Aku tak menyangka semua jadi begini, aku menghadap dengan wajah getir ke ruangan big bos secara perlahan-lahan, gemetaran seluruh tubuhku dipenuhi rasa ketakutan.
Aku harus berani, ini tidaklah sulit. Aku hanya akan menatapnya, lalu diberikan ceramah, mungkin memakan waktu berjam-jam, walaupun begitu aku harus tetap kuat, aku benar-benar harus kuat menghadapi semua kenyataan yang telah kuperbuat sendiri.
Dengan langkah mantap, aku memasuki ruangannya yang terasa sangat dingin, kemungkinan Big Bos sengaja menyalakan AC lebih dingin dari biasanya, dia mengatur suhunya agar membuatku semakin menggigil karena ketakutan.
“Oh, Tuhan!? Wanita itu menatapku dengan wajahnya yang terlihat sangat seram.” Aku tak kuasa menatap wajah wanita itu. Wajah yang memelotot lebih seram dari apa pun.
Aku mengatakan sapaan seperti biasa yang kulakukan kepada rekan-rekan kerja. Namun, nahas sekali. Big Bos tidak menjawabnya, aku duduk perlahan-lahan di kursi yang sediakan, menyisakan helaan napas berembus gugup.
Aku duduk berhadapan langsung, menatap getir ke depan. Aku sekarang berada tepat di hadapan meja miliknya dengan penuh perasaan berkecamuk. Aku menelan ludah untuk kesekian kalinya.
Peluh keringat membasahi sekujur tubuh yang kini dilanda kekhawatiran, kecemasan dan lain sebagainya.
Aku tahu telah salah, tetapi pantaskah dia memperlakukan aku begini, mungkin menghadap ke hadapannya itu wajar. Setiap orang yang bermasalah pastilah akan menghadap bosnya. Itulah yang kurasakan sekarang, tenggelam dalam ceramahnya yang berkilo meter jaraknya.
Mental fisikku diguncangkan dengan ucapan sadis, tak mempunyai perasaan. Bisa kugambarkan saat itu seolah-olah perasaan ini dilanda gempa dahsyat, hancur lebur semuanya. Kata-kata berliku, sulit kupahami. Semua itu dilontarkannya dengan hal-hal yang menyakitkan.
Aku terguncang. Ingin lari dari hadapan wanita itu, tetapi aku tak kuasa beranjak pergi. Kaki ini beku, badanku gemetar.
Aku hanya bisa terdiam, tak bisa berbuat apa-apa lagi, bagaimana caranya bertahan dari gempa yang menghancurkan perasaan?
“Aku harus bertahan, sedikit lagi jangan menyerah dulu,” batinku bergejolak begitu kuat.
Sudah kukatakan jangan menyerah, tetapi aku benar-benar tak sanggup menghadapi ini sendirian.
“Tolong!! Tolong aku dari gempa yang sangat dahsyat ini.” Pikiranku saat itu benar-benar menjadi kacau, tanpa kusadari kata-kata itu terbentuk begitu saja di dalam benak dan batin. Aku tidak menginginkan semua ini terjadi, satu hal di dalam hidup hanyalah ketenangan.
Saat ada orang yang memarahiku, rasanya aku tak bisa melawannya. Jujur, itu adalah kesalahan yang telah kuperbuat sendiri. Aku harus menerimanya, bagaimanapun dia mengatakan cercaan, walaupun menyakitkan. Aku harus tetap menerimanya.
Pertanyaan sederhana terus kulangitkan, bertanya dan bertanya soal ini kepada hati dan pikiran. Aku orang yang lemah, aku sadar akan semua itu. Lemah! Lemah!
Kapan ini berhenti? Telingaku sudah memanas seperti gunung berapi yang akan meletus, Kutahan, Benar!? harus aku tahan, ini semua adalah kesalahanku. Lagi-lagi batinku merangkai kata tanpa disadari, membuatku benar-benar mati rasa.
Memang benar, sekali lagi akulah yang telah membuat kesalahan, akulah yang salah atas semuanya. Aku sendiri yang telah berlagak berani memancing gempa ganas itu datang menghancurkan.
Benar sekali, bahkan kurasa sangat ganas. Aku tak sanggup menatap sorotan mata wanita itu, aku sebatas mampu menunduk, menatap lantai. Aku sudah berdiam.
Akan tetapi, suara wanita itu lagi-lagi terdengar sadis sambil menampar meja, semua rekan kerja yang berada di luar ruangan, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri dari balik jendela, tampak semua rekan kerja seperti terkejut karena mendengar suara tamparan meja. Begitu keras, sangat keras.
