Dataran Sumatera bagian Selatan begitu cerah, awan-awannya membentuk gumpalan putih yang memisah bak kapas yang terapung-apung di udara. Di ujung sana, sebuah gunung berdiri tegak dengan gagahnya, menyatu bersama bukit yang memanjang memagari desa Talang Benteng. Itulah Gunung Dempo, di dataran kabupaten Empat Lawang, kecamatan Muara Pinang.
Seorang anak kecil berambut pirang, bermata biru dan berwarna kulit yang sama seperti para aktor barat berlari-lari dengan seragam merah-putihnya. Matanya berair. Ia baru saja diejek oleh teman-teman sekolahnya. Kelahirannya di negeri itu
seakan-akan seperti alien yang hidup di negeri asing, terasing, saat menyadari betapa berbedanya ia dengan anak-anak asli Melayu itu. Namanya Ivan.
Pagi itu, Ivan pulang ke rumah. Masih terlalu pagi untuk jam pulang sekolah di hari pertamanya masuk sekolah dasar. Nasi goreng putih yang disangrai tanpa minyak masih menyisakan hangat, dan dua gelas kopi masih mengeluarkan uap aroma yang
harum, sisa sarapan Ivan dan ibunya, satu-satunya orang tua yang membesarkan Ivan selama ini. Sejak lahir hingga tumbuh besar, Ivan sama sekali tak pernah mengenali siapa dan seperti apa ayahnya.
"Cepat sekali Kau pulangnya, Nak?" tanya ibunya sedikit heran. Ia baru saja selesai memasak, lalu sambil bersiap-siap berkemas untuk pergi ke kebun kopi.
"Ivan tak mau sekolah...Ivan mau ikut Ibu ke kebun saja. Di sekolah Ivan tak nyaman, semua mengejekku... mereka mengataiku anak Belanda, Mak..., anak penjajah...," ucap Ivan sesenggukan.
Ibunya memeluk Ivan hangat. "Jika Kau tak sekolah, Kau tak akan bisa menaklukkan gunung Dempo, Anakku. Ayo... Ibu antar Kau ke sekolah lagi. Nanti Kau tunjuk siapa yang mengataimu anak Belanda, biar Umak urus, biar mereka tak berani lagi mengataimu," bujuk ibunya lemah lembut. Ivan menggeleng.
"Jangan khawatir, setelah Umak bicara pada mereka nanti, mereka tak akan mengataimu lagi," rayu ibunya sambil membelai rambut pirang anak kesayangannya itu.
"Aku tak mau...," ucap Ivan masih sesenggukan menangis.
"Ya sudah jika tak mau. Tapi besok Kau harus sekolah, Umak akan menghantarkanmu dan menunggumu sampai pelajaran berakhir...Umak ingin tahu siapa yang berani-beraninya mengataimu seperti itu," tegas Ibunya.
Ivan mengangguk.
"Gantilah baju kalau mau ikut Umak ke kebun."
Ivan masuk ke kamar lalu melepas pakaian merah-putihnya dan langsung menggantinya dengan pakaian biasa. Setelah selesai, sejenak Ivan bercermin. Ia pandangi wajah dan tubuhnya di cermin lemari pakaiannya itu, lalu dibandingkannya dengan foto ibunya yang menempel di dinding kamarnya, semua benar-benar berbeda, tak ada kemiripan dengan ibunya.
"Apa aku ini benar-benar anak Belanda?" bisik hati Ivan. Namun ia tepis pikiran aneh itu dan segera beranjak dari kamarnya. Dihampirinya ibunya untuk pergi bersama ke kebun kopi.
****
Untuk sampai ke kebun kopinya, mereka harus melewati jalan khusus, dengan hamparan puluhan hektar perkebunan di sepanjang jalan itu. Ibunya berjalan kaki memikul Ivan yang berada di dalam sebuah keranjang khas Sumatera Selatan sambil
membawa Alat memotong rumput.
Ivan mulai melamun. Pikirannya kembali menerawang danmemikirkan kejadian-kejadian di sekolah tadi pagi.
