Mengantuk disela-sela kepingan sendu

Pertengkaran yang terjadi di kelompok burung bangau menghancurkan nada-nada asmara, membuat kacau dan gempar seisi kota, memang terasa berbeda dari semua yang ada.

Kekhawatiran yang kini kurasakan seperti dunia sedang berputar dengan putaran yang sangat cepat menghantam perasaan dengan hantaman bertubi-tubi.

Di lain hal dari itu, aku merasakan sedikit perbedaan dari apa yang telah kualami, perasaan yang tak menentu, entah bagaimana perasaan ini, menjelaskannya atau membicarakannya. Percuma saja.

Sementara itu, aku pernah mendengar sang pujangga telah memberi api rasa bangga seolah-olah dunia ini sempit tidak punya makna, sekilas kepingan salju di arah selatan menghapus jejak-jejak sang petualang, tak menyisakan apa pun lagi.

Seiring tiupan angin selatan, rasa dingin menyapa dengan senyuman, menambah rasa keingintahuan.

Ah ... lagi-lagi aku menulis sesuatu yang tidak masuk akal pikiran. Aku masih terpaku menatap tulisan di kertas yang kutulis sendiri, ternampak begitu berantakan.

Itulah sebuah catatan milikku. Tulisanku yang tampak berantakan dipenuhi dengan coretan, garis-garis yang menghiasi di sisi kanan dan kiri dari lembaran kertas, kuhela napas, terdiam melihat tulisan tersebut.

Aku suka menulis, tetapi lihatlah betapa berantakannya dulu. Contoh huruf dan tanda baca yang tidak sesuai: JaNgAn, pErNaH meNgeLuH. Itulah sedikit gambaran tulisan yang salah. Tulisan yang tak memakai EYD.

Sekarang, rasanya ingin kurobek-robek atau kubakar saja, biar perasaan ini berubah menjadi tenang. Kertas catatan yang tampak berserakan, berhamburan tak terurus. Aku lelah menyusunnya agar terlihat rapi.

Dengan helaan napas. Aku kembali menulis kata per kalimat menggunakan lembaran yang kulihat telah usang karena bekas coretan.

Begitu pun masalah lain, saat menulis ada sebuah kepingan sendu yang menyelimuti hati ini dengan bercampur perasaan bimbang, entah bagaimana perasaan ini terasa pilu? Rasanya ada yang mengganjal di dalam benak dan pikiran.

Kendatipun demikian, semua itu aku jalani dengan kesabaran yang tak sengaja kepahitan dan kesedihan malah membawaku ke jalan yang bimbang. Aku bingung menentukan arah pijakan.

Ke mana arah yang akan aku tuju. Aku tidak mengetahuinya, kebimbangan menghampiriku serta setiap waktu dan hari seolah-olah dipenuhi rasa kebingungan, membuat langkah kaki terasa sulit berpijak, menelusuri jejak menuju masa depan.

“Wooyyy ... berhenti menulisnya, cepat angkat barang ini!” Wapta mengoceh kepadaku, sementara aku terus menulis. Aku sibuk dan lalai dari pekerjaan.

“Santai. Barang seperti itu, ringan!” kataku dengan gercep mengangkat barang tersebut. Memperlihatkan otot kekar milikku.

Wapta menatap dengan tatapan kagum, terlihat jelas di kedua matanya menatapku dengan cahaya kagum. Lihatlah, barang yang kuangkat ini ringan, kamu tidak mengetahuinya, apa yang paling berat di dunia ini, bagiku hanya satu yaitu mengatakan cintaku kepadamu. Itulah yang terberat, Wapta.

Akan tetapi, itulah perasaan. Aku tak ingin mengatakannya, sakit dan manis biarlah kutelan sendirian.

Aku kembali berduduk di salah satu meja, entah mengapa? melelahkan rasanya. Saat itulah aku mulai mengantuk, tetapi aku berusaha melawannya dengan kemampuan yang kupunya. Sayangnya, tetap tak bisa kulakukan, bahkan rasanya sendu.

Kusadari malam telah berlalu, berganti siang yang kini membuatku sendu, keterbatasan yang kumiliki sebagai seorang manusia, tak kuasa rasanya melawan angan yang menjadi sendu.

Entah apa yang bisa kulakukan? Berdiam

Malam memang sudah usai, kedua mataku sudah tak sanggup menatap, malah ingin terlelap. Di tempat kerja, aku mengantuk dengan mulut terbuka lebar, bahkan lalat bisa masuk ke dalamnya.

Wapta berkali-kali membangunkanku, menepuk-nepuk bahu serta pundak, bahkan memukul perutku yang kosong, tak ada makanan. Rasanya sakit

Di tempat kerja itu, aku berkali-kali menguap dengan mulut terbuka lebar, sedangkan Wapta yang melihatku tampak heran dan bertanya, “Kamu kenapa, Nar? Apakah semalam kamu kurang tidur?”

“Iya. Kemarin malam, aku sulit tidur, malah terjaga semalaman,” kataku sambil mengantuk.

“Makanya jangan begadang dong, jadi mengantuk, kan sekarang!” kata Wapta mengoceh dengan suara khasnya.

Dari yang terlihat, begitulah keadaanku, aku tak sanggup melakukan pekerjaan karena mengantuk seolah-olah ngantukku memberatkan hari yang kini kujumpa, Wapta menyuruhku untuk tetap duduk dan beristirahat. Aku pun beristirahat.

Tak sengaja, aku malah tertidur dalam keadaan duduk, aku tidak mengetahuinya sudah berapa lama tertidur hingga aku terbangun karena jatuh dari tempat duduk tersebut. Aku menjerit kesakitan, mengelus bagian yang sakit karena jatuh dari tempat duduk.

Wapta menghampiriku, dia terkekeh menatapku seperti biasa, dia melontarkan kalimat ocehannya, sedangkan aku hanya mendengarkan sambil mengangguk.

Syukurlah, tak lama dia menjauh dariku.

Rasa ngantukku ini mungkin karena malam hari itu, aku terhalang untuk tidur dan mungkin saja siang ingin menjemputku dengan tenang, ingin membawaku ke alam mimpi nan nyaman, terbang bersama angsa-angsa senja yang indah itu.

Kendatipun demikian, aku terus menahan kedua mataku agar tidak tidur untuk pekerjaan yang sedang aku atur, dalam menghadapi rasa ngantuk, aku meminta Wapta agar terus membangunkan untuk jangan membiarkan aku tertidur.

Namun, kedua mata ini tetap saja mengantuk, aku tak sanggup dalam melawan rasa yang membingungkan itu.

Sebuah bongkahan es di kutub selatan itu membawa hawa dingin berupa angin yang bertiup menembus sela-sela pakaian, hawa dingin memberi tahu keinginan agar tetap bertahan, Seolah-olah bongkahan dan hawa dingin tersebut memberi saran agar jangan menyerah, kecuali sampai tujuan.

“Parah. Kenapa ini terasa sangat sulit? Membuat ngantukku semakin tidak terkendali!” batinku, sedangkan kedua mataku terpejam dengan sendirinya.

Tiba-tiba aku terkejut dan terbangun karena baru saja satu cubitan mendarat di tubuhku dan itu terasa sangat sakit! Aku menjerit kesakitan, aduh dengan irama yang sangat nyaring.

“Aduhh ... bukan begitu caramu, kamu sungguh keterlaluan!” kataku sponstan karena terkejut. Cubitan itu berasal dari Wapta. Dia menggunakan cara yang bagiku itu terpandang keji, walaupun niatnya baik ingin membangunkanku.

Wapta hanya tertawa seolah-olah tidak merasa bersalah, benar saja akulah yang semula menyuruhnya agar membantuku untuk mengatasi masalah ngantuk tersebut, tetapi cara Wapta melakukannya amat jauh berbeda dari apa yang ada di pikiranku.

Aku terlalu berlebihan dalam menanggapi hal ini, aku terus berusaha menahan perasaan ngantuk yang kian mengetuk akan batas pintu kesadaran.

Wapta menyarankan aku untuk meminum kopi, tetapi aku tidak menyukai kopi karena rasanya yang pahit dan teksturnya yang lekat itu membuat trauma di masa laluku.

Tidak apa-apa, aku hanya tidak menyukai kopi dari tekstur kelekatannya yang membuat gigiku terasa lengket.

Lekat?? seperti lem, apakah aku berlebihan? Ah, sudahlah lupakan kalimat lekat itu. kataku dalam hati sambil mengerutkan bibir.

Kendatipun demikian, Wapta bagai angin yang terus bertiup memaksaku meminumnya, sedangkan diriku seperti daun pohon yang tertiup angin.

Aku menuruti ke mana pun Wapta meniupku, tetapi jujur saja, aku terpaksa meminum kopi yang pahit dan lekat itu.

Sebelumnya, secangkir kopi itu kuambil dengan kedua tangan, aku pun meminumnya secara perlahan-lahan tegukan demi tegukan dengan perasaan yang bercampur ketidaksukaan.

Aku sangat tidak menyukai kopi. Dari kecil sampai sekarang, sejarah hidupku meneguk air kopi cuma sekali. Tidak lebih dari bilangan satu.

Saat itu aku berada di sebuah acara hajatan, salah seorang dari hajatan menyuruhku meminum kopi. Itulah momen pertama, aku tidak menyukainya.

Saat itu kurasakan jelas, rasanya yang pahit dan teksturnya lekat, membuat wajahku terciut karena rasa yang tidak kusukai.

Sejak saat itulah lagi, kuulangi aku tidak menyukai kopi, dan sekarang semua itu telah berubah, sekarang ini adalah peristiwa penting yang aku alami.

Segelas air yang berisi kopi itu habis kuminum. Rasa ngantuk dan juga lelah kini berkurang sudah. Jujur, di awal-awal aku meminumnya, tegukan pertama masih teringat moment hajatan, pahit dan lekat.

Akan tetapi, aku berusaha membiasakannya dan berusaha menikmati tegukan air kopi lebih leluasa, baru kali ini aku merasa nyaman meminumnya.

Di saat kecil dulu, aku tidak menyukai kopi sampai sekarang, sudah sepuluh tahun berlalu, telah melalui pergantian dari musim panas ke musim hujan, juga sebaliknya. Saat itu, usiaku masih tujuh tahun. Menghadiri acara hajatan, nahas sekali waktu itu. Bahkan, wajah kecutku ditertawakan oleh semua orang yang hadir.

Aku masih ingat jelas kegiatan itu. Hari ini, tepat tujuh belas tahun usiaku. Kopi itu aku teguk dengan perasaan menerima kepahitan dan apalah yang kusebut di waktu kecil dulu. Kini, aku telah menerimanya.

Saran yang diberikan Wapta dan paksaannya telah membuat sejarah baru dalam kehidupanku. Setelah aku meminum kopi, aku pun berterima kasih kepada Wapta karena dia telah memaksaku meminum kopi yang dulu aku sangat trauma, kini semua itu sudah berubah menjadi suka.

Walaupun, dia tampak heran meminta penjelasan serta alasan mengenai kalimat terima kasih yang telah kuucapkan.

Tak apa, kamu tak perlu tahu, aku juga ingin berterima kasih untuk semuanya. Terima kasih atas cinta dan apa pun yang berkesan di dalam kehidupan yang telah kamu berikan kepadaku.

