Mungkin inilah yang dinamakan angan-angan senja, sebatas warna mengagumi dan tak bisa memiliki.
Senja di ufuk barat seakan menyilaukan warna. Keindahan yang kutatap sementara.
Sebatas cahaya berkilau yang tampak membayang tak lama sirna. Lihatlah diri ini yang sering menulis kata-kata dalam perasaan penuh ketenangan. Diam di sini, berduduk menatap langit-langit.
Sebuah buku di dalam genggaman masih kupegang erat. Masih bertumpu kuat. Aku merenungkan sebuah mimpi yang tak kasat mata, mimpi yang tak dapat kuraih.
Di malam hari itu, aku pernah bermimpi tentang angsa yang terbang menembus awan. Aku terbang bersamanya lebih tinggi dari apa pun. Pada senja hari ini tampak sekawanan angsa mulai berdatangan seolah-olah memberikan tanggapan angan di luar batas pemikiran.
Selamanya jiwa ini akan terus melantunkan nada-nada cinta tanpa sebutir pun kecewa yang menetas di dalam raga.
Aku terdiam dalam. Menunduk pasrah dan tak bisa kembali ke jalan yang kutatap saat ini dari atas. Jalanan itu ternampak kecil.
Aku tak punya daya, juga kekuatan, lemah diri tak bisa bangkit dari kegagalan. Aku memilih untuk tetap diam, tanpa suara dan hening serta damai dalam pelukan seekor angsa putih. Kami terbang di sela-sela awan. Lalu, turun ke bumi dengan harapan sederhana.
Saat aku berpijak di bumi. Senja telah menghilang oleh putaran waktu yang terus berjalan, malam dingin disertai tiupan angin kencang membawa kabar yang tak enak didengar.
Kabar burung yang tidak tentu, kabar yang seakan palsu membabi-buta ingatan malu.
Sesederhana itu mengenai teriakan yang terdengar sangat dekat, padahal begitu jauh dari pendengaran. Bahkan, ditelusuri dengan penglihatan, kaki berjalan dan semua anggota hadir rukun, ternyata berjuta kilometer jaraknya. Tidak sesuai apa yang didengar dengan bukti kenyataannya.
Itulah fatamorgana. Mungkin? Aku tidak pernah tahu, tidak pernah peduli akan hal lain dalam kehidupanku, tidak pernah berpikir banyak hal. Dari dulu, aku bahkan sering mempertanyakannya.
“Mengapa? Mengapa mimpi buruk datang dan aku malah terbangun karena takut akan mimpi tersebut, aku tak mengerti bagaimana itu bisa terjadi?” tanyaku pada diriku sendiri. Aku sering mempertanyakannya agar diri ini tidak terlalu rumit memikirkannya.
Aku tahu kerumitan saat cinta yang ada di depan mataku menghilang. Di saat itulah rasanya aku tak bisa berdiri lagi.
Aku terdampar oleh ketidakpastian, sendirian di sini meratapi kisah pilu yang harus kuhadapi. Aku menghela napas untuk kesekian kalinya. Ketakutan mimpi malam ini benar-benar membuatku terjaga sepanjang malam. Sepanjang malam yang kuhabiskan untuk bersyair dalam renungan.
Terdiam. Terlelap pun tidak bisa. Mataku sudah menunjukkan cahaya rasa perih. Kadang-kadang tangan ini usil mengusapnya. Dengan helaan napas, aku bercermin memperbaiki diri.
Aku tahu telah banyak hal yang kulewati, telah banyak waktu yang berlalu meninggalkanku.
Akan tetapi, sekarang bagaimana caranya aku bisa melewati ini? Bagaimana caranya aku bisa menyembunyikan hasrat keinginan yang terpendam!
Ah, Sial. Gigi gerahamku patah, aku begitu takut sampai-sampai diri ini tidak merasakan gigi yang saling bertabrakan, aku benar-benar tidak merasakannya.
Beberapa patah kata dan kalimat terucap dari mulutku, tanpa sadar rasa kekesalan ini melukai diriku sendiri, entah bagaimana itu terjadi, mungkin karena kesendirian yang membuatku jadi begini.
Ini seperti nostagia seribu janji yang telah kudengar beribu kali. Hal itu membuatku tahu semua ini terasa sangat berbeda. Kesempurnaan jiwa berbagi rasa cinta.
Entah apa itu? Ke mana pun aku pergi, selalu saja dihantui perasaan bersalah dengan cinta yang telah patah.
Sebongkah kayu seakan terbakar habis oleh api amarah. Api yang sangat besar melahap semua mimpi-mimpi indah yang aku alami.
Dungkrakan hati yang kian memerintah untuk tetap bersamanya itu menyakitkan perasaan.
Bagaimana? Bagaimana cara menghadapi semua ini? Beberapa pertanyaan rumit kembali hadir menghampiri diriku. Aku terbaring lunglai tak berdaya.
Aku merasa tak akan bisa menghadapi semua ketakutan diri yang kian hari terus menyakiti perasaan, bahkan ketakutan yang kini aku alami telah membuatku tak berdaya, hancur oleh ketidakmampuan diri melawan semua angan yang menghampiri, tetapi saat itu senja menyapaku dengan begitu indah.
Cahaya kuning yang tampak membayang di ufuk barat sana membuat suasana terasa sangat nyaman. “Aku rindu bersamamu senja,” kataku menatap cahaya senja yang mulai redup dan terbenam, berganti cahaya malam yang terasa kelam.
Ketika sanubari mengingat kembali moment bersama kekasih hati atau berbagai ilusi yang datang tak diundang. Terkadang di situlah kesedihan datang menyapa diri.
Siapa yang ingin mengundang kenangan menyakitkan itu datang atau ilusi yang tak bergambar itu datang ke pikiran, kedua macam rasa yang seakan membuat hari terasa semakin mencekam. Siapa yang ingin mengundangnya? Siapa?
Jawabannya tidak ada.
Jika kamu bertanya padaku? Tidak ada yang ingin mengundang semua itu datang ke dalam benak pikiran. Kebahagianlah yang ingin dirasakan setiap orang.
Di malam hari yang sunyi. Aku masih belum bisa tidur, bolak-balik kanan kiri. Saat itu terbayang pun sesuatu kata ucapan.
Kesehatan yang dibicarakan dokter waktu itu, membuatku khawatir, hampir setiap malam aku melaluinya begitu, entah apa? aku tidak mengerti lebih jelas? Kepala batu!
Aku teringat nasehat yang dulu kutuliskan sendiri. Dengan ikhlas ingin berbenah untuk ke depannya. “Selama engkau hidup di alam semesta ini, kesehatan adalah hal yang paling penting, lebih penting dari apa pun, tanpa kesehatan hari-hari akan terasa lebih berat, lebih sulit dan lebih dari apa pun.”
Itulah sebutir kata-kata bijak yang tertera di ponselku, kata yang ditulis untuk diriku sendiri, tetapi kata itu seperti bualan belaka.
Raut wajah kian memberi isyarat bahwa kurang tidurnya aku semalam, bagi sebagian orang pagi hari adalah suasana menyegarkan, tetapi tidak bagiku.
Badanku lemas tak kuasa untuk bangun dari tempat tidur, beginilah kehidupanku dan anggapan diriku yang berlebihan, kesendirian yang kurasa hanyalah kesepian yang tidak ada ujungnya.
Bagiku semua ini menyebalkan. Tidak ada orang yang membantu membangunkanku.
Bukan tak ada, melainkan aku lupa ada satu alat, yaitu alarm yang selalu aku setel waktunya. Alarm itu selalu berbunyi dan selalu setia membangunkanku, walaupun alarm bukan orang, melainkan aku menganggapnya sebagai sahabat terbaikku.
Sahabat yang betul-betul mengerti kapan aku bangun tidur, kapan aku mandi dan lain sebagainya.
Aku berteriak dengan segenap tenaga karena aku telat bangun. Lihatlah, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, bahkan di luar sana matahari sudah tertawa. Sementara, diriku belum mandi.
Semua ini adalah kesalahanku, padahal alarm sudah berkali-kali membangunku, tetapi aku tak menghiraukannya.
“Aku telat!” Waktu itu, aku kembali berteriak lantang karena masih kaget dan sontak langsung bergegas menuju kamar mandi.
Aku tidak bisa mempercayainya, baru kali ini aku terlambat bangun, padahal sebelumnya sahabat terbaikku yaitu alarm, ia adalah alat yang setiap hari membangunku di jam empat dini hari.
Baru kali ini, aku tak menghiraukannya. Sungguh nasib malang yang menimpa diri ini dengan perasaan bimbang.
Selesai mandi. Aku pun bersiap memakai pakaian rapi, bergegas menuju ke tempat kerja. Aku lebih memilih meninggalkan sarapan supaya datang tidak terlambat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments