di bagian ini ia tanpa sadar melirik Ivan. Benar saja warna wajahnya sudah seperti banteng merah.
"Ehh gimana Yuda?" alihnya.
Mata Ratri seketika berbinar sebelum kembali meredup. Meskipun sudah mendapatkan nomer ponsel Yuda tapi ia masih tak berani mengirim pesan duluan. Anne juga memberikan pendapatnya tentang berpura-pura salah nomor sampai pura-pura menjadi kurir tapi tak ada masukan yang diterima.
"Ann nanti mau pulang bareng?" tawar Ratri disela obrolan.
Anne memikirkannya sejenak, semula ia juga tak keberatan berboncengan dengan Ivan tapi mengingat helm mereka yang selalu berhantaman membikinnya kembali merasa kesal.
Jalan yang mereka lalui sebelumnya terdapat gang sempit mungkin nanti ia bisa meminta Ratri berhenti di depan gang, pikir Anne.
"Emang enggak papa?"
"Iyaa ayo nanti aku anter." ajak Ratri.
Ketika bel pulang berbunyi, selagi Ratri mengambil sepeda motornya Anne memberi tahu Ivan agar tidak usah menunggunya. Ivan hanya memberikan anggukan kecil dan berjalan melewatinya.
Dalam perjalanan pulang Ratri kembali bercerita mengenai Yuda sampai ketika Anne menunjukkan arah jalan Ratri mulai merasa ragu-ragu tapi ia tetap melaju sampai depan gang yang ditunjuk Anne "Ann rumah kamu yang mana?" tanyanya bingung "Rumah Yuda sama Ivan juga enggak jauh dari sini."
"Rumahku udah deket, terima kasih Ra."
"Beneran? Ya sudah aku pulang Ann." ujarnya sambil men-starter sepeda motornya.
Anne melambaikan tangannya "hmm, hati-hati."
Di depan pintu kamar Anne. Ivan sudah membeli perlengkapan untuk mengobati luka luar beserta salep guna menghilangkan bekas luka. Saat membelinya Ia hanya teringat banyak teman sekelas perempuannya selalu mengeluh mengenai bekas jerawat mereka. padahal kan keren punya bekas luka apalagi kalo baku hantam, menurutnya. Lagian Ivan membeli semuanya supaya Anne tak mengadu pada ayahnya.
Tapi setelah berdiri hampir lima menit Ivan masih ragu-ragu mengetuk pintu Anne sampai pada menit ke sepuluh ia mengetuk pelan. Begitu pintu terbuka ia langsung menyodorkan kantong kereseknya sembari menggaruk kepalanya.
Bukannya langsung diterima Anne malah menatapnya heran "Apa?"
"Obat luka luar." jawab Ivan gugup.
Anne meng-oh seraya meraih kantong kereseknya "Makasih."
Begitu Anne berniat menutup kembali pintunya Ivan segera menghentikannya "Jangan kasih tau Papah," bisik Ivan.
Anne menarik salah satu sudut mulutnya segera membanting pintu. Seketika Ivan naik pitam menggedor pintu sambil meneriaki namanya sebelum neneknya melemparkan sandal dari lantai bawah kebelakang kepalanya.
Ivan menggerutu marah masuk ke dalam kamarnya menendang-nendang dinding antara kamar miliknya dan milik Anne. Kamar sebelahnya masih tidak bereaksi tapi kakinya terasa sakit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments