Van Loon
Dataran Sumatera bagian Selatan begitu cerah, awan-awannya membentuk gumpalan putih yang memisah bak kapas yang terapung-apung di udara. Di ujung sana, sebuah gunung berdiri tegak dengan gagahnya, menyatu bersama bukit yang memanjang memagari desa Talang Benteng. Itulah Gunung Dempo, di dataran kabupaten Empat Lawang, kecamatan Muara Pinang.
Seorang anak kecil berambut pirang, bermata biru dan berwarna kulit yang sama seperti para aktor barat berlari-lari dengan seragam merah-putihnya. Matanya berair. Ia baru saja diejek oleh teman-teman sekolahnya. Kelahirannya di negeri itu
seakan-akan seperti alien yang hidup di negeri asing, terasing, saat menyadari betapa berbedanya ia dengan anak-anak asli Melayu itu. Namanya Ivan.
Pagi itu, Ivan pulang ke rumah. Masih terlalu pagi untuk jam pulang sekolah di hari pertamanya masuk sekolah dasar. Nasi goreng putih yang disangrai tanpa minyak masih menyisakan hangat, dan dua gelas kopi masih mengeluarkan uap aroma yang
harum, sisa sarapan Ivan dan ibunya, satu-satunya orang tua yang membesarkan Ivan selama ini. Sejak lahir hingga tumbuh besar, Ivan sama sekali tak pernah mengenali siapa dan seperti apa ayahnya.
"Cepat sekali Kau pulangnya, Nak?" tanya ibunya sedikit heran. Ia baru saja selesai memasak, lalu sambil bersiap-siap berkemas untuk pergi ke kebun kopi.
"Ivan tak mau sekolah...Ivan mau ikut Ibu ke kebun saja. Di sekolah Ivan tak nyaman, semua mengejekku... mereka mengataiku anak Belanda, Mak..., anak penjajah...," ucap Ivan sesenggukan.
Ibunya memeluk Ivan hangat. "Jika Kau tak sekolah, Kau tak akan bisa menaklukkan gunung Dempo, Anakku. Ayo... Ibu antar Kau ke sekolah lagi. Nanti Kau tunjuk siapa yang mengataimu anak Belanda, biar Umak urus, biar mereka tak berani lagi mengataimu," bujuk ibunya lemah lembut. Ivan menggeleng.
"Jangan khawatir, setelah Umak bicara pada mereka nanti, mereka tak akan mengataimu lagi," rayu ibunya sambil membelai rambut pirang anak kesayangannya itu.
"Aku tak mau...," ucap Ivan masih sesenggukan menangis.
"Ya sudah jika tak mau. Tapi besok Kau harus sekolah, Umak akan menghantarkanmu dan menunggumu sampai pelajaran berakhir...Umak ingin tahu siapa yang berani-beraninya mengataimu seperti itu," tegas Ibunya.
Ivan mengangguk.
"Gantilah baju kalau mau ikut Umak ke kebun."
Ivan masuk ke kamar lalu melepas pakaian merah-putihnya dan langsung menggantinya dengan pakaian biasa. Setelah selesai, sejenak Ivan bercermin. Ia pandangi wajah dan tubuhnya di cermin lemari pakaiannya itu, lalu dibandingkannya dengan foto ibunya yang menempel di dinding kamarnya, semua benar-benar berbeda, tak ada kemiripan dengan ibunya.
"Apa aku ini benar-benar anak Belanda?" bisik hati Ivan. Namun ia tepis pikiran aneh itu dan segera beranjak dari kamarnya. Dihampirinya ibunya untuk pergi bersama ke kebun kopi.
****
Untuk sampai ke kebun kopinya, mereka harus melewati jalan khusus, dengan hamparan puluhan hektar perkebunan di sepanjang jalan itu. Ibunya berjalan kaki memikul Ivan yang berada di dalam sebuah keranjang khas Sumatera Selatan sambil
membawa Alat memotong rumput.
Ivan mulai melamun. Pikirannya kembali menerawang danmemikirkan kejadian-kejadian di sekolah tadi pagi.