"Belanda...!" Teriak seorang anak kelas empat saat melihat Ivan berdiri di kelas barunya. Ivan sedikit terkejut. Tiba-tiba siswa itu mendekat, Berik namanya, cucu seorang pahlawan veteran yang terobsesi menjadi pahlawan seperti kakeknya. Berik sangat terhipnotis oleh cerita-cerita kakeknya tentang perjuangan sang kakek melawan Belanda dan Jepang. Semenjak itu, Berik sangat
suka menonton film kepahlawanan. Ia begitu memahami wajah si penjajah Belanda lewat film yang ditontonnya itu. Semenjak ia melihat rupa Ivan yang kebarat-baratan, naluri kepahlawanan Berik tiba-tiba muncul. Ia tak peduli dan tak mau tahu siapa sebenarnya Ivan. Yang Berik tahu, Ivan sama seperti penjajah Belanda yang harus disingkirkan. Wajahnya tiba-tiba menjadi beringas, kedua tangannya terkepal. Ia merasakan betapa pedihnya perjuangan kakeknya dulu melawan penjajah Belanda. Saat itu secara tak sengaja Berik menemukan arang. Ia ambil arang itu, lalu ia torehkan membentuk garis miring di kedua pipinya. Berik kembali memelototi Ivan. Saking takutnya, Ivan gemetar dan mulai sesenggukan menahan tangis.
"Anak penjajah tak boleh sekolah di sini!" Teriak Berik dengan geram dan lantang, lalu menarik kerah baju baru Ivan.
Ivan masih sesenggukan dan menunduk. Tak lama
kemudian, teman-teman Berik bermunculan mendekatinya dan melingkar mengerumini Ivan, mereka semua berteriak.
"Belando.. Belando... Belando..."
Mendengar ejekan itu, Ivan langsung menangis dan berlari menembus rumah-rumah panggung sampai ke ujung desa Talang Benteng. Hari itu adalah hari pertama sekolah yang menyedihkan bagi Ivan. Ia merasa seperti Thomas Alpha Edison yang diejek
teman-temannya ketika penemu listrik ini sekolah.
"Aku bukan anak Belanda...," bisik hati Ivan mengiba. Tapi ketika ia menyadari dirinya berbeda dengan anak-anak Melayu lainnya, Ivan semakin sedih. Ia kesulitan membela diri karena memang dirinya benar-benar berbeda dengan teman-temannya.
Lamunannya buyar ketika ibunya menyuruhnya untuk keluar dari keranjang. Ivan mulai asyik bermain dengan anak burung puyuh yang baru saja ia tangkap dari sarangnya, sambil menemani ibunya merumputi kebun kopi yang menjadi sumber penghasilan mereka selama ini. Ia lihat bunga-bunga kopi sudah memutih.
***
Pagi itu Ivan ragu untuk ke sekolah. Rasa takutnya pada Berik makin menjadi-jadi. Namun dengan bujuk-rayu ibunda tercintanya, akhirnya Ivan mau ditemani ibunya. Ibunya sangat menyayangi Ivan, walau kadang terlintas di pikiran Ivan sebuah
pertanyaan apakah ibu yang membesarkannya itu benar-benar ibu kandungnya atau tidak. Melihat perbedaan yang mencolok dari segi fisik, warna rambut, warna kulit dan matanya yang biru, membuat Ivan tak yakin kalau ia adalah anak kandung ibunya. Namun melihat kasih sayang ibunya yang luar biasa, Ivan menjadi ragu dengan
pertanyaannya itu.
Di kelas itu, Ivan kecil mulai menikmati belajar berhitung bersama puluhan murid baru lainnya. Guru baru mereka bernama bu Emi, terkenal dengan sikapnya yang galak saat mengajar. Semua murid akan gemetar ketakutan bila bu Emi masuk. Baru hari pertama Ivan belajar dengannya, ibu guru itu sudah membuat dada Ivan dag dig dug. Sekali si ibu guru berteriak marah, gendang telinga serasa akan pecah. Selalu ada saja siswa atau siswi yang menjerit menangis bila tak mampu mengerjakan soal di papan tulis, padahal ibu emi belum menghukumnya, tapi mereka sudah ketakutan duluan. Karena sikapnya yang menakutkan seperti itu, nyaris tak ada satupun murid yang berani berisik.
Ibu Ivan berdiri saja menunggu Ivan di luar kelas. Dia merelakan dirinya untuk tidak pergi ke kebun demi menjaga Ivan dari ejekan-ejekan teman-temannya kemarin. Ia berniat untuk memberi tahu siapapun yang mengejek anaknya untuk tidak
mengejek Ivan lagi. Hari itu nyaris tak ada lagi yang berani mengejek Ivan sebagai anak Belanda. Berik dan teman-temannya bungkam tak berani ketika melihat muka garang wanita tua itu mengawasi Ivan kecil. Wajah sangar yang menyaingi wajah ibu Emi inilah rupanya yang membuat Berik dan teman-temannya takut.
jangan lupa meninggalkan jejak LIKOVOTI (Like,Komen,Vote, dan Tip). Terimakasih😍😍
Saat ibu Emi keluar dan pelajaran matematika selesai, terlihat sekali siswa dan siswi yang masih baru itu bisa sedikit santai.
"Itu ibu Kamu?" tanya Pipen, teman sebangku Ivan.
Ivan hanya mengangguk.
"Kamu memang berbeda ya?Rambutmu...kulitmu... matamu...Kurasa Kamu anak ajaib. Ibumu hebat bisa melahirkan anak sepertimu," puji Pipen.
Ivan hanya tersenyum. Baru kali itu ada yang memujinya. Ia pikir perbedaannya itu akan selalu mengundang ejekan dari teman-temannya, ternyata masih ada yang memujinya. Ivan merasa senang bisa sebangku dengan Pipen.
"Namaku Pipen. Mulai sekarang Kita bersahabat. Jangan takut dengan Berik anak kelas empat itu. Jika dia mengejekmu lagi seperti kemarin, bilang saja padaku, dia kakakku," ujar Pipen menjelaskan.
Ivan terkejut, “Dia kakakmu?" tanya Ivan penasaran.
"Iya, dia kakakku... Sebenarnya dia tidak jahat, tapi karena kakek sering bercerita tentang para penjajah, ia sangat benci sekali dengan penjajah," jawab Pipen.
“Oh... seperti itu ya?” ucap Ivan tak percaya.
“Aku percaya Kamu bukan penjajah,” ucap Pipen. Mereka berdua tersenyum.
Semenjak itu Ivan punya sahabat baru. Ia pun mulai tenang, sebab kini ia punya dua pahlawan yang melindunginya, ibu tercintanya dan Pipen sahabat barunya.
Ketika Ivan menduduki kelas tiga, sementara Berik masih duduk di kelas empat karena dua tahun tidak naik kelas, Berik semakin penasaran dengan Ivan. Obsesinya menjadi pahlawan semakin menjadi-jadi. Karena ia yang paling tua di kelasnya, ia mempengaruhi teman-teman sekelasnya untuk berperang dengan Ivan.
“Kalian tahu, betapa merintihnya pahlawan kita dibuat susah oleh kaum penjajah. Sekarang penjajah Belanda itu sekolah di sini, ini saatnya kita menuntut balas!” Teriak Berik berorasi di
hadapan teman-teman sekelasnya. Namun sayang, teman-teman sekelasnya hanya diam. Berik pun main mata dengan Gugun sang wakil ketua kelas empat, Gugun langsung paham, ia pun berteriak
mempengaruhi teman-temannya.
“Merdeka... merdeka... merdeka...!”
Tak lama kemudian semua teman-teman sekelasnya pun berseru.
“Merdeka... Merdeka... merdeka...!”
Ivan mendengar orasi Berik di kelas sebelah. Pipen mendekatinya, "Ivan, kurasa kakakku sudah keterlaluan..., jangan Kau ladeni dia, dia sudah gila jadi pahlawan...," ucap Pipen geram pada kakaknya itu.
"Ini saatnya Aku membuktikan pada kakakmu itu bahwa Aku bukan anak Belanda. Bantu Aku Pen, kurasa berperang dengannya adalah ide baik. Jika Aku menang, kakakmu pasti akan jera. Inilah cara untuk menghentikan orasi konyolnya itu." Ivan
berkata penuh semangat pada Pipen.
"Kau serius...?" tanya Pipen memastikan.
"Aku serius!" Jawab Ivan tegas.
"Baiklah kalau begitu, Apapun katamu aku ikut saja. Nanti Kita bicarakan masalah ini di depan kelas. Kita juga minta dukungan sama teman-teman sekelas, mudah-mudahan mereka mendukung,"
ucap Pipen.
Di belakang sekolah, Berik berorasi lagi di hadapan puluhan teman-teman sekelasnya. Di sana ia ingin menjelaskan strategi perang pada teman-temannya karena ia pikir itu adalah tempat yang aman. Bak seorang komandan yang menjelaskan strategi
perang pada tentaranya, Berik sesekali membuat garis-garis di tanah dengan sebilah batang Akasia yang ia patahkan langsung dari pohonnya. Kadang Berik melihat ke kiri-kanan seolah-olah mengetahui ada musuh yang mengintai strategi perangnya. Berik merasa dirinya pejuang bambu runcing yang sedang berunding untuk menghalau musuh dalam keadaan genting. Teman-teman yang ikut mendengarkan strategi perang dari Berik pun tak kalah serius, mereka seakan sedang mendengarkan semangat yang luar biasa dari komandannya. Mata mereka melotot serius, telinga mereka terbuka lebar-lebar.
Pipen dan Ivan tak mau kalah. Hari ini mereka juga berhasil mempengaruhi teman-teman sekelasnya untuk mendukung Ivan. Siang itu mereka berbondong-bondong turun ke air sungai Lintang
yang deras itu untuk mengumpulkan batu-batu kecil sebesar ujung kelingking. Setelah batu-batu itu terkumpul, mereka naik ke tebing untuk mencari kayu bercabang dua yang akan dibuat menjadi
ketapel.
"Pen, kau yakin akan menggunakan batu-batu ini untuk peperangan? Bisa bengkak semua nanti kepala kena batu ini" Tanya Elun pada Pipen. Elun adalah siswi tercantik dan cerdas di sekolah. Ia termasuk golongan mampu, anak seorang pemilik bioskop video film yang banyak memutarkan film-film perjuangan. Bedui nama ayahnya. Bioskop mini yang dibuatnya di bawah rumah panggungnya itu cukup menarik perhatian anak-anak di desa. Cukup membayar seratus rupiah saja, mereka sudah bisa menyaksikan pertunjukan film dengan televisi hitam putih. Ada yang unik dari Elun, yaitu kebiasaannya membawa buah-buahan ke sekolah. Bagi Ivan dan Pipen, buah yang sering dibawa Elun cukup aneh, jarang sekali Ivan dan Pipen melihatnya dan bahkan memakannya.
"Iya, nanti kalau mereka benjol-benjol bagaimana?" tanya Lin, siswi terpintar di kelas Ivan sekaligus tetangganya, yang juga mendukung perang-perangan itu untuk Ivan. Rumah Lin berdekatan dengan rumah Ivan.
"Tenang saja, kak Berik juga sudah mempersiapkan alat yang lebih berbahaya dari pada ini," jelas Pipen pada Elun dan Lin.
Elun dan Lin saling melihat ketakutan.
“Jangan takut Elun, Aku akan melindungimu,” bisik Pipen, yang baru-baru ini begitu perhatian padanya.
Elun hanya diam, ia sedikit malu mendapat perhatian yang lebih dari Pipen. Semenjak kompak dalam menghadapi perang dengan Berik, sikap Pipen agak berbeda pada Elun. Ivan juga hanya
diam dan mencoba untuk tak peduli masalah itu. Dia hanya terharu saja melihat sahabat-sahabatnya itu begitu setia terhadapnya.
"Berik..., lihat saja nanti, Kau pasti kalah...!" Bisik hati Ivan.
***
Hari itu di kebun kelapa Wak Dijut, pasukan Ivan dan Pipen sudah siap dengan ketapel masing-masing. Pasukan Berik akhirnya muncul membawa sebuah bambu kecil dan berlubang kecil, lalu
masing-masing membawa satu kantong plastik hitam yang berisi potongan kertas-kertas. Jika kertas-kertas itu dikulum sampai basah, lalu dimasukkan ke dalam lubang kecil bambu itu dan didorong oleh sebilah bambu kecil yang pas jika dimasukkan
kedalam lubang itu, maka benjollah bagian tubuh yang dikenainya.
"Ayo kita serang pasukan Belanda itu dan sekutu-sekutunya...! Merdeka...! Merdeka...!" Teriak Berik dengan garis-garis arang di wajahnya.
"Merdeka...! Merdeka...!" Teriak pasukannya yang juga memiliki garis-garis arang di wajah masing-masing.
Merekapun mulai bermain perang-perangan. Ketapel-ketapel itu terus mengayunkan batu-batu kecil ke pasukan Berik, dan bulatan-bulatan kertas basah itupun tak henti-henti menghantam pasukan Ivan. Tak ada yang menang dalam peperangan itu, semua benjol-benjol dan semua menangis kesakitan, termasuk Berik yang menangis lebih keras dibanding yang lain.
"saya laporkan pada ibu nanti, awas saja" teriak Berik yang menangis meraung-raung.
Walau penuh benjol, Ivan sedikit tersenyum melihat Berik yang ternyata sangat kekanak-kanakan. Ia pandangi wajah Pipen yang memerah dipenuhi kertas-kertas basah, ia pandangi juga wajah Elun, Lin dan yang lainnya.
jangan lupa meninggalkan jejak LIKOVOTI (Like,Komen,Vote, dan Tip). Terimakasih😍😍
Merekapun mulai bermain perang-perangan. Ketapel-ketapel itu terus mengayunkan batu-batu kecil ke pasukan Berik, dan bulatan-bulatan kertas basah itupun tak henti-henti menghantam pasukan Ivan. Tak ada yang menang dalam peperangan itu, semua benjol-benjol dan semua menangis kesakitan, termasuk Berik yang menangis lebih keras dibanding yang lain.
"saya laporkan pada ibu nanti, awas saja" teriak Berik yang menangis meraung-raung.
Walau penuh benjol, Ivan sedikit tersenyum melihat Berik yang ternyata sangat kekanak-kanakan. Ia pandangi wajah Pipen yang memerah dipenuhi kertas-kertas basah, ia pandangi juga wajah Elun, Lin dan yang lainnya.
"Terima kasih semuanya. Hari ini kalian menunjukkan padaku sebuah arti seorang sahabat." Bisik hati Ivan.
Amarah Berik masih ia pendam.
"Tunggu saatnya nanti Ivan..." Berik berkata dalam hati penuh kebencian.
Sumpah serapah ibunda Ivan terdengar sampai ke seantero desa Talang Benteng dan bergema ke seluruh penjuru Empat Lawang. Beginilah jika perempuan suku Lintang sudah marah. Ia sangat marah melihat tingkah Ivan yang bermain perang-perangan sampai wajahnya bengkak-bengkak. Ivan hanya menunduk saja di hadapan ibundanya itu.
“Kalau nanti masih nakal, akan ibu kurung dalam emben-emben” ucap Ibunya marah hebat.
Sementara Berik dan adiknya Pipen ditarik oleh kakeknya ke dalam kamar. Berik dan Pipen menunduk saja. Kakeknya membuka lemari dan mengambil senjata rahasia agar kedua cucunya itu jera untuk berlaku nakal. Bukannya pistol atau senapan, melainkan sebotol pil yang mampu mengeluarkan cacing-cacing jahat di dalam perut.
Melihat obat cacing itu mata Berik terbelalak. Ia masih teringat saat dulu perutnya agak buncit karena cacingan, kakeknya menyuruh minum obat cacing itu, lalu sesuatu keluar dari celana pendek Berik. Berik menjerit-jerit ketakutan melihat cacing-cacing yang keluar di dalam celananya itu. Kakeknya langsung menggendongnya dan membawanya ke air sungai kecil Tebak Bramo. Di sana Berik menjerit-jerit ketakutan. Semenjak itu ia taubat nasuha meminum pil itu. Dan bila Berik nakal, pil itulah yang membuat Berik jera. Dan hari itu, kakeknya harus meminumkan pil itu lagi pada Berik. Mata Berik mulai merah, nafasnya sudah tak beraturan lagi, ia menjerit menangis.
“Tidak mau... tidak mau... aku tak mau meminum obat itu.. tidak mau” Berik berteriak, sementara Pipen hanya diam menunduk menyesal.
“Kalau tak mau Kakek suruh minum obat ini lagi, jangan main perang-perangan lagi seperti ini! Bengkak-bengkak begini namanya bukan bermain lagi, tapi sudah berkelahi… Katanya mau jadi pahlawan? Jadi pahlawan sejati itu tidak begini. Bermusuh-musuhan dengan teman sendiri kalian pikir sudah jadi pahlawan?” teriak kakeknya yang tak kalah besarnya dengan teriakan ibunda Ivan. Teriakan itu bukannya hanya bergema ke seantero kabupaten Empat Lawang, melainkan menembus batas provinsi Bengkulu ke arah utara sana. Berik dan Pipen mulai ketakutan.
“Bukannya Kakek yang bilang kita harus membenci penjajah Belanda itu? Dan Belanda itu ada di sekolahku, Kek,” bela Berik yang masih terisak.
“Dia bukan Belanda, Kek. Kak Berik saja yang membuat masalah duluan...,” ucap Pipen membela Ivan.
“Diam!” Teriak kakeknya. Pipen dan Berik terdiam bungkam.
“Bawa Kakek ke sekolah besok! Kakek ingin lihat apa benar anak itu anak Belanda seperti yang Kau maksud, Berik.” Ucap kakek lemah, lalu memasukkan kembali obat cacing itu ke tempat semula dan pergi ke luar kamar meninggalkan Berik dan Pipen yang masih terisak.
