Perjalanan menuju arah pulang sama seperti datang. Memanglah kami menjalani jalan yang sama, tidak ada jalan lain.
Jalannya yang seperti itu membuat kami tak bisa menancap gas dengan cepat, guncangan dan juga hentakan membuat perjalanan terasa tidak nyaman.
Aku berhati-hati dalam menyetir, menjalankan mobil dengan pedal gas yang kutahan dan kecepatan berpacu melaju perlahan-lahan. Di dalam benakku melukiskan dilema yang tak kunjung usai.
Tepat di luar kaca mobil tampak matahari mulai terbenam. Lihatlah, di sana senja bergelayut indah. Di atap langit menguning menelusuri jalan. Aku sudah sering melewati setiap hari menjelang malam, di waktu senja yang kutatap saat ini.
Aku selalu memandang ke arahnya, senja itu seakan menemani diriku dengan cahayanya yang indah.
Di mana gunung menunjukkan dirinya samar beserta cahaya yang sedikit redup karena tertutup oleh partikel awan, aku hayut dalam ketenangan dalam, sekadar melewati batas pikiran yang melanglang buana, berharap menemukan sepeti harta karun. Entah isinya permata atau sekilas senyuman.
Harta karun yang tersimpan rapi di dalam sanubari. Sebuah kata cinta mungkin, kekal abadi selamanya di dalam sana(hati).
”Apakah kamu tahu, senja itu seperti dirimu yang tak pernah bisa tergapai dengan jari jemariku.” gumamku dalam hati memandang ke arah Wapta. Dirinya lah yang selama ini aku cintai, tetapi semua itu kupendam dalam jiwa, terpendam dengan begitu rapi.
Aku tak ingin mengatakannya. Sekarang, aku selalu menampakkan sikap cuek kepadanya. Akhir-akhirnya ini, aku bahkan sering bertengkar, walaupun masalahnya tidak besar. Hanya, bentuk kecil.
Aku memang mencintainya sejak pandangan pertama, tetapi seolah dirinya memang tak bisa teraih oleh jutaan rindu, jutaan kata. Sudah sering aku mengeja huruf per kalimat dengan teliti dan damai.
Sudah sering aku lupa mematikan alarm perasaan yang semakin dalam merasuk sukma. Wahai kekasih, aku ingin sampaikan satu hal paling dalam yang tak kunjung aku temukan, satu hal paling dangkal di sudut kanan yang kau tampak berantakan.
Maafkan tulisan ini yang tertulis secara acak dengan menggabungkan semua elemen perasaan di dalam jiwa. Di dalam jiwa yang sama, mencintai dan terus mencintaimu. Percayalah, ini tulus benaran tulus, setulus apa pun tidak pernah kuungkapkan ke orang lain.
Sekarang, kau dan aku menatap ke kaca jendela mobil, menatap senja yang tampak begitu lekat. Saat ini, jujur aku sedang menahan rasa perih yang mendenyut di dada, menyesak hati, aku menahan rasa cinta yang telah lama ada, menahan rasa untuk mengungkapnya.
Bolehkah tak ada rasa menyesali karena telah mengenalmu? Bolehkah rasa cinta di hati ini tidak seharusnya ada? Ini adalah fatamorgana. Benar, 'kan? Jeritan perih sedari tadi menusuk hati seolah pedang yang menusuk dengan tajam. Entah sudah berapa lama, aku menatap langit yang berwarna oranye itu, pikiran ini seperti terbang ke mana-mana.
Seolah-olah membuat sebuah pernyataan di dalam benakku. Apa pun yang sekarang terlihat, tentang ini, semua pun sama, seekor burung dara yang mengepakkan sayapnya, terbang menyusuri persawahan, menembus sela-sela rindu di antara desiran angin, lalu terbang meninggalkan jejak kenangan.
Beberapa tanda tanya yang tak kutemukan jawabannya, entah apa? dan mengapa aku tak bisa mengejanya? hanya rasa percaya dan positif yang sekarang kupunya.
Memandang suatu bayangan semu yang tampak hanya sebuah ilusi, mengacaukan akal pikiran dan hati.
Di balik rasa cinta dan rindu itu, walau jujur ada rasa sedih, tetapi aku tak ingin mengingat. Menghilanglah. Menghilanglah bersama tenggelamnya senja itu.