"Belanda...!" Teriak seorang anak kelas empat saat melihat Ivan berdiri di kelas barunya. Ivan sedikit terkejut. Tiba-tiba siswa itu mendekat, Berik namanya, cucu seorang pahlawan veteran yang terobsesi menjadi pahlawan seperti kakeknya. Berik sangat terhipnotis oleh cerita-cerita kakeknya tentang perjuangan sang kakek melawan Belanda dan Jepang. Semenjak itu, Berik sangat
suka menonton film kepahlawanan. Ia begitu memahami wajah si penjajah Belanda lewat film yang ditontonnya itu. Semenjak ia melihat rupa Ivan yang kebarat-baratan, naluri kepahlawanan Berik tiba-tiba muncul. Ia tak peduli dan tak mau tahu siapa sebenarnya Ivan. Yang Berik tahu, Ivan sama seperti penjajah Belanda yang harus disingkirkan. Wajahnya tiba-tiba menjadi beringas, kedua tangannya terkepal. Ia merasakan betapa pedihnya perjuangan kakeknya dulu melawan penjajah Belanda. Saat itu secara tak sengaja Berik menemukan arang. Ia ambil arang itu, lalu ia torehkan membentuk garis miring di kedua pipinya. Berik kembali memelototi Ivan. Saking takutnya, Ivan gemetar dan mulai sesenggukan menahan tangis.
"Anak penjajah tak boleh sekolah di sini!" Teriak Berik dengan geram dan lantang, lalu menarik kerah baju baru Ivan.
Ivan masih sesenggukan dan menunduk. Tak lama
kemudian, teman-teman Berik bermunculan mendekatinya dan melingkar mengerumini Ivan, mereka semua berteriak.
"Belando.. Belando... Belando..."
Mendengar ejekan itu, Ivan langsung menangis dan berlari menembus rumah-rumah panggung sampai ke ujung desa Talang Benteng. Hari itu adalah hari pertama sekolah yang menyedihkan bagi Ivan. Ia merasa seperti Thomas Alpha Edison yang diejek
teman-temannya ketika penemu listrik ini sekolah.
"Aku bukan anak Belanda...," bisik hati Ivan mengiba. Tapi ketika ia menyadari dirinya berbeda dengan anak-anak Melayu lainnya, Ivan semakin sedih. Ia kesulitan membela diri karena memang dirinya benar-benar berbeda dengan teman-temannya.
Lamunannya buyar ketika ibunya menyuruhnya untuk keluar dari keranjang. Ivan mulai asyik bermain dengan anak burung puyuh yang baru saja ia tangkap dari sarangnya, sambil menemani ibunya merumputi kebun kopi yang menjadi sumber penghasilan mereka selama ini. Ia lihat bunga-bunga kopi sudah memutih.
***
Pagi itu Ivan ragu untuk ke sekolah. Rasa takutnya pada Berik makin menjadi-jadi. Namun dengan bujuk-rayu ibunda tercintanya, akhirnya Ivan mau ditemani ibunya. Ibunya sangat menyayangi Ivan, walau kadang terlintas di pikiran Ivan sebuah
pertanyaan apakah ibu yang membesarkannya itu benar-benar ibu kandungnya atau tidak. Melihat perbedaan yang mencolok dari segi fisik, warna rambut, warna kulit dan matanya yang biru, membuat Ivan tak yakin kalau ia adalah anak kandung ibunya. Namun melihat kasih sayang ibunya yang luar biasa, Ivan menjadi ragu dengan
pertanyaannya itu.
Di kelas itu, Ivan kecil mulai menikmati belajar berhitung bersama puluhan murid baru lainnya. Guru baru mereka bernama bu Emi, terkenal dengan sikapnya yang galak saat mengajar. Semua murid akan gemetar ketakutan bila bu Emi masuk. Baru hari pertama Ivan belajar dengannya, ibu guru itu sudah membuat dada Ivan dag dig dug. Sekali si ibu guru berteriak marah, gendang telinga serasa akan pecah. Selalu ada saja siswa atau siswi yang menjerit menangis bila tak mampu mengerjakan soal di papan tulis, padahal ibu emi belum menghukumnya, tapi mereka sudah ketakutan duluan. Karena sikapnya yang menakutkan seperti itu, nyaris tak ada satupun murid yang berani berisik.
Ibu Ivan berdiri saja menunggu Ivan di luar kelas. Dia merelakan dirinya untuk tidak pergi ke kebun demi menjaga Ivan dari ejekan-ejekan teman-temannya kemarin. Ia berniat untuk memberi tahu siapapun yang mengejek anaknya untuk tidak
mengejek Ivan lagi. Hari itu nyaris tak ada lagi yang berani mengejek Ivan sebagai anak Belanda. Berik dan teman-temannya bungkam tak berani ketika melihat muka garang wanita tua itu mengawasi Ivan kecil. Wajah sangar yang menyaingi wajah ibu Emi inilah rupanya yang membuat Berik dan teman-temannya takut.
jangan lupa meninggalkan jejak LIKOVOTI (Like,Komen,Vote, dan Tip). Terimakasih😍😍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Noejan
😥 mulai baca pln2
2020-12-18
0