Episodes
1 Rangkaian Yang Pertama
2 Mengenai hati tentang api keheningan
3 Terlalu sulit untuk dipahami
4 Guncangan dahsyat ; Suara Gempa mengguncang alam
5 Mengantuk disela-sela kepingan sendu
6 Secangkir Kopi Yang Menemani
7 Berat badannya melebihi truk bensin
8 Memikul beban pikiran; melayang-layang di angan
9 Rangkaian Yang Kedua
10 Pernikahan seorang teman; Kebahagian dan senyuman
11 Percakapan empat mata yang membingungkan
12 Kehidupan diriku yang sebenarnya tidak perlu dibahas
13 Hujan senja beriringan kabut
14 Gendang tak bersuara
15 Wanita itu Lita Aksima
16 Manusia Sekuat Baja
17 Rangkaian Yang Ketiga
18 Terbang melintasi cakrawala
19 Cerita dalam Pesawat
20 Pesona Gajah Putih Part 01
21 Pesona Gajah Putih Part 02
22 Sebuah Catatan yang tidak penting
23 Cerita Bersama Kakek
24 Aksara cinta dalam kobaran api yang menghanguskan
25 Rangkaian Yang Keempat
26 Langit-Langit Atap Cahaya
27 Sesuatu yang terbuang; sawang itu membentang keputusasaan
28 Tiupan angin topan
29 Semut Kecil
30 Letupan; Ada Kejutan!
31 Surat Dari Hati yang tak mampu kukirimkan
32 Awan Kerinduan; rintihan hati berdegung rancau kepedihan
33 Rangkaian Yang Kelima
34 Racun Yang Mematikan & Hama Yang Harus Dibasmi, Dimusnahkan Dari Muka Bumi
35 Kelipatan Dua Dikali Dua
36 Dua Ratus Dua
37 Bukan Itu Jawabannya
38 Meteor Jatuh Ke Bumi
39 Tertawalah
40 Kepingan Logam
41 Rangkaian Yang Keenam
42 Bulan Yang Kutatap Hilang Di Penglihatan
43 Dengung-dengung Kesamaran
44 Hujan Yang Sama
45 Belalang Ulangan Semester
46 Editor Vs Penulis Gabut
47 Akhir Pertarungan
48 Genangan Air Keruh
49 Rangkaian Yang Ketujuh
50 Warna yang mampu menghapus kerinduan
51 Kosong melompong; tidak ada makna di dalamnya
52 Jutaan kata untukmu
53 Tidak ada yang terbaik
54 Kutatap angan yang bertubi-tubi guncangan
55 Selangkup menara; remuknya pusaran mimpi tak berkeping
56 Kenangan itu lindang; sinarlampu yg mulai lindap tak akan kubiarkantersilapharap
57 Rangkaian Yang Kedelapan
58 Titik Koma
59 Atmosfer Membahana
60 Kicauan Burung Elang
61 Pemain Sepak Bola
62 Pesepak Bola Itu Menyeringai
63 Tersesat
64 Bungkusan Mie Instan dan Permen Tanpa Pemanis Buatan
65 Rangkaian Yang Kesembilan
66 Awal Pertemuanku Dengan Martin Sirikanjana
67 Perut Ikan Paus
68 Koboi Berkepala Dua; Wajah Yang Terbelah
69 Kucing Senyum
70 Koboi Munafik
71 Alur Cerita yang Melanglang; Koboi Juga Punya Hati
72 Sandiwara Di atas Kertas dan Lagu Lama; Jangan Galau
73 Rangkaian Yang Kesepuluh
74 Asam Manisnya Kehidupan
75 Gulali Batuk Suryanata
76 Aku Membenci Satu Hal; Itu Yang Lama Teringat Kembali
77 Lita Aksima dan Untuk Lembaran Yang Telah Hilang
78 Kerajaan Negeri Dongeng
79 Banyak Hal Yang Berubah
80 Bangunan Terpeleset
81 Rangkaian Yang Kesebelas
82 Lemparan Batu Yang Gagal Mengenai Dinding dan Arti Sebuah Nama
83 Mega Berlian
84 Niskala Cakrawala
85 Cahaya di Balik Langit Malam
86 Gunung dan Patah Hati
Episodes

Updated 86 Episodes

1
Rangkaian Yang Pertama
2
Mengenai hati tentang api keheningan
3
Terlalu sulit untuk dipahami
4
Guncangan dahsyat ; Suara Gempa mengguncang alam
5
Mengantuk disela-sela kepingan sendu
6
Secangkir Kopi Yang Menemani
7
Berat badannya melebihi truk bensin
8
Memikul beban pikiran; melayang-layang di angan
9
Rangkaian Yang Kedua
10
Pernikahan seorang teman; Kebahagian dan senyuman
11
Percakapan empat mata yang membingungkan
12
Kehidupan diriku yang sebenarnya tidak perlu dibahas
13
Hujan senja beriringan kabut
14
Gendang tak bersuara
15
Wanita itu Lita Aksima
16
Manusia Sekuat Baja
17
Rangkaian Yang Ketiga
18
Terbang melintasi cakrawala
19
Cerita dalam Pesawat
20
Pesona Gajah Putih Part 01
21
Pesona Gajah Putih Part 02
22
Sebuah Catatan yang tidak penting
23
Cerita Bersama Kakek
24
Aksara cinta dalam kobaran api yang menghanguskan
25
Rangkaian Yang Keempat
26
Langit-Langit Atap Cahaya
27
Sesuatu yang terbuang; sawang itu membentang keputusasaan
28
Tiupan angin topan
29
Semut Kecil
30
Letupan; Ada Kejutan!
31
Surat Dari Hati yang tak mampu kukirimkan
32
Awan Kerinduan; rintihan hati berdegung rancau kepedihan
33
Rangkaian Yang Kelima
34
Racun Yang Mematikan & Hama Yang Harus Dibasmi, Dimusnahkan Dari Muka Bumi
35
Kelipatan Dua Dikali Dua
36
Dua Ratus Dua
37
Bukan Itu Jawabannya
38
Meteor Jatuh Ke Bumi
39
Tertawalah
40
Kepingan Logam
41
Rangkaian Yang Keenam
42
Bulan Yang Kutatap Hilang Di Penglihatan
43
Dengung-dengung Kesamaran
44
Hujan Yang Sama
45
Belalang Ulangan Semester
46
Editor Vs Penulis Gabut
47
Akhir Pertarungan
48
Genangan Air Keruh
49
Rangkaian Yang Ketujuh
50
Warna yang mampu menghapus kerinduan
51
Kosong melompong; tidak ada makna di dalamnya
52
Jutaan kata untukmu
53
Tidak ada yang terbaik
54
Kutatap angan yang bertubi-tubi guncangan
55
Selangkup menara; remuknya pusaran mimpi tak berkeping
56
Kenangan itu lindang; sinarlampu yg mulai lindap tak akan kubiarkantersilapharap
57
Rangkaian Yang Kedelapan
58
Titik Koma
59
Atmosfer Membahana
60
Kicauan Burung Elang
61
Pemain Sepak Bola
62
Pesepak Bola Itu Menyeringai
63
Tersesat
64
Bungkusan Mie Instan dan Permen Tanpa Pemanis Buatan
65
Rangkaian Yang Kesembilan
66
Awal Pertemuanku Dengan Martin Sirikanjana
67
Perut Ikan Paus
68
Koboi Berkepala Dua; Wajah Yang Terbelah
69
Kucing Senyum
70
Koboi Munafik
71
Alur Cerita yang Melanglang; Koboi Juga Punya Hati
72
Sandiwara Di atas Kertas dan Lagu Lama; Jangan Galau
73
Rangkaian Yang Kesepuluh
74
Asam Manisnya Kehidupan
75
Gulali Batuk Suryanata
76
Aku Membenci Satu Hal; Itu Yang Lama Teringat Kembali
77
Lita Aksima dan Untuk Lembaran Yang Telah Hilang
78
Kerajaan Negeri Dongeng
79
Banyak Hal Yang Berubah
80
Bangunan Terpeleset
81
Rangkaian Yang Kesebelas
82
Lemparan Batu Yang Gagal Mengenai Dinding dan Arti Sebuah Nama
83
Mega Berlian
84
Niskala Cakrawala
85
Cahaya di Balik Langit Malam
86
Gunung dan Patah Hati

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!