“Ah! sial ... daritadi aku terus mengoceh-oceh tidak jelas.” Aku membentak dalam hati. Wapta tidak tahu selama dalam perjalanan, berjuta kata cinta terangkai begitu saja seakan butiran hujan turun deras menyentuh tanah.
***
Melalui berbagai rintangan jalanan ini, tak terasa malam hari datang dengan putaran yang kurasa cepat. Senja telah hilang, berubah malam.
Suasana gelap menyelimuti perjalanan kami menelusuri jalanan dengan sentuhan angin malam yang menenangkan. “Gimana ini? Kita pasti dimarahi Big Bos!” Wapta ternampak khawatir. Dia juga panik dengan ekspresi tak keruan. Wajar saja, saat itu apa yang terbayang di dalam benakku pun sama. Wajah Big bos yang mengerikan itu memelototi dengan pandangan ganas.
Aku berusaha menenangkan Wapta, sebetulnya juga menenangkan diriku. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin menginjak pedal gas dengan cepat, tetapi apa daya kapasitas dan jalanan tidak mendukung.
“Aduh! sialan. Jalan ini begitu sulit dilalui di malam hari.” gumamku menggigit bibir, memukul alat kemudi mobil. Jalanan terjal dan berlubang. Aku tidak memacu pedal gas sesukaku.
Kesabaran itu memang penting, itulah yang kubayangkan. Tanpa memikirkan hal lain. Saat ini, apa yang kubutuhkan adalah kesabaran, tidak bisa dipaksakan.
Aku menghela napas seakan ingin berteriak, setelah dua jam berlalu, akhirnya mobil pengangkut barang kami melewati masa-masa sulitnya. Jalanan di depan sana terbentang lurus dan mulus.
Jalan mulus, lancar di tambah suasana sunyi dari hilir-mudik kendaraan, tidak ada hambatan, membuatku menginjak pedal gas dengan kecepatan penuh, mobil tersebut melaju sekencang angin.
“Pelan-pelan saja nar, nanti bahaya!” ucap Wapta yang kupikir dia ketakutan sambil menepuk bahu kananku. Aku menoleh, mengangguk.
“Baiklah ....” Dengan perlahan, aku memelankan pedal gas mobil tersebut. Mobil itu melaju dengan kecepatan normal.
Karena hari sudah malam, maka aku pun menghantarkan Wapta ke rumahnya. Masalah dengan big bos nanti saja urusannya. Itulah dia yang menjadi masalah terberat bagiku.
“Kenapa kamu menghantarkanku ke rumah? kita tidak bertemu dengan bos dulu?” tanya Wapta kepadaku. Aku tersenyum mencoba mengelawak. Hal hasil dia tertawa.
“Jangan tertawa. Nanti, besok saja kita menemuinya, sudah larut malam. Dia pasti sudah tidur nyenyak, kuala pun tetap tidur di malam hari.” Aku yang melarangnya tertawa, malah aku yang lebih nyaring tertawanya. Hahaha. Kuala, sialan.
Kami pun pulang ke rumah masing-masing. Aku tinggal sendirian di rumah, orang tuaku sudah lama berpulang menghadap Sang Maha Kuasa, keheningan malam itu sudah biasa aku lewati dengan kesendirian.
Memang terasa sedikit kesepian, tetapi karena sudah terbiasa, aku tidak kesepian lagi, walaupun terkadang memang perasaan itu datang menghantuiku.
Ketika sampai di rumah, aku bergegas menuju kasur untuk tidur, berharap besok adalah hari yang aku tunggu untuk mengatakan berbagai macam alasan kepada Big Bos.
Entah alasan itu akan diterima atau ditolak oleh Big Bos. Belum pasti, tetapi rasa penasaran itu membuat tidurku terganggu, entah kenapa aku jadi sulit berpejam.
Aku pun beranjak dari kasur, menuju ke dapur, kuambil gelas untuk meminum susu hangat yang katanya bisa menghasilkan ngantuk.
Tak berselang waktu lama, ternyata itu memang benar, akhirnya secara perlahan aku mulai mengantuk. Aku pun menghampiri kasur dan tertidur nyenyak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments