Wings & Dust

Wings & Dust

Kabur dari Rumah

Keringat membasahi wajahku. Butiran air asin yang keluar dari pelipis beserta leherku tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa nyeri dan pegal luar biasa yang kurasakan pada kedua kakiku. Aku beserta Lexy, saudari kembarku, dan hewan piaraan kesayangannya yang bernama Cashew - sudah menyiksa diri selama berjam-jam.

Tidak. Aku tidak tahu tepatnya berapa lama kami telah melarikan diri dari kedua orangtua kami. Tanah berbatu dan berlumpur sudah berkali-kali menusuk dan mengotori telapak kakiku. Pohon-pohon hijau besar dan tinggi yang menjulang ke langit menjadi tempat persembunyian kami setiap kali kami mendengar suara teriakan yang sudah sangat familiar itu.

Kedua orangtua kami - lebih tepatnya, dua manusia yang kejam itu - sudah melewati batas. Beberapa saat sebelum kami memulai aksi pelarian kami, Ibu yang biasanya terlihat mabuk tiba-tiba melototi kami dengan kedua matanya yang sudah berkeriput. Aku sangat yakin ada yang janggal dengan sifat Ibu pada saat ia berteriak memanggil Ayah. Mungkinkah Ibu yang biasanya tidak bisa memfokuskan pandangannya bahkan untuk berjalan dari sofa ke depan televisi dan mengambil remot, tiba-tiba bisa memandangi punggung kami lebih dari 5 detik?

Ayahku yang biasanya menggunakan pisau cukur untuk janggut di dagunya yang sudah sangat panjang, tiba-tiba ingin menggunakannya untuk memotong sayap yang ada pada punggung Lexy. Untung aku sudah menarik lengan Lexy jauh-jauh dari sosok menyeramkan itu.

Selanjutnya adalah kejadian yang sangat menyeramkan yang aku tidak yakin ingin mengingatnya sekarang. Ayah dan Ibu sudah gila. Mereka seperti dirasuki setan, dan mengejar-ngejar kami dari lantai dua sampai belakang rumah. Mereka tidak peduli dengan kaca lemari yang pecah, piring-piring dan gelas minum yang kami lempar, perabotan mahal beserta jam bandul yang terjatuh karena disenggol Ayah. Mata mereka hanya fokus pada satu hal-bukan, dua hal: sepasang sayap yang ada pada punggungku dan Lexy.

Semenjak aku berusia 6 tahun, telingaku mulai tumbuh sangat lancip dan lebih panjang dari kedua orangtuaku. Mereka hanya tersenyum puas, dan dengan mulut mereka yang biasa disertai oleh rokok dan bau alkohol, mereka berkata, "Itu hal yang normal untukmu dan Lexy. Kalian sangatlah spesial."

Tentu saja aku tidak begitu menghiraukannya. Telinga lancip ini jelas-jelas membawa banyak keuntungan pada diriku dan Lexy. Kami ternyata bisa mendengar lebih jelas dan lebih jauh dibanding telinga bundar yang dimiliki oleh Ayah dan Ibu. Kami bisa mendengar gonggongan Cashew bahkan dari jarak bermil-mil sekalipun. Kami bisa mendengar suara langkah kaki Ayah dan Ibu dari kejauhan di atas lantai kayu yang menimbulkan bunyi, apalagi di malam hari sebelum kami tertidur pulas.

Aku menggelengkan kepalaku, memaksa untuk mengusir pikiranku tentang Ayah dan Ibu. Dua manusia pembohong dan penyiksa yang sudah merebut hak hidup kami. Suara teriakan dan kaki mereka yang mengejar-ngejar kami sudah semakin kecil. Aku tidak seharusnya heran. Mereka berbeda dengan kami. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk berlari dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Sambil menarik lengan Lexy, aku terus membawa kami semakin jauh dari rumah, sekaligus semakin dalam ke hutan. Langit-langit malam tidak membutakan kami. Cahaya kerlap-kerlip bintang yang tersebar di kanvas langit membantu kami mencari jalan di antara bebatuan dan tanah yang basah ini.

Lexy tiba-tiba berhenti berlari. Aku pun menoleh kepadanya, dan menarik lengannya, mengajaknya untuk terus berlari. Aku tidak akan mengambil resiko dengan cara beristirahat. Selain Ayah dan Ibu, berada di dalam hutan malam-malam bisa membahayakan kami. Napas berat kami yang kadang disertai oleh suara samar burung hantu, jangkrik yang bersembunyi di dalam pohon, dan lolongan Cashew, sudah menemani kami sepanjang perjalanan di dalam hutan. Meskipun demikian, hewan-hewan buas bisa menerkam kami kapan saja di balik rimbunnya semak-semak.

"Tunggu, Alena," kata Lexy. Suaranya terdengar sangat berat untuk dikeluarkan. Adik kembarku mengatur napasnya beberapa detik sebelum akhirnya melanjutkan perkataannya. "Aku ingin beristirahat. Cashew sudah mulai kelaparan. Ini sudah melewati jam makan malamnya."

"Sial." Aku menggerutu. Meskipun kami sudah kehilangan arah dan tidak ada petunjuk sedikitpun soal waktu, Lexy masih saja peduli dengan anjing kecil manja itu. Seharusnya kutinggalkan saja di dalam bak mandi.

Lexy berusaha dengan mati-matian untuk menenangkan anjing kecil yang daritadi digendongnya. Ia lalu berlutut dan menurunkan Cashew ke atas tanah yang kering dan bebas dari lumpur. Kemudian ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan beberapa butiran kecil makanan anjing yang berbentuk bulat dan berwarna cokelat. Aku tidak sempat menanyakan kapan ia mempersiapkan ini semua saat Cashew dengan rakusnya sudah merebut makanan itu dari tangannya.

Sementara anjing kecil itu sibuk memakan camilannya, aku duduk bersandar pada salah satu pohon besar. Aku lalu meluruskan kedua kakiku yang sudah pegal. Banyak terdapat lebam dan luka goresan akibat batu yang masuk ke dalam sepatuku. Sol sepatuku sepertinya sudah rusak parah. Lubang sepatu yang terdapat pada bagian telapak kakiku sangat besar. Aku membuka kedua sepatuku, lalu mencoba mengatur napasku dan membuat tubuhku rileks.

Tak lama, Lexy duduk di sampingku sambil menggendong Cashew yang ternyata sudah tertidur dengan pulas. Bagus lah. Kalau ia sampai terbangun, gonggongannya akan mempersulit kami. Bisa jadi serigala atau Fae hitam akan menemukan kami.

Aku menatap adik kembarku. Rambut pirang yang sudah mencapai pinggangnya masih terlihat lurus dan halus meskipun keringat sudah membasahi dan merusak helaiannya. Wajah kecilnya yang kelelahan masih terlihat cantik. Bulu matanya yang lentik menyapu matanya setiap kali ia menutup matanya sebentar untuk beristirahat.

Cahaya remang bulan memantul dan memperlihatkan kedua telinga lancipnya yang tidak tertutupi oleh rambut. Aku merasa lebih tenang bisa memiliki sifat hereditas yang sama dengan Lexy. Bukti bahwa aku memang sedarah dengan makhluk cantik bak dewi ini. Ditambah dengan benda yang mulai menumbuh di belakang tubuh kami.

Kami terdiam untuk beberapa saat. Rasa kantuk dan perut yang mulai kelaparan membuatku tidak bisa berpikir jernih. Aku tidak yakin ingin mencoba menutup mataku barangkali sebentar. Aku pasti akan ketiduran dan bahaya bisa datang kapan saja.

Tanganku pegal dan aku ingin menyentuh sayap kecil yang mulai tumbuh di punggungku. Tiba-tiba rasa nyeri datang lagi dan membuat punggungku kram. Aku menggigit lidahku, meskipun perasaan tidak enak yang menjalari tubuhku tidak seberapa. Mungkin bisa dibilang rasanya sama seperti datang bulan untuk kaum manusia.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Tanya Lexy dengan suara lirih. Aku menatap lurus ke arah semak-semak, berusaha untuk menguatkan pikiranku. Aku adalah kakaknya. Aku harus bisa melindungi Lexy, bagaimanapun caranya.

Lexy membelai bulu-bulu halus yang tumbuh pada tubuh mungil Cashew. Aku tidak menyalahkannya. Akulah yang menarik dirinya hingga sampai ke titik ini. Aku yang mengusulkan untuk kabur dari rumah saat kami sedang bersembunyi untuk sesaat dari Ayah dan Ibu. Tanpa basa-basi, Lexy membawa serta Cashew yang sedang bermalas-malasan di atas karpet merah lalu melompati jendela kamar kami.

Disinilah kami sekarang. Terdampar di sebuah hutan luas dan gelap. Tanpa membawa makanan atau petunjuk yang mungkin bisa kami bawa. Seharusnya aku berpikir lebih logis. Kami tidak pernah sekalipun keluar dari area rumah kami. Sejak kami lahir 17 tahun yang lalu, Ayah dan Ibu selalu melarang kami untuk menginjak tanah subur atau merasakan angin dan hujan. Bahkan sinar matahari sekalipun.

Aku tidak pernah menyukai Ayah dan Ibu. Buku-buku yang kumiliki di dalam kamarku adalah jendelaku satu-satunya. Tempat di mana apapun bisa terjadi. Tempat aku bisa bebas menjelajahi dan berimajinasi: mendengar suara kicauan burung, merasakan dinginnya air hujan yang menetes, panas dan teriknya sinar matahari, dan lembutnya lumut yang tumbuh di atas bebatuan.

Aku ingin sekali bertemu dengan orang lain yang mungkin akan menjadi teman baikku selain Lexy dan Cashew yang senantiasa menemaniku saat emosiku meledak dan melewati batasnya. Aku selalu iri dengan tokoh-tokoh di dalam buku ceritaku. Aku juga ingin merasakan bagaimana rasanya dicintai oleh seorang pangeran yang akan menyelamatkanmu dari menara kegelapan. Haha. Tentu saja. Aku bukanlah putri dari sebuah kisah dongeng.

Jantungku masih berdegup kencang semenjak sepatuku menginjak sesuatu yang sangat asing dan berbeda saat kami sudah berlari ke luar rumah. Aku bisa merasakan rumput halus yang menggelitiki kakiku saat aku membuka sepatuku. Aku tersenyum bisa menyempatkan diri untuk merasakan ini.

"Kemana pun. Asal tidak kembali lagi ke rumah itu," jawabku. Lexy hanya mengangguk setuju, lalu bangkit berdiri. Jantungku hampir copot saat tubuh Cashew mulai bergerak. Untungnya anjing itu masih tertidur. Aku membuang napas lega.

Kami melanjutkan perjalanan kami, kali ini kami hanya berjalan dengan cepat. Kemanapun kaki ini membawaku, disanalah nasibku tertumpu. Entah apa yang akan kami temui; bahaya karena tertangkap oleh Fae hitam, atau diselamatkan oleh Fae lain yang berbaik hati.

Berkat pelajaran yang disampaikan oleh Miss Gray-guru privat kami yang tentu saja adalah manusia, kita seharusnya berlari saat bertemu dengan Fae hitam. Mereka adalah Fae yang ahli menggunakan pedangnya. Membunuh adalah salah satu bentuk olahraga rutin yang dilakukan oleh mereka. Siapa saja bisa dijadikan target; hewan, manusia, bahkan Fae, seperti kami. Harapanku saat ini adalah semoga Fae hitam menemukan orangtua kami terlebih dahulu sebelum kami, yang tentu saja saat ini sedang tersesat, sama seperti kami.

Semak-semak itu tiba-tiba bergoyang. Aku dan Lexy menghentikan langkah kami secara bersamaan. Aku memosisikan tubuhku di depan tubuh Lexy, berusaha melindunginya. Sambil memfokuskan pandangan ke arah semak-semak itu, aku bisa merasakan tubuhnya yang bergetar ketakutan. "Jangan takut," bisikku kepadanya. "Mungkin hanya hewan kecil seperti kelinci."

Semak-semak itu bergetar semakin kencang. Aku mendorong pelan Lexy yang berada di belakangku, sambil mengucapkan doa kepada Dewa Pengampun. Dari sorot mataku, aku bisa melihat gerakan lain-suatu bayangan hitam yang bergerak begitu cepat dari arah kanan.

"Lari." Kataku sesaat sebelum menarik tangan Lexy dan berlari ke arah kiri. Suara getaran semak-semak itu segera tergantikan dengan suara lain, suara raungan keras yang bisa menulikan telinga kami.

Suara rengekan kuda milik Fae hitam.

***

(Untuk visual Alena, Lexy, dan Callum bisa ditemukan di Wings & Fate eps 22. Langsung aja scroll paling bawah ya...)

Terpopuler

Comments

SalsaDCArmy

SalsaDCArmy

keren

2023-04-22

0

Saphiries

Saphiries

Semangat Lexyy ❣️❣️❣️ cerita awalnya baguus.

Salam dari Erys Novel Numb Cupid (Kalau berkenan boleh mampir)

2021-10-08

0

Moumy

Moumy

💞💞💞💞💞

2021-09-23

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 59 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!