Aku pasti kelihatan sangat norak karena terus menganga sejak kami mulai memasuki Desa Faeries. Desa Faeries; atau berdasarkan sebutan warga lokal yaitu Amalthea Halley, adalah salah satu desa kecil yang terkenal dengan arsitek bangunannya yang berwarna-warni. Meskipun sekarang masih pagi dan matahari baru saja terbit beberapa menit yang lalu, jalanan sudah dipadati oleh para Fae yang lalu lalang. Kebanyakan dari mereka masih kecil, tangan mereka sedang menggenggam sekuntum bunga warna-warni. Saking sibuknya mengobrol dan tertawa, mereka tidak menyadari dua gadis Fae yang sedang disandera oleh seorang Fae hitam.
Aku dapat membedakan jenis Fae berdasarkan warna sayapnya. Seorang anak perempuan yang memiliki mahkota bunga diatas kepalanya mempunyai sayap yang berwarna merah muda atau pink. Anak itu seorang Cosmos, yaitu golongan perias. Fae Cosmos mempunyai bakat di bidang kosmetik dan busana. Wajah dan cara berpakaiannya terlihat sangat gemilang dan cantik. Wajar untuk langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.
Aku menatap Fae hitam yang sedang berdiam diri di atas kuda. Fae hitam atau Ripper. Biasanya kerjaannya hanya membunuh, membunuh, dan membunuh. Kalaupun ada hobi lain, kutebak adalah untuk mengoleksi pedang dan senjata mereka.
Kebanyakan Fae yang berlalu lalang adalah para Cosmos. Mungkin mereka sedang sibuk mempersiapkan diri untuk sebuah kontes kecantikan. Aku mengingat-ngingat lagi pelajaran Miss Gray. Di mana ada Cosmos, disitulah Aqua berada. Fae Aqua, golongan air. Mereka bisa memanipulasi, menciptakan, dan sekaligus mengontrol air. Mereka adalah Fae yang sangat ramah dan berteman dengan siapa saja. Tentu saja. Kekuatan mereka paling dibutuhkan disini.
"Waaah, ada kakak cantik!" Tiba-tiba sebuah suara yang menggemaskan terdengar dari belakangku. Aku menoleh dan melihat seorang anak laki-laki bersayap biru muda. Seorang Aqua. Rambut hitamnya beterbangan, seolah-olah ditiup oleh angin. Ia membuka telapak tangannya yang dikepal, dan menyemburkan percikan air langsung ke wajahku.
"Hei!" Aku mengusap wajahku, mencoba mengeringkan wajahku yang basah karena keisengannya, namun kuda di sampingku malah menarikku semakin jauh dari bocah nakal itu. Anak itu malah tertawa terbahak-bahak dan melambaikan tangan kecilnya ke arahku. Tanpa disadari, senyumku justru mengembang.
Aku dan Lexy terus melintasi keramaian para Fae. Karena suara teriakan usil anak-anak lah, yang akhirnya membuat Lexy tersadar dari mimpinya. Wajahnya masih letih, namun aku tahu ia akan langsung menyukai anak-anak ini, sama seperti ia menyayangi Cashew. Ia tidak bisa menahan godaan hal-hal yang imut dan menggemaskan.
Kerumunan gadis-gadis Cosmos langsung merapat ke tubuh Lexy. Ada yang menaburkan bunga warna-warni di atas kepalanya. Ada yang menaruh mahkota bunga berwarna merah muda untuk menghiasi rambut pirangnya. Ada juga yang meniup kelopak bunga mawar ke wajah Lexy. Ia membalas mereka dengan tawaan manis dan seketika aku merasa lega melihatnya. Rasanya seperti terbangun dari mimpi buruk dan bangun di sebuah tempat yang indah dan ramah. Aku langsung melupakan fakta bahwa aku masih ditahan.
Aku tidak tahu berapa lama kami disambut terus-terusan oleh bocah-bocah Fae. Pipiku mulai terasa pegal karena terlalu banyak tertawa. Rambutku pasti sudah terlihat acak-acakan dan berantakan karena diterbangkan oleh angin hasil ciptaan Fae Ventus; golongan angin. Kami akhirnya berhenti di depan salah satu pondok yang atapnya berwarna merah muda. Pemiliknya pasti seorang Cosmos.
