Bertemu Fae Hitam

Suara pekikan elang yang terbang di atas kami dan desiran angin malam yang menghantam langsung wajahku membuyarkan konsentrasiku. Kedua kaki ini lagi-lagi merengek kesakitan. Aku tidak sempat menoleh sebentar ke belakang saat sebuah ranting kecil jatuh dari dahan pohon di atas kami, mengenai kepala kecil Cashew. Aku tidak habis berpikir bisa-bisanya anjing kecil itu tidak terbangun saat Lexy jelas-jelas memeluknya dengan erat. Sempat terlintas di pikiranku kalau ia mati dicekik secara tidak sengaja.

Cashew segera terbangun dan, merasakan aura kepanikan dan ketakutan yang memancar dari kami, ia melolong ketakutan. Tubuh kecilnya bergetar di dalam dekapan Lexy. Aku menoleh kembali ke depan, terus membawa dan memimpin jalan, jauh-jauh dari Fae hitam yang sedang mengejar kami.

Aku tahu kuda Fae itu berjarak sangat dekat dengan kami. Suara sepatu kuda itu seakan-akan menggema, menciptakan pola irama yang saking cepatnya bisa membuatku mual. Kami terus berlari mengelilingi pohon-pohon besar. Aku tidak akan terkecoh apabila ranting pohon mulai berjatuhan lagi dan menimpa salah satu dari kami.

Sebuah arus sungai terlihat di depan kami. Aku menelan ludahku. Jika Fae hitam ini tidak mengejar kami, aku pasti akan menyempatkan waktu untuk mengambil air dari arus itu sebanyak-banyaknya dan meminumnya. Kami sudah lelah berlari, dan tenggorokanku sudah kering. Aku yakin Lexy juga berpikiran hal yang sama sekarang.

Aku akhirnya bisa mendengar suara dari Fae hitam itu. Berat dan misterius. Mirip dengan suara Ayahku, namun terdengar lebih lantang dan menyeramkan. "Berhenti!" Teriaknya.

Tentu saja tidak. Aku tidak sempat melihat wujud rupa dari Fae hitam itu. Aku harus segera mencari tempat persembunyian. Kecepatan kuda tentu melebihi kecepatan kaki kami yang sudah lelah. Apalagi kuda ini milik seorang Fae hitam.

"Lompat!" Aku tidak sempat mengambil ancang-ancang. Masih sambil menarik lengan Lexy, aku melompati arus sungai itu. Untungnya, kakiku yang rasanya mulai patah ini mampu membawaku ke seberang sungai. Lexy hampir saja terpeleset. Untungnya aku masih menahan lengannya. Dengan sigap dan cepat, aku menariknya sekuat tenaga ke seberang arus. Kedalamannya tentu hanya sebatas mata kaki, namun bebatuan yang tajam mampu menusuk kaki telanjang kami. Aku menyesal sudah membuka sepatu kulitku tadi.

Lexy tiba-tiba berteriak. Ia melepaskan lengannya dari genggamanku. Aku lalu menoleh ke belakang dan bisa melihat tubuh mungil Cashew yang mulai terseret arus sungai. Anjing kecil itu tidak sanggup berenang. Keempat kakinya bergerak dengan cepat, berusaha untuk mengapung di atas air. Wajahnya sempat terlelap ke dalam air, lalu muncul kembali. Tangisan anjing itu membuat telingaku berdengung.

Aku buru-buru menghampiri Cashew yang sudah terseret arus sungai. Mengabaikan rasa sakit luar biasa yang kurasakan pada kedua tanganku, aku mengangkat tubuh kecil itu yang sudah basah oleh air. Darah segar menghiasi tubuh Cashew. Ia masih sadar diri, namun tubuhnya sudah tercabik-cabik oleh batu-batu kerikil kecil yang tajam. Aku tidak sempat mencabuti serpihan kerikil yang tertancap pada tubuhnya ketika suara pedang sudah membuyarkan fokusku.

"Tolong." Lexy terkapar di tanah. Fae hitam itu rupanya sudah berhasil menangkapnya. Pedang yang dikeluarkan dari sabuk pinggangnya kini hampir menggores leher Lexy. Aku berlari ke arahnya. Namun, usahaku hanya membuat pedang itu semakin dekat dengan lehernya.

Sambil mendekap erat tubuh Cashew, aku akhirnya berbicara dengan gugup. "To-tolong...jangan sakiti a-adikku." Tubuhku bergetar hebat. Entah karena ketakutan atau angin malam yang menusuk-nusuk tubuhku dan membuatku menggigil.

Aku tidak bisa melihat wajah Fae hitam itu dengan jelas. Ia mengenakan jubah hitam bertudung yang saking panjangnya sampai mengenai tanah yang dipijaknya. Tubuhnya terlihat gagah dan menyeramkan. Berada di antara pepohonan dan tanpa penerangan kecuali sinar lemah bulan, aku tidak bisa melakukan apa-apa kecuali berharap Fae itu memiliki belas kasih.

Aku bersumpah bisa merasakan seringai yang muncul di balik tudung itu. "Tidak. Kalian harus menjelaskan apa yang kalian lakukan di tengah Hutan Greensia pada malam hari." Suara berat itu membuatku bergidik.

Aku menelan ludahku. Aku bisa merasakan ketakutan yang terpancar dari raut wajah Lexy. Pedang itu ditekan semakin dalam di lehernya. Aku mengepalkan tanganku. "Akan kulakukan apa saja agar kamu bisa melepaskan Lexy."

Fae hitam itu tertawa dengan keras. Tiba-tiba tidak terdengar lagi suara burung hantu atau jangkrik di dalam pepohonan. Hutan sudah berubah menjadi lebih menyeramkan. Sunyi senyap. Yang terdengar hanyalah suara tawa Fae itu dan suara napas kudanya.

Lexy menggeleng pelan. Aku tahu maksudnya. Ia tidak mau aku mengorbankan diri demi menyelamatkannya. Ia mau aku berlari membawa Cashew, yang tentu saja tidak akan kulakukan.

"Bagaimana kalau kalian berdua ikut denganku?" Lanjutnya lagi. Aku dan Lexy hanya terdiam, saling bertukar pandang. Ini bisa saja kesempatan terakhir kami untuk hidup, meski jatuh ke tangan seorang Fae hitam sekalipun. Aku memikirkan segala hal yang mungkin akan terjadi jika kami menyerahkan diri kepadanya. Mungkin kami akan menjadi pelayan setianya dan bekerja secara paksa. Mungkin kami akan disiksa dan diberi makan bubuk gandum seperti para sapi. Atau mungkin ia akan mengorbankan kami untuk para serigala begitu kami sampai di tujuan. Perutku tiba-tiba terasa nyeri. Aku bisa melihat kerutan di wajah Lexy.

"Jadi, apa keputusanmu? Haruskah aku menggorok leher adikmu?" Fae hitam itu mulai menggores leher Lexy dengan bilah pedangnya. Ia berteriak kesakitan.

"Tidak! Jangan!" Aku berteriak. Fae itu langsung berhenti memainkan pedangnya. "Kami akan ikut denganmu!" Lanjutku lagi.

Fae itu memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarung, lalu mengikat kedua tangan Lexy ke belakang punggungnya. Kemudian ia menarik lengan baju Lexy secara paksa dan menyeretnya di tanah. Aku bisa saja kabur karena ia tidak memerhatikanku barang sedikitpun, namun kuusir jauh-jauh pikiran itu. Aku tidak akan pergi kabur tanpa Lexy. Akan kupikirkan caranya nanti.

Fae itu mengikat ujung tali yang mengekang tangan Lexy pada sabuk pelana kuda di sisi kiri, lalu membawakan tali baru untuk mengikatku juga. Tanpa melawan, kuuruti saja kehendaknya. Meskipun aku berada di samping kanan kuda yang membuatku menghalangi jangkauan untuk menyentuh dan menenangkan adikku, aku tetap berusaha kelihatan kuat. Fae itu merebut tubuh Cashew yang daritadi berada dalam genggamanku, lalu hendak melempar tubuhnya ke dalam semak-semak.

"Tidak!" Aku berteriak sebelum ia sempat melempar tubuh kecil tak berdaya itu. "Kamu tidak pernah bilang apa-apa soal anjing itu. Jangan ganggu dia," kataku geram. Aku tidak tega Cashew harus mati di pinggir semak. Dia terlalu berharga untuk Lexy.

Fae itu hanya terdiam, lalu menaiki pelana kuda. Sambil memangku tubuh Cashew, ia segera menarik kekang dan kuda pun berjalan lebih lambat dibanding saat ia mengejar kami. Aku harus cepat menyesuaikan kecepatan kakiku agar tidak terseret dan, moga-moga, tidak terinjak oleh kaki kuda.

Aku bisa mengintip dari bawah perut kuda bahwa kaki Lexy tidak sekuat kakiku. Ia berusaha untuk berdiri tegak dan menyamakan kecepatan kuda, namun rasa lelah dan ketakutan memperlambatnya. Aku bisa melihat tetesan darah yang muncul di atas tanah. Luka di lehernya belum diobati.

"Berhenti sebentar!" Teriakku kepada Fae yang sedang duduk di atas kuda. Suaraku pasti terbang tertiup oleh angin kencang, karena ia tidak menoleh sedikitpun ke arahku. Atau ia sengaja mengabaikanku.

Aku pun terpaksa menarik tali yang mengekangku, berharap kuda akan berhenti. Beberapa saat kemudian, harapanku terkabul. Karena kuda berhenti mendadak, Fae itu menoleh kepadaku. Tudung jubahnya terlepas, memperlihatkan wajahnya yang sangat tampan dan rambut putih keperakannya yang terkibar angin. Aku menelan ludahku. Telinga lancipnya terlihat lebih sempurna dibanding punyaku. Mata birunya yang sedang menyipit terpantul oleh cahaya bulan. Wajah ini benar-benar berbeda dari wajah tua ayahku yang sudah berkeriput dan berjanggut.

"Kau sudah hilang akal, ya?!" Tanyanya geram. Ia lalu menuruni kudanya dan menatapku lekat-lekat. "Dengar, gadis kecil. Jangan memaksaku untuk menggunakan pedang berhargaku."

Aku tidak menghiraukan ancamannya dan memanggil Lexy. "Lexy! Apa kau baik-baik saja?" Adikku tidak menjawab dan hanya menganggukkan wajahnya yang letih. Ia memaksakan sebuah senyuman. Wajahnya sudah sangat pucat, dan keringat sudah membasahinya. "Tolong ijinkan aku untuk merawatnya. Luka di lehernya belum diobati," kataku kepada Fae itu.

Anehnya, ia malah menuruti ucapanku dan melepas tali yang mengikat tanganku. Aku langsung buru-buru menghampiri Lexy, lalu merobek kain bajuku dan melilitnya di lehernya. Aku sudah terbiasa merawat Lexy dan melihat darah yang menetes dari luka-lukanya. Ia dulu sangat nakal dan sering terjatuh saat bermain denganku.

Sekarang ia sudah benar-benar berubah dan tumbuh menjadi lebih dewasa. Mungkin ini efek telinga lancip dan sayap barunya.

Aku menghela napas. Beberapa hari yang lalu, aku mulai merintih kesakitan karena merasakan sesuatu yang tumbuh di antara punggungku. Entah kenapa, aku merasa kegirangan saat melihat pantulan di kaca. Sayap bening yang halus. Tanda dan bukti bahwa aku bukanlah anak kandung dari kedua orangtuaku. Aku dan Lexy mempunyai warna rambut, mata, dan kulit yang berbeda dari mereka. Saat kulit mereka berwarna gelap dan mengendur karena semakin tua (dan mungkin efek terlalu banyak alkohol), kulit kami putih bersih dan tidak bernoda.

"Aku baik-baik saja, Alena," katanya lemas. Ia tersenyum lemah. Aku bisa melihat pantulan diriku dari kedua matanya. "Oh, jangan banyak bicara! Aku janji akan melindungimu," balasku dengan suara kecil dan pelan agar Fae yang sedang memerhatikanku itu tidak mendengarnya.

Saat sudah selesai, tanganku kembali diikat dengan tangan besar Fae itu yang kasar, lalu kuda kembali berjalan dengan cepat. Aku tidak tahu harus bersyukur atau tidak. Jika kecepatan kuda terus melaju seperti ini, waktu untuk sampai ke tujuan tentu akan lebih lambat. Tentu saja Fae ini tidak akan mengatakan kemana kita bergerak. Sedangkan, jika kuda mengambil kecepatan yang sama saat sedang mengejar kami, kakiku pasti sudah putus terseret.

Kami melewati pohon-pohon yang besar selama berjam-jam. Tubuhku terasa semakin lemah. Tenggorokanku sudah benar-benar kering. Bahkan air liurku terasa seperti sudah habis. Kami tidak diberi kesempatan untuk beristirahat. Sudah berkali-kali otakku memaksa untuk menutup mataku, dan aku pun berkali-kali hampir ingin menyerah dan membiarkan diriku terseret. Matahari sudah mulai kelihatan dari ufuk timur, menerangi jalan-jalan setapak yang dilalui oleh kami. Aku bisa melihat lebih jelas tanjakan dan batu-batu besar yang menghalangi jalan kami. Pohon-pohon besar sudah tergantikan oleh pohon kecil dan mempermudah jarak pandang mataku untuk melihat lebih jauh. Sepertinya kami sedang melaju ke luar hutan.

Aku tidak membiarkan diriku menyerah begitu saja. Aku mencoba mengingat-ngingat pelajaran Miss Gray ketika kami ditangkap oleh musuh dan tangan kami harus dikekang. "Jangan macam-macam dan tetap tenang. Fokuskan dirimu. Cobalah untuk melepas tali yang mengikat tanganmu, dengan cara apa saja. Jika musuh sedang teralihkan, lepaskan dirimu dan panjat pohon. Jangan berusaha lari masuk ke dalam hutan, karena untuk ukuran gadis kecil, sekalipun mereka adalah Fae, tidak bisa mengalahkan kecepatan kuda."

Aku sudah mencoba menggerogoti tali itu. Namun, saking tebalnya, gigiku rasanya mau keropos. Kedua pergelangan tanganku sudah merah dan rasanya aliran oksigen tidak sampai ke jari-jariku.

Mungkin cara lain yang akan kugunakan adalah berusaha bercakap-cakap dengannya. Aku juga penasaran apa motifnya sampai tidak membunuh kami duluan.

"Jadi, siapa namamu?" Tanyaku saat suasana sedang sepi. Dengan begini, dia tidak akan mempunyai alasan untuk menghiraukan pertanyaanku. Masih sambil menaiki kudanya, dia berpaling ke arahku, lalu aku terkejut karena dia benar-benar menjawab pertanyaanku. "Bukan urusanmu." Yah, mungkin ini lebih baik daripada tidak berbicara sama sekali.

"Kenapa kamu tidak langsung membunuh kami saja?" Bagus, pertanyaan bodoh. Siap-siap saja kepalamu terpisah dari tubuh habis ini.

Dia hanya menyeringai, lalu membalas. "Kamu pikir semua Fae hitam setega itu? Aku takkan pernah membantai sesamaku sendiri."

Aku terkejut mendengar ucapannya. Kukira semua Fae hitam sangat kejam. Ternyata Fae yang kutemui ini masih ada sisi baiknya. Berarti kami sangat beruntung.

"Lalu, kenapa kau membutuhkan kami hidup-hidup?" Tanyaku lagi. Kali ini senyumannya yang mengerikan menghilang. Tatapannya langsung berubah menjadi misterius. Ia tampak sedang berpikir caranya menjawab pertanyaanku, namun pada akhirnya dia berkata, "Akan kujelaskan nanti. Kita sudah hampir sampai."

Aku baru akan membuka mulutku, melemparkan beberapa pertanyaan lagi, ketika sebuah pemandangan baru yang luas membuat jantungku berdegup kencang. Aku pun sampai menoleh ke arah Lexy, memastikan bahwa adikku juga melihat hal yang sama sepertiku. Namun, mata Lexy malah tertutup dan dengan bodohnya aku baru tersadar bahwa ia membiarkan dirinya diseret oleh tubuh kuda.

Di depan kami terlihatlah sebuah desa kecil yang berwarna-warni. Merah, kuning, hijau, biru, ungu, bahkan sampai ada warna putih dan abu-abu. Jika dilihat dari kejauhan, atap-atap pondok itu tampak seperti hamparan bunga berwarna-warni. Diantara pondok-pondok kecil, selalu terdapat lapangan kecil yang kadang ditumbuhi oleh rumput atau bunga-bunga kecil yang kelihatan seperti kapas. Bahkan sampai tumbuh pohon yang mempunyai buah seperti... berlian?

Tanpa disadari senyum menghiasi wajahku. Tempat ini jauh lebih indah dibanding lukisan hitam putih yang terdapat pada buku pelajaranku. Desa Faeries, tempat tinggal kaumku. Tempat tinggalku yang seharusnya.

Terpopuler

Comments

Saphiries

Saphiries

Desanya pasti bagus banget deh, pengen kesana... 🤤

Salam dari Erys Novel Numb Cupid (Kalau berkenan boleh mampir)

2021-10-08

0

Dessy Ghaisani

Dessy Ghaisani

fae itu apa sih maksudnya,,,peri kah????

2021-10-04

0

zsarul_

zsarul_

hai thorr aku mampir nihh 🤗
semangatt
yuk baca juga cerita aku yang judulnya CONVERGE!!
dijamin baper deh bacanyaa ❤️
mari saling support 😍
thanks

2020-12-29

2

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 59 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!