Daur Ulang

Daur Ulang

Rangkaian Yang Pertama

Pagi itu. Di sekian hari bersinar menyinari dunia. Aku tumbuh alami, segar badan ini meloncat, meneriakan suara dengan leluasa.

Tepat di ujung kisah pilu yang menggores sembilu. Pagi ini sepertinya adalah hal yang berbeda. Entah mengapa terasa sangat menggembirakan? Aku tidak tahu dan sebaiknya diri ini cukup berdiam, tidak ingin menjelaskannya. Mengenai ungkapan sederhana yang diucapkan dengan canda tawa

Namun, aku tidak pernah menyangka semua itu bisa menyakiti hati yang tak bisa menerima.

Bahkan, kala itu aku mengucapkannya tanpa sengaja, walaupun sedikit terucap sekadar bercanda mengisi waktu luang, tetapi pikiran mereka tak bisa menerima semuanya. Ia memberontak kuat, menghantamkan perasaan bertumpuk kegelapan.

Aku masih menatap cahaya matahari pagi yang menyinari dunia. Pikiranku sedang memikirkan peristiwa yang terdapat di dalam sekumpulan paragraf-paragraf dusta.

Bait-bait nada yang menyampaikan banyak kosa kata sia-sia dalam hitungan menit, berganti warna dalam sekejap mata.

Ucapan dulu yang dilontarkan begitu saja, tanpa berpikir lebih peduli, tanpa penimbangan diri. Jujur, di kala itu tidak terhitung banyaknya kata yang telah kuucapkan, tidak terhitung banyaknya kata maaf yang telah kulupakan.

Selama lama waktu berlalu, aku tak pernah memikirkan tentang bagaimana perasaan orang lain saat menerima ucapan, juga mendengarkan apa yang telah kulontarkan.

Apakah itu menyakiti perasaan mereka atau tidak? Aku tidak tahu. Bagiku canda tawa hanyalah gurauan yang tak memiliki apa-apa. Itulah alasan sederhana yang ingin kusampaikan.

Aku tahu penilaian setiap orang itu berbeda, semuanya berjalan, bekerja sesuai dengan pola pikir mereka masing-masing.

Tidak terasa pagi itu telah meninggalkan diriku yang berkutat mengenai suatu kata dalam cinta, waktu seakan pergi dengan cepat tanpa menunggu, ia terus berputar dan berlalu.

Kini, cahaya khas di ufuk barat memancar jelas kutatap, cahaya yang muncul menemani diriku.

Senja inilah yang sedang kupandang dalam renungan, aku duduk di sebuah bukit yang bisa dibilang tidak terlalu tinggi.

Angin pun berembus sepoi. Dengan berpejam diri, aku seakan pergi ke alam yang tiada apa pun lagi yang bisa kurasakan.

Angin kembali berembus menyentuh diriku, sejenak menyadarkan lamunan yang menguasai diri, lalu masuk ke celah-celah pakaian yang kukenakan.

Bukit yang kupijak sekarang berdekatan dengan pantai. Dari bukit ini terlihat jelas matahari mulai tenggelam menunjukkan cahaya kuning membayang seolah-olah menggambarkan perasaanku yang saat ini hendak tenggelam karena rindu akan sesuatu yang telah lama berlalu, sinarnya yang seakan menghilang di dalam genggaman tangan.

Seorang kekasih hati yang dicintai, meninggalkan jejak-jejak kenangan, mengenai cerita syahdu bersulam rindu dan jalinan kasih sayang yang menjalin hubungan erat sejak lama, tetapi tidak pernah kusangka. Hubungan itu kandas hanya karena satu kesalahan.

Satu kesalahan yang telah melupakan beribu kebaikan di dalamnya. Amat kasihan, sungguh tiada sanggup kutatap.

Ya, aku tak sanggup menatapnya, walaupun hanya sekadar tokoh fiksi yang disebut dalam cerita, sebuah cerita yang tersusun rapi di dalam lembaran buku tua.

Aku sedang membacanya, membalik dari halaman satu ke halaman lainnya. Aku sedang duduk melamun menatap buku tersebut.

Buku yang membahas tentang sikap ketidakpuasan cinta dan perpisahan, tentang keserakahan diri yang merasuk ke dalam jiwa, juga keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang terlihat di pandangan secara berlebihan.

***

Jazu berkata, “Bantuin dong, berat nih!” Dia sedang mengangkat kardus berisi kulkas. Aku mengetahui sekilas tanpa bertanya, sekadar menebak saja. Belum tentu kebenarannya.

Aku menghampiri, menanyakannya dan ternyata benarlah semua yang telah kutebak di dalam benak. Itu kardus berisi kulkas.

Jazu adalah teman terbaik yang satu-satunya kumiliki, antara aku dan dia memiliki beberapa perbedaan. Sementara itu, Wapta. Dia tersenyum melihat apa yang ada di hadapannya. Melihat diriku tentunya yang sedang cengar-cengir menunjukkan gaya.

Perkenalkan namaku adalah Narak. Kalau kau ingin akrab denganku sebut saja Nar. Aku berusai tujuh belas tahun.

Aku bekerja di salah satu jasa tukang angkot barang. Jasa yang mengantar barang ke sana ke sini, kemana pun orderan yang dipesan pelanggan.

Kalau ingin tahu, bicaraku itu tidak beraturan, sembarangan tanpa pikiran, tetapi temanku menganggap itu sebuah kelebihan, aku tak pernah bisa diam, bicara adalah bakat yang kumiliki. Diam itu emas, bagi mereka yang pendiam, mereka sangat beruntung.

Berbeda denganku ....

Wapta itu lucu, tetapi selalu saja berdebat denganku. Dia wanita keras kepala, wajar saja hal itu terjadi, siapa pun yang dekat dengannya selalu saja ribut.

“Berat gak? sini aku bantu,” ucap Wapta seolah ingin membantuku. Aku kali ini ingin berlagak sombong. Tidak menghiraukannya.

“Gak, aku kuat kok!” jawabku dengan sikap sombong. Lebih-lebih dia akan marah atau apalah, terpenting buatku sekarang adalah aku tidak ingin dekat-dekat dengannya.

“Hmm ... jual mahal, teman mau bantuin juga malah ditolak!” tegas Wapta menatap tajam ke arahku. Tangannya menyilang di bawah dada.

Dalam hati, aku sudah ingin menyerahkannya. Lelah juga mengangkat kardus ini sendirian. “Nih, angkat aja aku mau istirahat dulu.”

Oh, ya. Jazu yang sebelumnya. Dia sengaja minta bantuan sama aku, hasilnya ya begitu dia beristirahat. Aku pun hendak sama dengannya—mencari korban.

“Hissshh, enak aja main istirahat segala, kerja woy ... jangan santai-santai mulu.” Tak pernah kusangka. Wapta akan mengeluarkan ocehannya yang ketus itu.

Aku tidak terkejut karena itu memanglah sifatnya. Hanya saja, tak disangka. Kukira dia akan mau kusuruh mengangkatnya.

Aku mengalihkan perhatian agar dia meredamkan ocehan, garuk kepala. “Cuman bercanda, mana bisa aku membiarkan kau angkat-angkat sendirian nanti kecapean, kan kasihan.” Aku mengucapkannya sambil tersenyum-senyum, berharap Wapta memakluminya.

“Ya, udah kerja cepatan.” Wapta menunjuk barang, melakukan titahnya.

“Oke ... siyap komandan!”

Aku tak ingin banyak bicara, bagiku itu akan melelahkan. Bicara yang tidak bermutu, sudahlah itu tidak bagus. Aku membawa kardus berisi kulkas itu, memuatkannya ke belakang mobil pengangkut barang. Pekerjaanku selesai dengan mudah.

Di ruangan ini, jelas terasa sangat panas. AC di dalam ruangan ini seperti tidak berfungsi sama sekali, peluh keringat membasahi sekujur tubuhku.

Akan tetapi, satu hal yang kuherankan dari Wapta adalah dia penuh semangat bekerja tidak menghiraukan keadaan tersebut, dia wanita gigit dengan giat bekerja, walaupun suasana panas.

Aku duduk santai, menatap orang-orang yang bekerja. Tibalah orderan datang dan kali ini orderannya menuju ke suatu tempat di desa yang jauh dari keramaian, menurut informasi yang diterima katanya jalan menuju ke sana agak susah untuk dilalui, perlu kesabaran untuk bisa ke sana.

Aku dan Wapta. Sialnya, kami berdua malah diperintahkan mengantar barang yang dibungkus rapi dalam lipatan plastik, barang itu adalah lemari baju berukuran cukup besar. Barang yang super mantap.

Dengan hati-hati barang itu kami angkat. Perlahan, berusaha memasukkannya ke dalam mobil pengangkut barang.

Namun, di saat mengangkat lemari itu, Wapta tak sengaja kelepasan dari tangannya, hampir saja lemari itu jatuh, untungnya aku bersegera bertindak cepat menghentikannya. Syukurlah, tidak terjadi apa-apa. Barang itu utuh selamat.

“Wapta, hati-hati dong nanti lemarinya rusak, kita juga yang kena omelin.” Aku tidak terima dengan semuanya. Jika lemari itu rusak siapa yang akan bertanggung jawab. Pemilik atau orang yang mempekerjakan kami itu orangnya sangat galak.

Aku tidak berani, mendengar rumornya saja bulu kudukku merinding. Maka dari itu, aku marahi saja si Wapta sebagai ganti rugi atas kelakuannya yang buruk itu.

“Iya, maaf, barangnya berat tau,” jawab Wapta tampak merasa bersalah, tetapi tetap dengan sikapnya yang begitu. Sikap yang tak mau mengalah, tidak mau mengakui kesalahan dirinya, malah menuduh barangnya yang berat. Hello, semua tahu barang yang kami angkat itu berat.

Akan tetapi, jika berhati-hati. Hal itu tidak akan terjadi. “Sudahlah, tidak apa-apa yang penting tuh lemari udah dimuat ke dalam mobil pengangkut barang ini dan tidak ada bagiannya yang rusak,” ucapku tak ingin berdebat dengannya. Aku mengalah, tahu sikap wanita mungkin memang begitu.

Aku masuk ke dalam mobil lebih dulu, menyetir tentunya. Bukan sebagai sopir, melainkan sosok pahlawan yang melintasi jalanan, menolong wanita yang sekarang duduk di sisiku.

Kami berdua akhirnya berangkat, mobil pengangkut barang itu melaju meninggalkan tempat kami bekerja.

Bosan sekali. Perjalanan melintasi kota menuju ke pedesaan rasanya cukup jauh. Tanganku memutar tombol musik. Selama dalam perjalanan menuju ke tempat itu lagu kesukaanku selalu menemaniku. Lagu salah satu dari group band ternama.

Wapta mengerut menatapku. “Ganti lagulah, bosen lagu itu mulu,” bentak Wapta bergerak cepat memutar-mutar tombol musik.

“Eh ... gak ada lagu lain, ya?” lanjut Wapta masih memutar tombol musik. Dia tidak tahu saja, aku sudah memasang memory punyaku yang di dalamnya sealbum dari lagu kesukaanku. Dari group band yang sama.

“Apaan sih, Wapta ... aku, 'kan penggemar setia. Jadi, wajar kalo gak ada musik lain,” ucapku tegas menghentikan tangan Wapta yang sedang memutar musik. Wapta tampak kesal. Aku memahaminya.

“Jika kamu gak suka, baiklah aku matikan saja lagunya,” lanjutku dengan cepat mematikan musik. Nah, sunyi kan? Menyisakan suara mesin dan gemuruh angin di luar kaca jendela mobil.

Perjalanan ini pun mulai terasa sangat membosankan bagiku. Wajar saja, banyak rekan kerjaku yang tidak ingin bepergian bersama Wapta. Mereka selalu mencari alasan, akulah orang yang akan ditunjuk bila ada barang pesanan yang diantar dan bepergian bersama Wapta.

Aku menerima pekerjaan ini dengan ikhlas karena aku tahu jerih payah seseorang yang mencari kehidupan. Di usia yang masih muda ini, bahkan paling muda di antara semua rekan kerjaku. Aku selalu bersyukur mendapatkan rekan seperti apa pun.

“Mikirin apa kamu, Nar?” tanya Wapta memandang ke arahku. Dia secara tidak langsung memecahkan lamunanku.

“Mikirin kamu yang sedang marah,” jawabku menunjukkan wajah tersenyum konyol.

“Emang kenapa? Kalo aku marah, kamu takut, ya?” Sepertinya Wapta ini tampak mencari-cari sebab pertengkaran. Aku muak dengannya. Ingin berteriak meminta tolong.

“Nggak tuh, cuman berasa ngeri.” Aku fokus ke depan, memandang jalanan kota. Tiba-tiba Wapta memukul tepat di kepalaku.

“Aduh.. sakit tau!” ucapku sambil mengusap-usap kepala yang habis kena pukul.

“Rasain, emang enak?”

Ocehan-ocehan Wapta terlontarkan begitu saja. Aku sangat ingin membalasnya, sangat ingin memukulnya, tetapi harus tahan emosi. Aku cukup mengenyir, mengelawak nonstop, memberikannya hiburan hingga tak terasa jalan yang kami dengar melalui informasi memang benar, menempuh jalanan ini begitu susah karena jalannya terjal. Jalanan yang tidak rata dan penuh dengan lubang-lubang.

Mobil kami bergoyang-goyang, seperti perahu yang sedang diterpa ombak. Aku santai dengan damai menatap ke arah depan, berbeda dengan Wapta yang tampaknya tidak terbiasa.

Guncangan di mobil itu, membuatnya muntah-muntah, sedangkan aku yang melihat kondisi Wapta seperti itu malah tertawa lepas. Terbahak. Haha, rasakan itu pembalasan karena tadi menertawakan diriku.

“Kamu jahat nar, teman begini malah diketawain.” Wapta membuatku tertawa semakin nyaring. Aku tidak jahat, hanya terbayang pembalasan tadi.

“Wapta. Maaf, aku tak bisa menahan tawa karena melihatmu begitu, entah bagaimana membuatku tertawa?” Aku benar-benar tak bisa mengerti kenapa aku malah tertawa.

“Berhenti, aku mau ngilangin pusing dulu.”

Wapta menyuruhku memberhentikan mobil. Ya, sudahlah. Berhenti sebentar tidak masalah. Aku cukup memahaminya. Ini seperti mabuk laut, temanku dulu waktu SD dia melaut menceritakan muntah dengan cairan kuning. Mungkin saja, tubuh tidak terbiasa. Aku hanya suka mendengarkan orang lain bercerita, suka sekali.

Akan tetapi, Wapta bukan orang yang seperti itu. Dia bahkan tidak ingin menceritakannya. Itulah dirinya yang tak suka mendengarkan, juga menceritakan sesuatu.

Kami pun berhenti, beristirahat sejenak. Jujur saja, saat ini di depan mataku terbentang alam hijau, panorama keindahan alam semesta. Pemandangan yang bagus terlihat di sekeliling tempat kami berhenti.

Sebuah hamparan hutan hijau, juga ada suara burung berkicau merdu, memekik di udara. Langit ternampak cerah kebiruan dan putih berawan, tiupan angin seakan menyentuh tubuh dengan hawa dingin penuh rasa sejuk, inilah pedesaan yang jauh dari polusi asap kendaraan.

Pedesaan yang asri dan alami. Bukan pemanis buatan, melainkan sesuatu yang damai dan penuh keaslian.

Mirisnya, jalanan daerah ini kurang diperhatikan pemerintah, mungkin karena tempatnya terpencil, jarang dilewati orang-orang. Hal itulah yang menjadi alasan.

“Bagaimana Wapta enak, 'kan cuacanya di sini? Andai aja ada cemilan, ya?” Aku suka mengemil keripik sambil berjalan-jalan melihat pemandangan sekitar. Itu kebiasaan dulu, waktu ada acara tamasya ke gunung.

Wapta tak menjawabnya. Dia berjalan ke mobil. “Sudah, kita lanjutkan saja perjalanan ini, kepalaku udah hilang pusingnya,” jawab Wapta ketus membuka pintu mobil.

“Okelah ... yuk, berangkat!” kataku semangat menghampiri Wapta yang sudah berada di dalam mobil. Akhirnya, tanpa diminta dia sendiri yang memintanya. Jujur saja, aku ingin cepat kembali ke tempat bekerja. Ini melelahkan.

Kami pun melanjutkan perjalanan. Mobil melaju pelan. Jalanan ini rumit dengan lubang di mana-mana yang menyebabkan guncangan bertubi-tubi, menghantam ban mobil kami. Keterangan di awal tadi, seperti yang kubilang mobil kami bagai kapal yang diterpa ombak. Terhempas-hempas.

Wapta menunjuk ke arah depan, ternyata ada lubak yang lumayan besar.

“Hati-hati ban mobil, Nar! Nanti kita akan terjebak ke lubak itu.”

Pada akhirnya, benar saja ban mobil kami terperosok ke dalam lubak. Wapta terlambat memberi tahu. Kami terhenti lagi, tak disangka berjam-jam lamanya berada di tempat itu bolak-balik berjalan tidak keruan, waktu yang tak ingin dibuang, akhirnya terbuang sia-sia karena lubak tersebut.

Kami sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi tenaga kami berdua tidak cukup untuk bisa mengeluarkan mobil tersebut.

Rasanya sungguh melelahkan, kami berdua beristirahat sejenak, melapangkan pikiran.

Tak lama dari itu, aku mendengar suara kendaraan beroda dua lewat. Lantas, aku meminta pertolongan kepada orang itu. Syukurlah, orang itu mau membantu kami.

Dengan usaha dan kesabaran, akhirnya mobil itu berhasil keluar dari lubak. Wapta tampak bersorak nyaring. Aku menghela napas lega.

Kami bertiga saling kelelahan, mengatur sejenak pernapasan. Orang itu lanjut menaiki kendaraan miliknya.

Aku cepat menghampiri. “Terima kasih, Pak. Sudah mau membantu kami,” ucapku berterima kasih sambil menjabat tangan.

“Iya. Sama-sama,” jawab orang itu yang belum kuketahui namanya siapa.

Orang itu lalu pergi lagi, katanya dia buru-buru ingin bertemu anaknya. Katanya lagi Orang itu sudah lama tidak pulang kampung. Wajar saja, kemungkinan sekarang dia rindu dengan anaknya, jadilah dia terburu buru tidak sabaran begitu, dari semua yang terjadi, aku malah lupa bertanya siapa namanya?

***

Kami berdua kembali melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti. Dengan pengalaman sebelumnya, aku cukup mengerti dan paham.

“Kali ini hati-hati nar, 'kan dari awal sudah aku peringatkan!” ucap wapta ngomel-ngomel. Tanpa diberitahu pun aku sudah tahu, dia saja yang memperingatkan malah terlambat.

“Emang kamu pikir mudah apa? Aku tidak terbiasa di jalan begini, Wapta. Jangan salahkan aku!” jawabku membela diri. Tidak ingin mengalah.

“Iya, kamu benar. Akan tetapi kalau hati-hati kejadian tadi pasti tidak akan terjadi!” lanjut Wapta dengan ocehannya itu.

Tiba-tiba ....

“Pretttttt ....” Aku menginjak rem mendadak. Sedikit elus dada. Astaga? Terkejut aku karena sibuk berbicara dengan Wapta.

Bahkan, Wapta yang tadinya memberi nasehat saja, tidak menyadari ada kayu besar yang menghalangi perjalanan kami, terpaksa aku turun menyingkirkannya.

Sebatang pohon kayu itu seperti bekas patah dari pohon. Eh, ada jeritan tangisan terdengar dari kejauhan. Aku mendengar jelas bertanya heran, memandang ke sekeliling, ternyata itu cuma kambing terjepit batu ....

Astaga?

Dengan tenaga yang kumiliki, aku menolong kambing itu. “Aneh juga, kenapa di pegunungan begini ada kambing?” gumamku melihat pemandangan sekitar. Suasana saat itu tampak sunyi, tidak ada orang. Pun tidak ada rumah yang terlihat, kemungkinan kambing itu sedang tersesat. Kasihan, kau sudah bebas kambing, berkelanalah kembali meraih mimpi nan jauh di sana.

***

Syukurlah, kami telah sampai di desa yang telah dimaksud, sekarang derap langkah ini berjalan menuju ke sebuah rumah. Kali ini, benar-benar tak menyangka alamat rumah itu ternyata adalah alamat orang yang tadi telah menolong kami.

Secara kebetulan kami saling terkejut, ternyata ini adalah barang pesanan anaknya untuk memberi kejutan kepada orang yang tadi menolong kami. Aku tak menyangka orang itu adalah ayahnya.

Ini kejutan di atas kejutan. Dia orang yang telah menolong kami, anaknya mempersiapkan kejutan untuknya, secara tidak langsung kami berdua ikut merasakan kejutan miliknya. Luar biasa, takdir di dunia memang rumit, pertemuan dan perpisahan.

Memang di dunia ini ada banyak hal yang kutemui secara kebetulan, mungkin saja itu bukan hanya kebetulan, melainkan bisa juga itu adalah takdir. Aku tidak tahu mengapa itu terjadi? Ada yang menyebut dunia itu sempit, setelah aku menemukan peristiwa ini, aku mengetahui sedikit tentang kata yang banyak kudengar dari orang-orang.

“Ayo, silakan masuk dulu ke rumah kami.” Orang itu menyambut dengan tersenyum ramah. Barang yang dibungkus plastik itu perlahan dibuka anaknya. Aku menatap dari kejauhan masih bercengkrama dengan mereka. Wapta memberi isyarat untuk cepat pulang. Aku menatapnya sekilas memahami tanpa bertanya.

“Maaf, pak. Kami tidak bisa lama-lama takutnya si bos mengira ada apa-apa, sebab kami tidak membawa ponsel.” Aku mengarang alasan. Wapta mengangguk, memahami caraku.

“Kami mempunyai ponsel, kenapa kalian tak memanggil bos kalian dan mengabari dia bahwa kalian menginap di sini dulu.” Bapak itu ramah, bahkan terlalu ramah bagiku. Dia meminta kami untuk bermalam.

Aku lebih berpikir keras lagi mencari alasan agar masuk akal. Sejenak aku memikirkan. Eh, malah yang terbayang sekarang adalah sosok bos yang tampak berwajah marah.

Seram sekali. Apalagi, bos kami itu galaknya luar biasa, terbayang wajahnya saja membuatku menggelengkan kepala. Sepertinya itu cocok dijadikan alasan. Padahal, tidak terbayang hal lain. Bos seakan datang dengan sosok menakutkan.

“Iya. Terima kasih atas tawarannya, sekali lagi terima kasih, tapi sepertinya kami memilih pamit saja, soalnya bos kami itu galak luar biasa. Lebih galak dari harimau.” Aku mengucapkannya dengan hormat dan tersenyum mengelawak.

Mereka tertawa, entahlah. Lucu atau tidaknya. Yang jelas aku terbebas dari ajakan mereka supaya tinggal bermalam.

Mereka setuju. Kami pun berpamitan, saling bersalaman. Di kejauhan. Tepat di dalam mobil, aku menatap mereka melambaikan tangan.

“Baiklah, hati-hati di jalan, ya ....”

Itu suara anaknya. Orangnya sama mengatakan demikian. Tentu, dengan suara yang berbeda. Kami pun membalas lambaian. Tersenyum menatap mereka. Aku menginjak pedal gas. Mobil kami kembali melaju meninggalkan tempat tersebut. Di dalam hati ini, aku bersorak senang. Alasan yang tadi kuberikan tidak memberi kesan buruk.

Syukurlah. Kesan terbaik itulah yang hendak terus kucari, kuterapkan di sepanjang kehidupan. Aku seorang anak muda yang tahu betul mana baik dan buruk. Bisa membedakan keduanya.

Satu hal yang terpenting bagiku adalah menghormati orang lain. Semoga aku bisa terus menghormati setiap orang tanpa meninggalkan jejak jelek yang membuat mereka bersedih hari karena kelakuanku yang kurang baik.

Episodes
1 Rangkaian Yang Pertama
2 Mengenai hati tentang api keheningan
3 Terlalu sulit untuk dipahami
4 Guncangan dahsyat ; Suara Gempa mengguncang alam
5 Mengantuk disela-sela kepingan sendu
6 Secangkir Kopi Yang Menemani
7 Berat badannya melebihi truk bensin
8 Memikul beban pikiran; melayang-layang di angan
9 Rangkaian Yang Kedua
10 Pernikahan seorang teman; Kebahagian dan senyuman
11 Percakapan empat mata yang membingungkan
12 Kehidupan diriku yang sebenarnya tidak perlu dibahas
13 Hujan senja beriringan kabut
14 Gendang tak bersuara
15 Wanita itu Lita Aksima
16 Manusia Sekuat Baja
17 Rangkaian Yang Ketiga
18 Terbang melintasi cakrawala
19 Cerita dalam Pesawat
20 Pesona Gajah Putih Part 01
21 Pesona Gajah Putih Part 02
22 Sebuah Catatan yang tidak penting
23 Cerita Bersama Kakek
24 Aksara cinta dalam kobaran api yang menghanguskan
25 Rangkaian Yang Keempat
26 Langit-Langit Atap Cahaya
27 Sesuatu yang terbuang; sawang itu membentang keputusasaan
28 Tiupan angin topan
29 Semut Kecil
30 Letupan; Ada Kejutan!
31 Surat Dari Hati yang tak mampu kukirimkan
32 Awan Kerinduan; rintihan hati berdegung rancau kepedihan
33 Rangkaian Yang Kelima
34 Racun Yang Mematikan & Hama Yang Harus Dibasmi, Dimusnahkan Dari Muka Bumi
35 Kelipatan Dua Dikali Dua
36 Dua Ratus Dua
37 Bukan Itu Jawabannya
38 Meteor Jatuh Ke Bumi
39 Tertawalah
40 Kepingan Logam
41 Rangkaian Yang Keenam
42 Bulan Yang Kutatap Hilang Di Penglihatan
43 Dengung-dengung Kesamaran
44 Hujan Yang Sama
45 Belalang Ulangan Semester
46 Editor Vs Penulis Gabut
47 Akhir Pertarungan
48 Genangan Air Keruh
49 Rangkaian Yang Ketujuh
50 Warna yang mampu menghapus kerinduan
51 Kosong melompong; tidak ada makna di dalamnya
52 Jutaan kata untukmu
53 Tidak ada yang terbaik
54 Kutatap angan yang bertubi-tubi guncangan
55 Selangkup menara; remuknya pusaran mimpi tak berkeping
56 Kenangan itu lindang; sinarlampu yg mulai lindap tak akan kubiarkantersilapharap
57 Rangkaian Yang Kedelapan
58 Titik Koma
59 Atmosfer Membahana
60 Kicauan Burung Elang
61 Pemain Sepak Bola
62 Pesepak Bola Itu Menyeringai
63 Tersesat
64 Bungkusan Mie Instan dan Permen Tanpa Pemanis Buatan
65 Rangkaian Yang Kesembilan
66 Awal Pertemuanku Dengan Martin Sirikanjana
67 Perut Ikan Paus
68 Koboi Berkepala Dua; Wajah Yang Terbelah
69 Kucing Senyum
70 Koboi Munafik
71 Alur Cerita yang Melanglang; Koboi Juga Punya Hati
72 Sandiwara Di atas Kertas dan Lagu Lama; Jangan Galau
73 Rangkaian Yang Kesepuluh
74 Asam Manisnya Kehidupan
75 Gulali Batuk Suryanata
76 Aku Membenci Satu Hal; Itu Yang Lama Teringat Kembali
77 Lita Aksima dan Untuk Lembaran Yang Telah Hilang
78 Kerajaan Negeri Dongeng
79 Banyak Hal Yang Berubah
80 Bangunan Terpeleset
81 Rangkaian Yang Kesebelas
82 Lemparan Batu Yang Gagal Mengenai Dinding dan Arti Sebuah Nama
83 Mega Berlian
84 Niskala Cakrawala
Episodes