Ripper itu akhirnya turun dari kudanya. Aku ingin sekali mengeluarkan air mataku karena akhirnya kakiku yang mengeluh kesakitan ini bisa beristirahat. Lexy hendak duduk di atas tanah lembap yang digunakan untuk bertanam saat Fae hitam itu menarik dan memaksanya untuk berdiri, lalu membuka tali yang mengikat tangannya. Tak lama, seorang wanita yang sangat cantik membuka pintu pondok itu dari dalam. Rambut pirangnya yang sepinggang dikepang dan ditaruh ke samping kanannya. Ia mengenakan sebuah terusan selutut berwarna putih yang memperlihatkan kedua lengannya dan lehernya yang berkulit putih mulus. Ia tidak mengenakan alas pada kakinya, namun serangkaian bunga putih yang kuduga adalah bunga Lili diikat pada pergelangan tangan dan kakinya. Bajunya pasti terbuka pada bagian punggung, karena aku bisa melihat sayap pink yang sudah menyentuh lantai.
"Kapten Ledion!" Wanita itu langsung memeluknya dengan erat. Ripper yang ternyata bernama Ledion itu hanya memutarkan bola matanya dan mencoba melepaskan diri dari dekapan wanita itu. Namun, wanita itu tidak merasa malu atau terhina. Senyuman manisnya masih menempel pada wajahnya. Matanya berbinar-binar saat ia menatap wajah Ledion.
"Lilies. Jangan pernah sebut gelarku, apalagi di depan makhluk Egleans seperti mereka." Ledion menggoyang-goyangkan jarinya kepadaku dan Lexy. Sontak aku dan wanita itu saling bertukar pandang. Egleans? Makhluk hasil ciptaan manusia yang katanya lebih sakti dibanding para Fae? Dia sudah gila ya. Aku bukan hasil percobaan.
"Benarkah? Gadis cantik kembar ini, mereka... Egleans?" Lilies menghampiri kami. Rok putihnya berkibar-kibar. Aku bisa melihat lebih jelas pola mutiara-mutiara putih berbentuk bunga yang terdapat pada gaun pendeknya. "Tidak mungkin, kecuali..." Wanita itu terdiam beberapa saat, sambil mengamati kami. Ia lalu menarik lenganku dan Lexy. "Pantas saja kamu membawa mereka kepadaku." Senyumannya entah kenapa menanamkan firasat buruk padaku.
"Buat mereka secantik mungkin. Mungkin sang pangeran akan menemui mereka," ujar Ledion sebelum ia menaiki kuda dan meninggalkan kami bersama Lilies. Pangeran? Mengapa kami harus menemuinya?
"Mari masuk! Pasti akan seru mendadani gadis-gadis cantik seperti kalian!" Katanya dengan semangat sambil menarik-narik lengan kami.
Rumahnya simpel dan rapi. Kupikir semua Fae Cosmos memiliki hasrat yang tinggi dengan warna pink. Aku salah. Dinding rumah ini berwarna putih polos. Ada ruang tamu yang sepertinya bisa muat beberapa orang. Ruang dapur kecil yang terletak di bagian dalam rumah, dan sebuah tangga kayu yang langsung menuju lantai dua. Disitulah kami ditarik dan dibawa.
Ruangan yang kami masuki pasti adalah kamar tidurnya, atau bisa juga tempat tidur tamu. Rumah ini sangat berbeda dengan rumah besar milik kami. Namun jauh lebih hangat dan nyaman. Aku bisa merasakan aura kebahagiaan yang memantul di antara dinding-dinding lorong.
Lilies lagi-lagi menatap kami dengan tatapannya yang penuh dengan rasa penasaran. "Jangan takut! Ledion nanti akan menemani kalian menemui sang pangeran." Ia lalu menyuruh kami duduk di atas sebuah kursi, yang menghadap ke sebuah kaca perias yang mejanya dipenuhi dengan alat-alat rias yang belum pernah kulihat sebelumnya. Ibu biasa selalu menggunakan batang merah yang disebut gincu ke bibir tebalnya. Aku langsung menggelengkan kepalaku saat mengingat hasil mengerikan yang benda itu lakukan terhadap bibir Ibuku. Warnanya terlalu merah dan tidak terlihat cantik sama sekali. Bibir Ibuku malah terlihat lebih besar dan tebal.
