Aku bermimpi sedang berbaring di atas hamparan rumput berwarna hijau kekuningan. Aku menengadah dan melihat matahari yang berada di atas langit sedang bersinar terang. Aku sampai harus mengangkat tanganku untuk menghalangi sinar dari pandanganku. Di sampingku terbaring juga seorang gadis Fae berambut pirang yang sangat cantik. Mata birunya juga sedang memandang langit-langit yang cerah. Aku tersenyum kepadanya. Aku berharap momen indah ini akan terus berlanjut selamanya.
Tiba-tiba warna langit mulai berubah. Awan-awan besar yang gelap mulai menutupi matahari yang sedang bersinar itu. Petir mulai menyambar-nyambar. Aku bisa merasakan angin dahsyat yang meniup rambutku dengan kencang. Pohon-pohon yang berada di sekitarku sampai tumbang dan roboh.
Aku sedang berlari, mencari tempat untuk berlindung. Aku bisa melihat samar-samar Fae yang berada di atas langit. Sayap mereka berwarna abu-abu. Aku sempat menghela napas lega. Sekelompok Fae Ventus akan mencerahkan langit seperti sedia kala.
Namun, apa yang kulihat membuatku merinding. Bukannya mengusir dan melenyapkan angin topan yang terbentuk, mereka malah terbang mengelilingi angin topan tersebut. Aku berteriak saat angin itu melaju lebih kencang, kali ini ke arahku.
"Lexy!" Tubuh adikku juga ikut terbang terseret angin topan yang dahsyat. Aku mencoba untuk menggapainya, sambil berlari ke arahnya. Aku melepas jubah luar yang kukenakan, lalu membuka lebar-lebar sayapku. Sebentar lagi. Sayap ini akan menerbangkanku.
Namun, sayap kecil tak berguna ini tidak mau menerbangkanku. Sayapku tetap terkulai lemah. Aku merobek dengan kesal kedua sayapku yang tidak berguna. Darah menetes ke lantai. Aku tidak peduli. Apa gunanya sayapku jika tidak bisa berfungsi?
Angin topan sudah berada di hadapanku. Tubuhku merasa lemas. Bagaikan daun yang terbawa angin, aku membiarkan tubuhku terangkat, kali ini bukan karena sayapku. Tapi karena angin yang dibawa oleh Fae Ventus. Aku bisa merasakan tulang-tulangku yang mulai meremuk. Rambutku yang mulai rontok dari akar-akarnya. Tak lama kulitku mulai robek dan akupun berteriak saat organ tubuhku mulai menghilang tak berbekas.
Aku terbangun dari tempat tidurku sambil ngos-ngosan. Keringat sudah membasahi wajahku. Rambut panjangku menempel pada sudut-sudut mukaku serta leherku. Aku meremas ranjangku, lalu memfokuskan pandangan ke sekeliling. Dimana aku? Butuh waktu beberapa detik untuk menyadarkan diri bahwa aku tidak sedang berada di dalam kamarku, melainkan sebuah ruangan tanpa jendela.
Aku memegang dahiku yang mulai terasa panas. Kepalaku mulai pusing, dan aku bisa merasakan tubuhku yang mulai menggigil. Aku melemparkan bantal yang berada dalam dekapanku, lalu bangkit dari ranjang.
Aku harus memegang dinding saat berjalan karena selain lantainya yang terasa sangat dingin, kepalaku masih belum berfungsi dengan baik. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur. Apakah bulan malam akhirnya sudah menampakkan diri, atau masih bersembunyi, menunggu kepergian sang matahari.
Aku masuk ke dalam toilet dan membasuh wajahku. Setelah itu, aku berendam di dalam bak mandi. Rupanya para Fae itu berbaik hati dan menyediakan air hangat. Tubuhku merasa jauh lebih mendingan.
Sambil mengeringkan rambutku yang meneteskan air di lantai menggunakan handuk, aku membuka lemari itu. Aku terkesiap ketika menemukan gaun-gaun indah yang mengilap. Mulai dari warna biru terang, kuning, merah, ungu muda, hijau, bahkan warna emas dan perak. Semuanya tampak sangat mahal dan ketika aku menyentuhnya, tampak serbuk-serbuk mengkilat yang meninggalkan bekas pada telapak tanganku.
Aku mengambil salah satu gaun tanpa lengan yang berwarna putih keperakan. Warnanya mirip seperti permukaan bulan. Roknya terlihat sangat anggun, dan ketika kukenakan, aku terkejut karena permukaan tubuhku tidak ternodai oleh serbuk-serbuk yang mengkilat. Rok itu hanya sampai sebatas lutut saja. Renda-rendanya dilengkapi oleh mutiara putih yang sangat familiar dengan mutiara yang kutemui di baju yang Lilies kenakan.
Aku melihat pantulanku sendiri di cermin kaca yang terletak di dalam toilet. Kantung mataku masih terlihat dengan jelas. Wajahku terlihat sangat pucat. Dandanan yang menghiasi wajahku sebelumnya sudah mulai memudar. Aku menjilat bagian bawah bibirku dan hampir tersedak karena rasanya sangat pahit. Pelajaran untukku; jangan mencoba-coba merasakan gincu merah yang dikenakan pada bibirmu.
Tiba-tiba pintu dibuka dan seorang gadis yang mengenakan baju berwarna putih kemerahan membawa sebuah nampan dengan makanan enak. Bunga-bunga dengan bermacam warna disajikan diatas piring porselen yang memiliki pola bunga Lili. Aku juga menemukan sebuah botol yang berisikan madu berwarna kuning keemasan.
"Terima kasih," ujarku kepadanya sebelum aku meraih botol madu itu dan meminumnya dengan lahap. Aku sudah terasa haus sejak aku bangun dari mimpi burukku.
Aku lalu mengelap bibirku dan menatap pelayan yang masih berdiri dan memperhatikanku. "Jam berapa sekarang?" Tanyaku kepadanya. Ia hanya menjawab seperlunya. "Pukul 5 sore. Miss Lilies ingin aku menyampaikan pesan kepadamu untuk menemuinya di ruang tamu segera." Ia lalu melirik kedua tanganku yang sedang berpangku di atas pahaku. "Sambil di...ikat," lanjutnya lagi ragu-ragu.
Aku mengangguk dan anehnya tidak merasakan emosi. Aku menunggu amarahku untuk memuncak, lalu membayangkan tinjuku yang akan mendarat di dinding, namun yang kurasakan hanya... kehampaan. Sulit untuk berpikir saat kau baru saja terbangun dari tidurmu. "Goyangkan bel itu jika Miss butuh sesuatu. Saya akan kembali lagi beberapa saat," katanya sambil menunjuk bel yang terletak di atas mejaku, lalu berpaling dan pergi ke luar ruangan.
Aku memutar leherku, berusaha untuk meregangkan diri. Pertama-tama aku harus menuruti permintaan mereka. Aku tidak boleh bersikap kasar. Dengan begitu, aku jadi diperbolehkan ke luar dari ruangan ini. Setelah itu, akan kupikirkan rencanaku selanjutnya.
***
Pelayan yang tadi beserta temannya membawaku ke ruang tamu. Meskipun aku dijaga ketat, aku tidak akan mencoba melawan. Pertama-tama cobalah bersikap baik, aku terus mengulangi kalimat itu.
Ruangan yang kumasuki terlihat sedikit berbeda. Hiasan gantung bunga sudah ditambahkan. Furniturnya sudah dipermak dan aku baru sadar sedang diundang ke sebuah pesta teh kecil-kecilan. Camilan berupa biskuit rumput dan biji buah tersebar di meja. Aku menemui Lilies yang sedang duduk di salah satu sofa. Rambut pirangnya dikonde, sayap pinknya tersebar di atas sofa. Ia mengenakan gaun pendek berwarna merah.
Ia tersenyum ketika melihatku, dan menyuruhku duduk di seberangnya. Mungkin dia sudah lupa akan ancaman Lexy waktu itu.
"Jadi, Alena," katanya kepadaku. "Sudahkah kamu memutuskan untuk bersikap baik kepadaku?"
Memangnya aku bisa berubah hanya dalam waktu... beberapa jam? Aku memaksakan diri untuk tersenyum. "Kata Ledion, kamu tidak bermaksud untuk mengambil sayapku untuk kepentingan pribadi," balasku demikian. Ia mengangguk setuju. "Aku akan memberikanmu sebuah tawaran yang menggiurkan. Sebelum itu, cobalah untuk menjawab pertanyaanku."
Aku memandang wanita itu. Sekarang ia malah mau melakukan tawar-menawar denganku? Jika imbalannya adalah bebas dari ruangan itu, aku mesti protes. Aku hanya perlu bersikap baik dan menjaga diri. Tentu itu tidak dihitung, kan?
"Ledion menemukanmu dan adikmu di tengah Hutan Greensia. Menurut penjelasannya, kalian tampak tersesat. Kira-kira apa yang sedang kalian lakukan saat itu?" Tanyanya kepadaku. Lagi-lagi, wajah yang penuh dengan rasa penasaran.
Aku tidak yakin harus mengatakan hal yang sebenarnya kepada wanita ini. Aku masih belum memercayainya seratus persen. Namun, aku juga tidak berniat untuk membohonginya. "Kami kabur dari rumah. Dan tidak ada niat untuk kembali lagi."
"Ah, begitu rupanya." Ia mengangguk lagi, tanda ia mengerti. "Dimanakah tempat tinggal kalian?" Tanyanya lagi. Tanpa disadari, aku memukul meja. Para pelayan yang bertugas untuk menjagaku, langsung siaga satu begitu aku mulai aksiku. Harus kuakui bahwa aku hampir tertawa geli.
"Apa urusanmu?"
"Aku dan Ledion perlu memastikan bahwa kalian tidak seperti yang diharapkan. Egleans," balasnya. "Aku tidak pernah menemui gadis seusia kalian yang belum mempunyai warna pada sayap," katanya. "Bahkan, sepertinya sayap kalian masih belum berfungsi. Kalian belum pernah terbang menggunakan sayap kalian, kan?"
Aku menelan ludahku. Jadi inikah alasannya mereka menuduhku dan Lexy macam-macam? Menuduh kami adalah Egleans, makhluk ciptaan manusia jahat yang katanya dibuat dari serbuk sayap Fae.
"Aku masih tidak paham apa hubungan sayap kami pada ini semua," balasku dingin. Ia menaikkan alisnya, lalu memiringkan kepalanya. "Karena kalian tidak normal. Kami berspekulasi bahwa manusia telah menciptakan jenis Egleans baru yang dapat menyerupai bentuk Fae. Karena Fae yang asli dapat dibedakan dari warna sayapnya," imbuhnya, "karena segala sesuatu yang natural tidak dapat diganggu gugat."
Aku menaikkan bahuku, berusaha agar terlihat tidak tertarik pada ucapannya. "Lalu apa tawaranmu barusan?"
Lilies mengambil sebutir biji buah, lalu memakannya. Setelah mengunyah sampai habis, ia melanjuti perkataannya. "Aku ingin kamu belajar di Faedemy, sekolah khusus para Fae. Jika kamu bisa mengembangkan bakatmu dan mendapat warna pada sayapmu, maka itu bisa menjadi bukti bahwa kamu bukan makhluk Egleans dan bukan bahaya untuk kaum kami."
Aku berusaha untuk tidak terkejut. "Dan apa imbalan yang akan kudapatkan?"
"Banyak sekali! Pertama, statusmu sebagai tahanan kami akan dicopot dan kamu bisa hidup di Amalthea Halley seperti para Fae lainnya. Kedua, jika kamu setuju menjadi murid Faedemy, kamu bisa bertemu dan berteman dengan pangeran termuda kami, Callum." Aku bersumpah bisa melihat senyumnya yang seketika mengembang. "Tahukah kamu, bahwa sebelum kamu menjadi tahanan kami, Callum sudah ingin menemui kalian?" Matanya menatapku dengan curiga. "Ia bahkan sudah tertarik pada kalian," gumamnya. Aku masih bisa mendengar suaranya yang dikecilkan.
Untuk apa pangeran termuda Fae ingin menemui kami? Apakah karena rasa penasaran dan ingin melihat seperti apa wujud rupa Egleans yang mirip dengan Fae? Aku kurang yakin.
Tapi, tawaran ini tentu saja menarik bagiku. Aku bisa terlepas dari statusku sebagai tawanan mereka, dan bisa mencari Lexy dan kabur bersama-sama dari tempat ini. Tapi, kemanakah kami akan pergi?
"Gedung Faedemy terletak dekat dengan istana Amarilis, kediaman pribadi sang pangeran termuda," lanjutnya lagi sambil tertawa kegirangan. Siapapun Callum ini, dia sudah sukses merebut hati wanita yang sedang duduk didepanku ini.
"Dan jika aku berhasil mendapat warna pada sayapku, aku bebas pergi kemana saja?" Tanyaku agar tidak terlihat kegirangan juga. Kesempatan untuk pergi jauh-jauh dari Amalthea Halley? Aku tidak tahu Dewa Pengampun memberikanku jalan keluar yang begitu mudah.
"Tentu saja! Setelah itu kamu bebas pergi kemana saja dan hidup bahagia selamanya," balasnya. "Bagaimana? Menarik, bukan?"
Kuakui perkataan wanita ini benar. Aku mengangguk dengan cepat, menerima tawaran darinya. Entah apa yang direncanakannya sampai mengirimkanku ke Faedemy.
Lilies menepuk tangannya, lalu bangkit berdiri. Gadis pelayan yang sebelumnya memasuki kamarku, membawa sebuah pisau dan memotong tali yang masih mengekang tanganku. "Kapten Ledion akan mengantarmu besok pagi. Nah, Miss Alena, silahkan nikmati hidangan yang disajikan para pelayanku." Ia menjentakkan jarinya, dan sekumpulan pelayan Cosmos masuk ke dalam ruangan, sambil membawa lebih banyak camilan. Aku bisa mendengarkan suara-suara halus dan melodi musik dari arah kanan. Aku mengintip dan melihat beberapa Fae bersayap ungu muda sedang memainkan alat musik seperti biola, harpa, dan seruling bambu. Semuanya menciptakan melodi yang indah.
Fae Melody. Fae yang berbakat menciptakan melodi musik yang bisa menenangkan jiwa seseorang. Nyanyian yang dikeluarkan dari mulut mereka bisa mengelabui musuh dan menghipnotis seseorang. Aku bergidik saat memikirkan itu.
Sambil menikmati jamuan dari para pelayan, aku memikirkan nasibku jika aku benar-benar menjadi murid di Faedemy. Bakat macam apa yang akan kukuasai? Jika sayapku ternyata berwarna ungu, mungkin aku masih bisa menerimanya. Menjadi salah satu Fae Melody. Atau mungkin Fae Aqua. Menjadi Fae Cosmos tidak buruk sebenarnya, namun aku tidak terlalu gemar merias wajah seseorang.
Apa yang akan terjadi bila sayapku berubah warna menjadi hitam kelam, sama seperti Ledion? Aku menggelengkan kepalaku. Aku belum pernah membunuh orang lain, bahkan hewan-hewan kecil seperti serangga. Bakatku bukan itu.
Seorang Fae Healer yang sebelumnya menyembuhkan kakiku menghampiriku. Ia mengepakkan sayap putihnya. Serbuk halus berwarna putih yang muncul karena kepakan sayapnya itu hampir membuat hidungku bersin. Ia tersenyum dan membungkuk sedikit kepadaku.
"Miss Alena. Perkenalkan. Namaku Sana. Mulai besok sampai seterusnya, aku akan mendampingi perjalananmu ke Faedemy," katanya dengan lembut. Aku bisa merasakan aura ketenangan yang memancar dari dirinya. Sepertinya Fae ini lumayan baik. Ia mengenakan gaun putih polos, seperti seorang perawat. Rambut panjangnya dikuncir satu dengan rapi. Keperawakannya seperti seorang ibu, padahal usianya mungkin saja kurang lebih sama sepertiku.
"Miss Sana," aku mengucapkan namanya, lalu dengan sopan membungkuk sedikit. "Mohon bantuannya nanti." Aku mengulurkan tanganku, hendak berjabat tangan dengannya ketika aku baru ingat sesuatu.
Mereka tidak pernah berjabat tangan. Gestur ini hanya dilakukan oleh para manusia. Aku langsung menarik kembali tanganku, mulai merasakan pipiku yang mulai hangat karena malu. Sana hanya balas tersenyum. Kebiasaan ini sudah ada dalam diriku. Biasanya aku harus berjabat tangan dengan Miss Gray sesaat sebelum ia memulai kegiatan belajar-mengajar.
Keesokan harinya, aku sudah bersiap-siap. Karena aku tidak memiliki barang bawaan, Lilies menyiapkan sekantung keping Chrysos serta bubuk bunga yang sudah disiapkan di dalam botol. Semua itu dimasukkan ke dalam kantung yang terbuat dari tanaman daun yang kuat dan elastis. Aku mengikat kantung itu pada pinggangku, lalu berjalan keluar pondok.
Tak lama, aku dapat melihat seorang Fae bersayap hitam yang sedang terbang menghampiriku. Ledion. Jantungku tiba-tiba bekerja sangat cepat. Rambut putih keperakannya beterbangan. Aku mengingat saat aku bertemu dengannya pertama kali. Di balik rimbunnya semak-semak, ia bergerak sangat cepat. Mungkin waktu itu efek sayapnya yang kulihat samar-samar.
Ia menggunakan kaos tanpa lengan dan celana kulit. Kali ini, dia tidak mengenakan jubah bertudung hitam. Sayapnya yang mengepak menghasilkan angin yang menghantam langsung wajahku. Serbuk sayapnya lagi-lagi membuatku harus menutup hidungku.
Aku tidak tahu sampai kapan bisa terbiasa dengan kehidupan baruku di dunia Fae.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Aretha
sy suka bgt..masuk rak favorit saya ya
2021-09-11
0
Om Rudi
Om suka
Yuk bantu Om dukung Pendekar Sanggana
2020-11-29
0
Efsatmar Enn
kak, karyamu dalam bahaya 😅 soalnya aku bisa mengambil banyak pembelajaran dari membacanya 🤭 tiap baca per episodenya kesan fantasy dan fairiesnya kerasa banget, top deh!! aku heran kenapa karya kakak gak sepopuler yg lain, padahal ini salah satu yg terbaik dari yang pernah aku baca
2020-10-31
2