Updated 84 Episodes

1
Rangkaian Yang Pertama
2
Mengenai hati tentang api keheningan
3
Terlalu sulit untuk dipahami
4
Guncangan dahsyat ; Suara Gempa mengguncang alam
5
Mengantuk disela-sela kepingan sendu
6
Secangkir Kopi Yang Menemani
7
Berat badannya melebihi truk bensin
8
Memikul beban pikiran; melayang-layang di angan
9
Rangkaian Yang Kedua
10
Pernikahan seorang teman; Kebahagian dan senyuman
11
Percakapan empat mata yang membingungkan
12
Kehidupan diriku yang sebenarnya tidak perlu dibahas
13
Hujan senja beriringan kabut
14
Gendang tak bersuara
15
Wanita itu Lita Aksima
16
Manusia Sekuat Baja
17
Rangkaian Yang Ketiga
18
Terbang melintasi cakrawala
19
Cerita dalam Pesawat
20
Pesona Gajah Putih Part 01
21
Pesona Gajah Putih Part 02
22
Sebuah Catatan yang tidak penting
23
Cerita Bersama Kakek
24
Aksara cinta dalam kobaran api yang menghanguskan
25
Rangkaian Yang Keempat
26
Langit-Langit Atap Cahaya
27
Sesuatu yang terbuang; sawang itu membentang keputusasaan
28
Tiupan angin topan
29
Semut Kecil
30
Letupan; Ada Kejutan!
31
Surat Dari Hati yang tak mampu kukirimkan
32
Awan Kerinduan; rintihan hati berdegung rancau kepedihan
33
Rangkaian Yang Kelima
34
Racun Yang Mematikan & Hama Yang Harus Dibasmi, Dimusnahkan Dari Muka Bumi
35
Kelipatan Dua Dikali Dua
36
Dua Ratus Dua
37
Bukan Itu Jawabannya
38
Meteor Jatuh Ke Bumi
39
Tertawalah
40
Kepingan Logam
41
Rangkaian Yang Keenam
42
Bulan Yang Kutatap Hilang Di Penglihatan
43
Dengung-dengung Kesamaran
44
Hujan Yang Sama
45
Belalang Ulangan Semester
46
Editor Vs Penulis Gabut
47
Akhir Pertarungan
48
Genangan Air Keruh
49
Rangkaian Yang Ketujuh
50
Warna yang mampu menghapus kerinduan
51
Kosong melompong; tidak ada makna di dalamnya
52
Jutaan kata untukmu
53
Tidak ada yang terbaik
54
Kutatap angan yang bertubi-tubi guncangan
55
Selangkup menara; remuknya pusaran mimpi tak berkeping
56
Kenangan itu lindang; sinarlampu yg mulai lindap tak akan kubiarkantersilapharap
57
Rangkaian Yang Kedelapan
58
Titik Koma
59
Atmosfer Membahana
60
Kicauan Burung Elang
61
Pemain Sepak Bola
62
Pesepak Bola Itu Menyeringai
63
Tersesat
64
Bungkusan Mie Instan dan Permen Tanpa Pemanis Buatan
65
Rangkaian Yang Kesembilan
66
Awal Pertemuanku Dengan Martin Sirikanjana
67
Perut Ikan Paus
68
Koboi Berkepala Dua; Wajah Yang Terbelah
69
Kucing Senyum
70
Koboi Munafik
71
Alur Cerita yang Melanglang; Koboi Juga Punya Hati
72
Sandiwara Di atas Kertas dan Lagu Lama; Jangan Galau
73
Rangkaian Yang Kesepuluh
74
Asam Manisnya Kehidupan
75
Gulali Batuk Suryanata
76
Aku Membenci Satu Hal; Itu Yang Lama Teringat Kembali
77
Lita Aksima dan Untuk Lembaran Yang Telah Hilang
78
Kerajaan Negeri Dongeng
79
Banyak Hal Yang Berubah
80
Bangunan Terpeleset
81
Rangkaian Yang Kesebelas
82
Lemparan Batu Yang Gagal Mengenai Dinding dan Arti Sebuah Nama
83
Mega Berlian
84
Niskala Cakrawala

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!