***
Ivan berdiri saja di depan kelasnya. Ia pandangi Elun dan Lin yang sedang asyik bermain lompat karet bersama teman-teman perempuan lainnya. Ivan bangga pada mereka. Perempuan-perempuan kecil itu benar-benar perkasa bagi Ivan dan ia terharu melihat keberanian mereka kemarin. Di jam istirahat itu, siswa-siswi SD Negeri Talang Benteng asyik bermain-main. Ada yang bermain
Cagak Ter yaitu permainan gelang karet untuk laki-laki, ada yang bermain bola kerang dengan cacap dua belasnya dan masih banyak lagi. Namun Ivan masih asyik mematung dan melamun, dia masih
bertanya-tanya tentang dirinya yang berbeda dengan anak-anak Melayu lainnya.
Ivan sedikit terkejut ketika melihat Berik dan Pipen membawa kakeknya ke sekolah. Yang paling membuatnya terkejut adalah mereka menghampirinya. Ivan mulai ketakutan, khawatir
kakek mereka akan Ikut mendukung Berik dan akan memarahi Ivan.
Kakek Pipen terhenti saat ia bisa menatap wajah Ivan dengan jelas, ia diam. Ia mengakui bahwa wajah Ivan sejenis dengan wajah-wajah penjajah Belanda. Tiba-tiba ingatannya langsung menerawang pada suara tembakan-tembakan yang
pernah didengarnya puluhan tahun yang lalu.
“Siapa namamu, Nak?” tanya kakek itu sambil memegang kedua bahu Ivan.
“Ivan, Kek…,” jawab Ivan gugup.
“Nama kakekmu?” tanya kakek itu lagi.
“Kakekku namanya Hamidin,” jawab Ivan kembali dengan gugup.
“Subhanallah… Almarhum Hamidin yang rumahnya di depan masjid AT-TAQWA desa Talang Benteng Ilir itu kan?” tanya kakek itu memastikan.
Ivan hanya mengangguk.
“Dia juga teman seperjuangan kakek,” ucap kakek terkejut.
“Berik, sini Kau!” Pinta kakek pada Berik. Berik mendekat.
“Dia juga cucu seperjuangan Kakek, cucu seorang pahlawan... Kau tak boleh membencinya. Ulurkan tanganmu, saling bermaafanlah!” Pinta kakeknya.
Dengan tak Ikhlas Berik mengulurkan tangannya dan merekapun saling bermaaf-maafan. Pipen tersenyum. Namun di hati Berik masih ada dendam, tak semudah itu dia berdamai dengan
Ivan. Beginilah sifat anak Lintang, keras sekeras baja dan tak akan mudah menyerah. Wajar saja jika mereka memiliki pribahasa yang dijunjung tinggi
“NEDO MUNOH MATI JADILAH”. Tidak membunuh, matipun jadi.
“Ini belum berakhir, Ivan… belum…” Bisik hati Berik.
#
Pagi itu, di atas Anjung, di tengah-tengah sawah yang menguning, sambil memegang tali-tali Kekebang untuk mengusir burung-burung mencuri buah padi, Pipen dan Ivan duduk-duduk sambil memandangi Gunung Dempo yang menjulang biru di ujung sana. Dua anak kecil itu sama-sama melamun.
"Kau ingin mendengarkan sebuah kisah dariku?" tawar Ivan pada Pipen.
"Kau bisa bercerita?" tanya Pipen tak percaya.
Ivan mengangguk.
“Baiklah, Aku suka mendengarkan cerita dari kakek, walau melulu tentang kepahlawanan, tapi gaya cerita kakek membuatku memukau."
“Ini tentang sebuah kerajaan yang tersembunyi di negeri kita ini. Kerajaan itu masih ada sampai saat ini, tapi nyaris tak ada satupun yang bisa menemukannya," ucap Ivan semangat tak kalah
dengan semangat pejuang 45. Pipen semakin penasaran.
"Oh ya? Dari mana Kau tahu? Aku jadi penasaran," ucap Pipen yang semakin mendekat dengan Ivan. Angin sawah tiba-tiba berhembus.
"Tapi Kau harus janji untuk tidak menceritakannya pada siapapun." Pipen mengangguk.
Ivan mulai berbisik, “Dari kakek Janggut.”
jangan lupa meninggalkan jejak LIKOVOTI (Like,Komen,Vote, dan Tip). Terimakasih😍😍
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!