Merekapun mulai bermain perang-perangan. Ketapel-ketapel itu terus mengayunkan batu-batu kecil ke pasukan Berik, dan bulatan-bulatan kertas basah itupun tak henti-henti menghantam pasukan Ivan. Tak ada yang menang dalam peperangan itu, semua benjol-benjol dan semua menangis kesakitan, termasuk Berik yang menangis lebih keras dibanding yang lain.
"saya laporkan pada ibu nanti, awas saja" teriak Berik yang menangis meraung-raung.
Walau penuh benjol, Ivan sedikit tersenyum melihat Berik yang ternyata sangat kekanak-kanakan. Ia pandangi wajah Pipen yang memerah dipenuhi kertas-kertas basah, ia pandangi juga wajah Elun, Lin dan yang lainnya.
"Terima kasih semuanya. Hari ini kalian menunjukkan padaku sebuah arti seorang sahabat." Bisik hati Ivan.
Amarah Berik masih ia pendam.
"Tunggu saatnya nanti Ivan..." Berik berkata dalam hati penuh kebencian.
Sumpah serapah ibunda Ivan terdengar sampai ke seantero desa Talang Benteng dan bergema ke seluruh penjuru Empat Lawang. Beginilah jika perempuan suku Lintang sudah marah. Ia sangat marah melihat tingkah Ivan yang bermain perang-perangan sampai wajahnya bengkak-bengkak. Ivan hanya menunduk saja di hadapan ibundanya itu.
“Kalau nanti masih nakal, akan ibu kurung dalam emben-emben” ucap Ibunya marah hebat.
Sementara Berik dan adiknya Pipen ditarik oleh kakeknya ke dalam kamar. Berik dan Pipen menunduk saja. Kakeknya membuka lemari dan mengambil senjata rahasia agar kedua cucunya itu jera untuk berlaku nakal. Bukannya pistol atau senapan, melainkan sebotol pil yang mampu mengeluarkan cacing-cacing jahat di dalam perut.
Melihat obat cacing itu mata Berik terbelalak. Ia masih teringat saat dulu perutnya agak buncit karena cacingan, kakeknya menyuruh minum obat cacing itu, lalu sesuatu keluar dari celana pendek Berik. Berik menjerit-jerit ketakutan melihat cacing-cacing yang keluar di dalam celananya itu. Kakeknya langsung menggendongnya dan membawanya ke air sungai kecil Tebak Bramo. Di sana Berik menjerit-jerit ketakutan. Semenjak itu ia taubat nasuha meminum pil itu. Dan bila Berik nakal, pil itulah yang membuat Berik jera. Dan hari itu, kakeknya harus meminumkan pil itu lagi pada Berik. Mata Berik mulai merah, nafasnya sudah tak beraturan lagi, ia menjerit menangis.
“Tidak mau... tidak mau... aku tak mau meminum obat itu.. tidak mau” Berik berteriak, sementara Pipen hanya diam menunduk menyesal.
“Kalau tak mau Kakek suruh minum obat ini lagi, jangan main perang-perangan lagi seperti ini! Bengkak-bengkak begini namanya bukan bermain lagi, tapi sudah berkelahi… Katanya mau jadi pahlawan? Jadi pahlawan sejati itu tidak begini. Bermusuh-musuhan dengan teman sendiri kalian pikir sudah jadi pahlawan?” teriak kakeknya yang tak kalah besarnya dengan teriakan ibunda Ivan. Teriakan itu bukannya hanya bergema ke seantero kabupaten Empat Lawang, melainkan menembus batas provinsi Bengkulu ke arah utara sana. Berik dan Pipen mulai ketakutan.
“Bukannya Kakek yang bilang kita harus membenci penjajah Belanda itu? Dan Belanda itu ada di sekolahku, Kek,” bela Berik yang masih terisak.
“Dia bukan Belanda, Kek. Kak Berik saja yang membuat masalah duluan...,” ucap Pipen membela Ivan.
“Diam!” Teriak kakeknya. Pipen dan Berik terdiam bungkam.
“Bawa Kakek ke sekolah besok! Kakek ingin lihat apa benar anak itu anak Belanda seperti yang Kau maksud, Berik.” Ucap kakek lemah, lalu memasukkan kembali obat cacing itu ke tempat semula dan pergi ke luar kamar meninggalkan Berik dan Pipen yang masih terisak.
***
Ivan berdiri saja di depan kelasnya. Ia pandangi Elun dan Lin yang sedang asyik bermain lompat karet bersama teman-teman perempuan lainnya. Ivan bangga pada mereka. Perempuan-perempuan kecil itu benar-benar perkasa bagi Ivan dan ia terharu melihat keberanian mereka kemarin. Di jam istirahat itu, siswa-siswi SD Negeri Talang Benteng asyik bermain-main. Ada yang bermain
Cagak Ter yaitu permainan gelang karet untuk laki-laki, ada yang bermain bola kerang dengan cacap dua belasnya dan masih banyak lagi. Namun Ivan masih asyik mematung dan melamun, dia masih
bertanya-tanya tentang dirinya yang berbeda dengan anak-anak Melayu lainnya.
Ivan sedikit terkejut ketika melihat Berik dan Pipen membawa kakeknya ke sekolah. Yang paling membuatnya terkejut adalah mereka menghampirinya. Ivan mulai ketakutan, khawatir
kakek mereka akan Ikut mendukung Berik dan akan memarahi Ivan.
Kakek Pipen terhenti saat ia bisa menatap wajah Ivan dengan jelas, ia diam. Ia mengakui bahwa wajah Ivan sejenis dengan wajah-wajah penjajah Belanda. Tiba-tiba ingatannya langsung menerawang pada suara tembakan-tembakan yang
pernah didengarnya puluhan tahun yang lalu.
“Siapa namamu, Nak?” tanya kakek itu sambil memegang kedua bahu Ivan.
“Ivan, Kek…,” jawab Ivan gugup.
“Nama kakekmu?” tanya kakek itu lagi.
“Kakekku namanya Hamidin,” jawab Ivan kembali dengan gugup.
“Subhanallah… Almarhum Hamidin yang rumahnya di depan masjid AT-TAQWA desa Talang Benteng Ilir itu kan?” tanya kakek itu memastikan.
Ivan hanya mengangguk.
“Dia juga teman seperjuangan kakek,” ucap kakek terkejut.
“Berik, sini Kau!” Pinta kakek pada Berik. Berik mendekat.
“Dia juga cucu seperjuangan Kakek, cucu seorang pahlawan... Kau tak boleh membencinya. Ulurkan tanganmu, saling bermaafanlah!” Pinta kakeknya.
Dengan tak Ikhlas Berik mengulurkan tangannya dan merekapun saling bermaaf-maafan. Pipen tersenyum. Namun di hati Berik masih ada dendam, tak semudah itu dia berdamai dengan
Ivan. Beginilah sifat anak Lintang, keras sekeras baja dan tak akan mudah menyerah. Wajar saja jika mereka memiliki pribahasa yang dijunjung tinggi
“NEDO MUNOH MATI JADILAH”. Tidak membunuh, matipun jadi.
“Ini belum berakhir, Ivan… belum…” Bisik hati Berik.
#
Pagi itu, di atas Anjung, di tengah-tengah sawah yang menguning, sambil memegang tali-tali Kekebang untuk mengusir burung-burung mencuri buah padi, Pipen dan Ivan duduk-duduk sambil memandangi Gunung Dempo yang menjulang biru di ujung sana. Dua anak kecil itu sama-sama melamun.
"Kau ingin mendengarkan sebuah kisah dariku?" tawar Ivan pada Pipen.
"Kau bisa bercerita?" tanya Pipen tak percaya.
Ivan mengangguk.
“Baiklah, Aku suka mendengarkan cerita dari kakek, walau melulu tentang kepahlawanan, tapi gaya cerita kakek membuatku memukau."
“Ini tentang sebuah kerajaan yang tersembunyi di negeri kita ini. Kerajaan itu masih ada sampai saat ini, tapi nyaris tak ada satupun yang bisa menemukannya," ucap Ivan semangat tak kalah
dengan semangat pejuang 45. Pipen semakin penasaran.
"Oh ya? Dari mana Kau tahu? Aku jadi penasaran," ucap Pipen yang semakin mendekat dengan Ivan. Angin sawah tiba-tiba berhembus.
"Tapi Kau harus janji untuk tidak menceritakannya pada siapapun." Pipen mengangguk.
Ivan mulai berbisik, “Dari kakek Janggut.”
jangan lupa meninggalkan jejak LIKOVOTI (Like,Komen,Vote, dan Tip). Terimakasih😍😍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Hanisullah Ilyas
bagus Thor..ceritanya bagus, dan gaya penulisannya baik..!! lanjutkan dan sukses..!!
2020-11-22
0