Gempa ini sudah menghancurkan rumah-rumah dan hampir saja mengisap aku ke dalam tanah, seolah ingin menguburku hidup-hidup. Aku tak bisa ke mana-mana, aku hanya berharap serta menunggu pertolongan dari seseorang yang akan menyelamatkanku.
Wanita itu sangat tidak kusukai, wanita itu memperlakukan karyawan layaknya sampah yang terus diinjak-injak. Terkadang jika dia tidak puas dengan cara demikian, wanita itu menyalakan api, lalu membakar sampah tersebut.
Aku sudah lama ingin berhenti dari pekerjaan ini, tetapi aku tak bisa melakukannya karena aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Sebuah ikatan yang tak bisa kulepaskan.
Cinta pertama itu datang melalui tatapan dan perdebatan, keduanya sering terjadi di antara aku dan wanita yang kucintai.
Orang itu adalah Wapta. Dialah orang yang kucintai, sejak aku bekerja di tempat ini, senyuman Wapta adalah hal yang aku nanti-nanti. Aku tidak peduli dengan big bos yang berada di depanku, juga rekan-rekan kerja yang kadang menyebalkan.
Aku bahkan sering mencari alasan untuk terus bisa melihat senyuman Wapta dan terus kulakukan apa pun, terus menjahilinya, terus dan terus mencari-cari alasan dirinya tersenyum. Aku suka sikap polosnya yang cocok dengan sikap kepribadianku.
Hanya Wapta yang tak pernah bosan mendengar omonganku, sedangkan yang lain tampak tidak suka.
Dialah sesosok wanita idaman bukan seperti wanita yang berdiri di depanku ini, wanita itu menatapku begitu tajam.
Kekecewaan Big Bos sangat besar, pengiriman tersendat karena keterlambatanku, padahal dalam benak pikiranku sekarang, berada di sini saja sudah membuang waktu dan Big bos tidak memikirkan akan hal itu.
Dia ratunya, Big bos seorang wanita jomlo yang tidak punya pasangan sampai sekarang, walaupun kekayaan dimilikinya luar biasa, siapa yang mau wanita galak? Dia itu seperti Harimau, bisa menggigit kapan saja.
Berjam-jam sudah aku berada di dalam ruangan itu, detak jantungku berdenyut tak keruan, mengharap wanita itu melepaskanku atau sedikit saja memahami keadaan yang aku alami.
Wanita itu tidak kenal lelah rupanya, dia terus saja mengeluarkan kata yang begitu sadis. Aku ingin tahu sebatas mana dia bisa terus begitu, aku tetap diam, tetapi wanita itu masih betah berlama-lama sampai dia tersedak karena kebanyakan omong.
Wanita itu mengambil botol kemasan air minum dan meminumnya dengan begitu menyeramkan, satu botol air minum berisi 600mil itu habis dalam hitungan detik.
Lalu, dia mengambil roti panggang di mejanya, dia memakannya. Lahap sekali, aku yang dari pagi tidak makan karena bergegas ke tempat ini untuk bekerja.
Melihat roti panggang itu perutku berbunyi seolah-olah berkata, “Aku ingin itu.”
Sepertinya ini cobaan yang dititipkan Tuhan kepadaku. Namun, sebuah keajaiban datang, akhirnya aku bebas karena wanita itu kekenyangan dan tidak bisa melanjutkan ocehannya. Syukurlah.
Aku menghela napas sambil mengusap dada merasa lega dengan semua yang ada, ketenangan adalah hal utama untuk menghadapi orang seperti itu.
Setelah keluar dari tempat itu, Wapta menyapaku, wanita yang sudah daritadi menungguku, dia berbicara dan mengatakan bahwa dia begitu mengkhawatirkan tentang keadaanku.
Wapta terus bertanya-tanya bagaimana pertemuanku dengan Big bos, aku tak ingin menjelaskannya kepada Wapta, bagiku canda tawa lebih baik daripada menjelaskan hal yang menakutkan itu.
Begitulah Wapta, aku menyukai senyumannya, bahkan ketika tertawa, dia lebih manis dari apa pun.
“Aku tak ingin melenyapkan senyumanmu yang terlihat begitu manis, aku tak ingin merusaknya dengan cerita tentang Big bos yang begitu menyeramkan itu, cerita yang akan mengusik perasaanmu.” Aku berucap di dalam hati setulus-tulusnya sambil tersenyum membalas senyumannya.
Sekarang, sebuah senyuman menghiasi warna indah di bibirnya, kami berdua saling tersenyum. Wapta, kamu tahu perasaanku ini masih terpendam, jauh semakin jauh, dalam semakin dalam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments