Eps.2

Saat ibu Emi keluar dan pelajaran matematika selesai, terlihat sekali siswa dan siswi yang masih baru itu bisa sedikit santai.

"Itu ibu Kamu?" tanya Pipen, teman sebangku Ivan.

Ivan hanya mengangguk.

"Kamu memang berbeda ya?Rambutmu...kulitmu... matamu...Kurasa Kamu anak ajaib. Ibumu hebat bisa melahirkan anak sepertimu," puji Pipen.

Ivan hanya tersenyum. Baru kali itu ada yang memujinya. Ia pikir perbedaannya itu akan selalu mengundang ejekan dari teman-temannya, ternyata masih ada yang memujinya. Ivan merasa senang bisa sebangku dengan Pipen.

"Namaku Pipen. Mulai sekarang Kita bersahabat. Jangan takut dengan Berik anak kelas empat itu. Jika dia mengejekmu lagi seperti kemarin, bilang saja padaku, dia kakakku," ujar Pipen menjelaskan.

Ivan terkejut, “Dia kakakmu?" tanya Ivan penasaran.

"Iya, dia kakakku... Sebenarnya dia tidak jahat, tapi karena kakek sering bercerita tentang para penjajah, ia sangat benci sekali dengan penjajah," jawab Pipen.

“Oh... seperti itu ya?” ucap Ivan tak percaya.

“Aku percaya Kamu bukan penjajah,” ucap Pipen. Mereka berdua tersenyum.

Semenjak itu Ivan punya sahabat baru. Ia pun mulai tenang, sebab kini ia punya dua pahlawan yang melindunginya, ibu tercintanya dan Pipen sahabat barunya.

Ketika Ivan menduduki kelas tiga, sementara Berik masih duduk di kelas empat karena dua tahun tidak naik kelas, Berik semakin penasaran dengan Ivan. Obsesinya menjadi pahlawan semakin menjadi-jadi. Karena ia yang paling tua di kelasnya, ia mempengaruhi teman-teman sekelasnya untuk berperang dengan Ivan.

“Kalian tahu, betapa merintihnya pahlawan kita dibuat susah oleh kaum penjajah. Sekarang penjajah Belanda itu sekolah di sini, ini saatnya kita menuntut balas!” Teriak Berik berorasi di

hadapan teman-teman sekelasnya. Namun sayang, teman-teman sekelasnya hanya diam. Berik pun main mata dengan Gugun sang wakil ketua kelas empat, Gugun langsung paham, ia pun berteriak

mempengaruhi teman-temannya.

“Merdeka... merdeka... merdeka...!”

Tak lama kemudian semua teman-teman sekelasnya pun berseru.

“Merdeka... Merdeka... merdeka...!”

Ivan mendengar orasi Berik di kelas sebelah. Pipen mendekatinya, "Ivan, kurasa kakakku sudah keterlaluan..., jangan Kau ladeni dia, dia sudah gila jadi pahlawan...," ucap Pipen geram pada kakaknya itu.

"Ini saatnya Aku membuktikan pada kakakmu itu bahwa Aku bukan anak Belanda. Bantu Aku Pen, kurasa berperang dengannya adalah ide baik. Jika Aku menang, kakakmu pasti akan jera. Inilah cara untuk menghentikan orasi konyolnya itu." Ivan

berkata penuh semangat pada Pipen.

"Kau serius...?" tanya Pipen memastikan.

"Aku serius!" Jawab Ivan tegas.

"Baiklah kalau begitu, Apapun katamu aku ikut saja. Nanti Kita bicarakan masalah ini di depan kelas. Kita juga minta dukungan sama teman-teman sekelas, mudah-mudahan mereka mendukung,"

ucap Pipen.

Di belakang sekolah, Berik berorasi lagi di hadapan puluhan teman-teman sekelasnya. Di sana ia ingin menjelaskan strategi perang pada teman-temannya karena ia pikir itu adalah tempat yang aman. Bak seorang komandan yang menjelaskan strategi

perang pada tentaranya, Berik sesekali membuat garis-garis di tanah dengan sebilah batang Akasia yang ia patahkan langsung dari pohonnya. Kadang Berik melihat ke kiri-kanan seolah-olah mengetahui ada musuh yang mengintai strategi perangnya. Berik merasa dirinya pejuang bambu runcing yang sedang berunding untuk menghalau musuh dalam keadaan genting. Teman-teman yang ikut mendengarkan strategi perang dari Berik pun tak kalah serius, mereka seakan sedang mendengarkan semangat yang luar biasa dari komandannya. Mata mereka melotot serius, telinga mereka terbuka lebar-lebar.

Pipen dan Ivan tak mau kalah. Hari ini mereka juga berhasil mempengaruhi teman-teman sekelasnya untuk mendukung Ivan. Siang itu mereka berbondong-bondong turun ke air sungai Lintang

yang deras itu untuk mengumpulkan batu-batu kecil sebesar ujung kelingking. Setelah batu-batu itu terkumpul, mereka naik ke tebing untuk mencari kayu bercabang dua yang akan dibuat menjadi

ketapel.

"Pen, kau yakin akan menggunakan batu-batu ini untuk peperangan? Bisa bengkak semua nanti kepala kena batu ini" Tanya Elun pada Pipen. Elun adalah siswi tercantik dan cerdas di sekolah. Ia termasuk golongan mampu, anak seorang pemilik bioskop video film yang banyak memutarkan film-film perjuangan. Bedui nama ayahnya. Bioskop mini yang dibuatnya di bawah rumah panggungnya itu cukup menarik perhatian anak-anak di desa. Cukup membayar seratus rupiah saja, mereka sudah bisa menyaksikan pertunjukan film dengan televisi hitam putih. Ada yang unik dari Elun, yaitu kebiasaannya membawa buah-buahan ke sekolah. Bagi Ivan dan Pipen, buah yang sering dibawa Elun cukup aneh, jarang sekali Ivan dan Pipen melihatnya dan bahkan memakannya.

"Iya, nanti kalau mereka benjol-benjol bagaimana?" tanya Lin, siswi terpintar di kelas Ivan sekaligus tetangganya, yang juga mendukung perang-perangan itu untuk Ivan. Rumah Lin berdekatan dengan rumah Ivan.

"Tenang saja, kak Berik juga sudah mempersiapkan alat yang lebih berbahaya dari pada ini," jelas Pipen pada Elun dan Lin.

Elun dan Lin saling melihat ketakutan.

“Jangan takut Elun, Aku akan melindungimu,” bisik Pipen, yang baru-baru ini begitu perhatian padanya.

Elun hanya diam, ia sedikit malu mendapat perhatian yang lebih dari Pipen. Semenjak kompak dalam menghadapi perang dengan Berik, sikap Pipen agak berbeda pada Elun. Ivan juga hanya

diam dan mencoba untuk tak peduli masalah itu. Dia hanya terharu saja melihat sahabat-sahabatnya itu begitu setia terhadapnya.

"Berik..., lihat saja nanti, Kau pasti kalah...!" Bisik hati Ivan.

***

Hari itu di kebun kelapa Wak Dijut, pasukan Ivan dan Pipen sudah siap dengan ketapel masing-masing. Pasukan Berik akhirnya muncul membawa sebuah bambu kecil dan berlubang kecil, lalu

masing-masing membawa satu kantong plastik hitam yang berisi potongan kertas-kertas. Jika kertas-kertas itu dikulum sampai basah, lalu dimasukkan ke dalam lubang kecil bambu itu dan didorong oleh sebilah bambu kecil yang pas jika dimasukkan

kedalam lubang itu, maka benjollah bagian tubuh yang dikenainya.

"Ayo kita serang pasukan Belanda itu dan sekutu-sekutunya...! Merdeka...! Merdeka...!" Teriak Berik dengan garis-garis arang di wajahnya.

"Merdeka...! Merdeka...!" Teriak pasukannya yang juga memiliki garis-garis arang di wajah masing-masing.

Merekapun mulai bermain perang-perangan. Ketapel-ketapel itu terus mengayunkan batu-batu kecil ke pasukan Berik, dan bulatan-bulatan kertas basah itupun tak henti-henti menghantam pasukan Ivan. Tak ada yang menang dalam peperangan itu, semua benjol-benjol dan semua menangis kesakitan, termasuk Berik yang menangis lebih keras dibanding yang lain.

"saya laporkan pada ibu nanti, awas saja" teriak Berik yang menangis meraung-raung.

Walau penuh benjol, Ivan sedikit tersenyum melihat Berik yang ternyata sangat kekanak-kanakan. Ia pandangi wajah Pipen yang memerah dipenuhi kertas-kertas basah, ia pandangi juga wajah Elun, Lin dan yang lainnya.

jangan lupa meninggalkan jejak LIKOVOTI (Like,Komen,Vote, dan Tip). Terimakasih😍😍

Terpopuler

Comments

Noejan

Noejan

😍 Hadir ~

2021-01-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!