Lilies tampaknya sangat menikmati mendadani kami berdua. Sambil bersenandung merdu, ia dengan cepat dan tepat membumbui wajah kami dengan alat-alat rias tersebut. Tak lama, ia mulai menyisir rambut kami yang sudah mengusut.
Perutku berbunyi kelaparan. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku memakan sesuatu. Terakhir kali mungkin sudah berhari-hari yang lalu.
"Ya ampun! Dasar pria tidak peka! Bukannya memberitahuku bahwa kalian sudah sangat kelaparan!" Lilies buru-buru meraih dua buah botol gelas berisikan bubuk-bubuk mengilap yang berwarna putih, lalu memberikannya kepada kami. Tanpa banyak basa-basi, aku tahu apa isi botol itu. Serbuk sari bunga, mungkin bunga Lili. Aku langsung membuka tutup botol, dan meminumnya dengan sigap. Tak lama, perutku terasa mendingan. Aku tahu Fae tidak membutuhkan banyak jenis makanan seperti para manusia; karbohidrat, protein, vitamin, dan sebagainya. Kami hanya perlu mengisi perut kami dengan serbuk bunga atau madu manis yang dihasilkan oleh peri lebah. Tak sulit memang mencari bunga di hutan saat kami melarikan diri. Namun, saat kami sudah masuk semakin dalam ke hutan, tidak ada lagi hamparan bunga-bunga di pinggir jalan. Mungkin sudah dipetik dan dipanen oleh para Fae yang tinggal di Amalthea Halley. Wajar saja. Mungkin itulah alasan para bocah Fae membawa sekuntum bunga pada masing-masing tangan mereka di jalanan tadi.
Saat tenggorokanku sudah terasa jauh lebih baik, aku mengucapkan terima kasih kepadanya. Lalu menanyakan pertanyaan yang tadi tidak sempat kutanyakan pada Ledion. "Kenapa Ledion menuduh kami sebagai Egleans?" Rasanya aneh mengucapkan nama Fae hitam yang beberapa jam lalu sedang menjadikanku tawanannya.
Lilies menghentikan gerakan tangannya yang sedang menyisir rambut Lexy. Adikku yang sejak saat memasuki pondok ini masih saja memasang wajah yang murung. "Kalian benar-benar tidak tahu?" Ia lalu menyuruh kami untuk melepas baju kumal kami. Tentu saja aku langsung menolak. Lexy dengan waspada berjalan mundur saat Lilies mendekatinya, takut akan bahaya yang mungkin saja akan didatangi olehnya. Wanita cantik itu hanya tertawa geli. "Jangan takut. Aku tidak tahu darimana asal kalian, tapi jika Kapten Ledion sampai mengampunimu, itu artinya kalian terlalu berharga untuk kujadikan pelayanku." Ia lagi-lagi menggerakkan jarinya. "Tunggu apa lagi? Sudah menjadi kewajibanku untuk merias wajah gadis-gadis muda menjadi cantik jelita. Tentu, itu sudah termasuk dengan penampilan kalian, kan?"
Aku mencoba mencuri pandangan dari Lexy, ingin mengetahui kira-kira apa yang sedang dipikirkannya. Rasa malu dan gugup karena dilihat telanjang bukanlah masalah utamanya. Aku takut wanita ini akan mengeluarkan reaksi yang sama dengan orangtua kami saat melihat sepasang sayap di punggung kami.
Aku lagi-lagi berpikiran bodoh. Sayap adalah hal yang normal untuk para Fae. Jika wanita ini berencana untuk memotongnya, ia pasti sudah mengambil sayap milik Fae lain. Aku menggigit bagian bawah bibirku. Ingat dengan pelajaran Miss Gray mengenai Fae Cosmos. Mereka hanya tertarik dengan bunga warna-warni dan kecantikan mereka. Sayap mungkin bukanlah hal yang gemar diincari.
Aku mulai membuka mantel luaran yang kukenakan. Lexy sudah melototiku untuk memperingatkanku. Aku tahu apa yang dipikirkannya. Kami sudah saling berjanji untuk merahasiakan sayap kami dari orang lain. Namun, apakah ini berlaku untuk para Fae yang juga memiliki sayap?
Ketika akhirnya aku membuka lapisan terakhir kain yang menutupi tubuhku, Lexy mulai berjalan ke arahku, mungkin sudah kehilangan kesabarannya. Ia berbisik di telingaku, "Apa yang sedang kau lakukan?! Ini terlalu berbahaya!" Ia mulai menurunkan kain bajuku yang sudah berada di atas kepalaku, namun aku tetap bersikeras untuk membukanya.
Aku lagi-lagi melihat tatapan yang sama persis terlukis di wajah Lilies. Tatapan penuh kejutan, dan mata yang terbelalak. Mulutnya ternganga saat melihat pantulan kaca yang menunjukkan belakang punggungku. Ia buru-buru menghampiriku. Didera oleh trauma dan rasa ketakutan, aku berlari menjauhinya, sambil memunguti kain bajuku dengan cepat. Lexy langsung menghalanginya, sambil menodongkan pisau cukur milik Lilies yang sebelumnya berada di atas meja rias.
Tatapan itu. Lalu pisau cukur. Perutku langsung terasa mual. Aku menggelengkan kepalaku, berusaha dengan mati-matian untuk mengusir perasaan itu. Aku tak ingin berada di dalam kondisi yang sama lagi. Jantungku mulai berpacu, tak lama kemudian pernapasanku jadi tidak beraturan.
"Jangan dekati Alena! Atau kulukai kamu dengan pisau ini!" Teriak Lexy. Suara gemetarnya menandakan ia juga merasa ketakutan. Lilies hanya menggelengkan kepalanya, lalu berkata, "Tidak, bukan begitu. Aku janji tidak akan melukai kalian. Aku hanya ingin melihat seki-"
"Bohong! Kamu pasti ingin mencuri sayap kami lalu menjualnya!" Teriak Lexy, kali ini suaranya terdengar lebih keras. Tiba-tiba suara hentakan kaki terdengar dari luar pintu. Akan ada lebih banyak orang yang melalui pintu itu, pikirku sambil gemetaran. Aku buru-buru mengenakan bajuku, dan sambil dikejar oleh rasa takut yang berlebih, aku menghampiri Lexy.
"Lexy! Kita harus segera pergi dari sini! Akan ada banyak orang yang kemari!" Kataku panik. Lexy tidak sempat menoleh kepadaku, namun dilihat dari gerak-gerik tangannya, aku tahu dia akan melakukan apa.
'Tunggu aba-abaku. Lihat jendela disana? Kita akan lompat bersama-sama.' Aku bisa membaca pikirannya yang sejalan denganku. Aku melirik wajah Lilies yang terisak, kemudian menolehkan pandanganku ke salah satu jendela yang ukurannya paling besar.
'Siap?' Aku bersumpah bisa mendengarkan isi hati Lexy. Lilies mengangkat tangannya, berusaha menjelaskan kepada kami bahwa ia tidak ada maksud untuk melukai kami.
'Tiga.' Pintu yang terkunci mulai digedor-gedor.
'Dua.' "Miss Lilies! Apakah Anda baik-baik saja?!" Terdengar teriakan seorang perempuan, yang mungkin adalah pelayannya.
'Satu'. "Kumohon! Akan kujelaskan apa yang kuketahui!" Pintanya sambil mengatupkan kedua telapak tangannya. Aku bisa melihat air matanya yang sudah membasahi pipinya.
'Sekarang.' Pintu yang dikunci tiba-tiba sukses dihancurkan. Aku bisa merasakan para pelayan yang berhamburan masuk ke ruangan kami. Aku dan Lexy secara bersamaan berlari ke arah jendela. Dengan sekuat tenaga, Lexy menggunakan lengan kirinya untuk menghantam kaca jendela sampai pecah. Lalu berhasil melompat keluar.
Namun tanganku tiba-tiba ditarik oleh seseorang yang sangat kuat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
☆chika
apa cuma aku aja yang ngerasa kayak lagi nonton kartun disney yang tentang peri
2021-09-09
0
Om Rudi
Gagal lagi?
Ayo bantu novel Om Rudi :
Pendekar Sanggana
Sanggana1: Perampok Raja Gagah
2020-11-27
0
_rus
Sudah aku like Thor 👍🏽👍🏽
tetap semangat pokoknya 💪🏽💪🏽
Salam hangat dari "Sebuah Kisah Cintaku" 😁🙏🏽
2020-11-20
1