Aku ingat setiap kali aku bermain petak umpet dengan Lexy. Biasanya aku suka bersembunyi di dalam lemari atau di bawah kolong ranjang. Lexy adalah gadis yang pandai. Ia tahu dimana aku akan bersembunyi. Yang tidak adil adalah, ia kreatif mencari tempat sembunyi sehingga aku kelelahan mencarinya. Aku selalu membenci permainan ini. Menurutku, petak umpet tidak ada gunanya dan membuang-buang waktuku saja.
Tak pernah terbayangkan olehku untuk bersyukur atas permainan itu hari ini. Dengan bakat alami yang dimilikinya, semoga Lexy bisa bersembunyi dari para Fae yang sekarang sedang menangkapku.
Aku merintih kesakitan saat seseorang menarik tanganku dari belakang. Tulang tanganku dicengkeram dengan keras, sampai-sampai kupikir sudah mau patah. Aku hanya melihat dengan sekilas wajah Lexy yang ketakutan sesaat sebelum tubuhku tertarik. Lexy sudah aman. Ia bisa kabur dan bersembunyi, pikirku. Saking kasarnya tubuhku ditarik, kakiku sampai menginjak kaca jendela yang sudah pecah. Aku berteriak kesakitan. Tubuhku terhempas ke belakang.
"Mau kemana kamu?!" Terdengar suara berat yang familiar, suara milik Ledion. Ternyata Ripper itu berhasil menangkapku. Aku tidak sempat menoleh untuk memandangnya. Aku sibuk menyentuh telapak kakiku yang terluka.
Dugaanku benar. Gadis-gadis Fae yang kira-kira seusiaku sudah mengerumuni Lilies, berusaha menenangkannya. Mereka pasti pelayannya. Mereka memakai kain jubah halus berwarna putih kemerahan. Sayap pink mereka sengaja ditampilkan, mungkin sebagai penanda bahwa mereka milik Lilies. Rambut panjang mereka digerai, dan terdapat sekuntum bunga yang menyempil di telinga lancip mereka. Mereka terlihat sangat cantik untuk dijadikan pelayan.
"Harusnya kubiarkan saja tali itu masih mengekang tangan kalian!" Lanjut Ledion dengan geram. Ia ingin mengangkat tubuhku yang masih terkapar di lantai saat ia menyadari darah yang mengucur di kakiku. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi, namun tetap mengikat kedua tanganku ke belakang. Aku menggigit lidahku.
Salah satu pelayan Lilies tak lama menghampiriku dan menopang tubuhku. Aku merasa tak berdaya, namun hatiku menjadi lega dan lebih tenang karena akhirnya Lexy berhasil meloloskan diri. Sekarang aku hanya perlu mencari cara untuk membebaskan diri dari para Fae ini.
***
"Alena!" Lexy berteriak saat ia sudah berada di atas tanah, lebih tepatnya di taman belakang pondok ini. Ia baru saja menggunakan lengan kirinya untuk memecahkan jendela, namun suara teriakan Alena yang nyaring membuatnya panik. Seseorang sudah menangkapnya dan menariknya ke dalam. Ia mencoba memanjat dinding rumah, namun berkat tanaman hijau yang tumbuh merambat di sekitar dinding, kakinya terasa licin dan akhirnya ia tersungkur kembali ke tanah.
Ia meremas tangannya, lalu meninju dinding pondok yang keras. Sakitnya tak sebanding dengan amarah yang mulai memuncak pada dirinya. Lilies dan entah siapapun yang menangkap saudarinya pasti ingin mencuri sayap mereka, sama seperti kedua orangtua mereka. Dan Fae hitam sial yang bernama Ledion itu sudah membawa serta Cashew bersamanya.
Lexy menoleh ke jalan raya yang sampai sekarang masih terlihat ramai. Ia harus segera memikirkan cara mengeluarkan Alena dari dalam rumah. Ia tak bisa kembali ke atas sana dengan tangan kosong. Ia hanya akan ditangkap dan pada akhirnya tidak bisa mengeluarkan mereka berdua dengan selamat.
Lexy memetik salah satu batang tanaman yang menjalar, lalu menggunakannya untuk mengikat rambut panjangnya. Ia lalu menyimpan beberapa sulur tanaman ke dalam kantung celananya, dan meraih tanah lembap yang sedang diinjaknya. Ia menatap tanah yang terasa lengket di jarinya itu, lalu terpaksa mengotori wajahnya yang putih bersih. Mungkin ia harus meminta maaf pada Lilies karena sudah mencemari hasil kerja kerasnya. Tidak. Wanita itu penyebab Alena ditangkap.
Sekarang ia sudah menyamarkan diri menjadi seorang gadis compang camping yang membutuhkan makanan. Untung saja tulang pipinya serta tubuhnya sedang dalam kondisi kritis karena aksi pelariannya waktu itu. Ini tentu akan lebih menguntungkan baginya.
Lexy berjalan dan menyamarkan diri di antara para Fae yang bersesakan. Sambil menundukkan wajahnya, ia mencoba mengingat-ngingat jalan yang dilaluinya tadi dari Hutan Greensia.
Setelah menghabiskan waktu selama beberapa menit, akhirnya ia sampai lagi pada gerbang masuk Amalthea Halley. Baru saja ia membuang napas lega, tangannya tiba-tiba ditarik oleh seseorang. Sontak, Lexy menoleh ke belakang. "Permisi!" Seorang wanita berambut coklat ikal dengan sayap abu-abu menghentikannya. "Kalau boleh tahu, darimana asalmu?"
Jantungnya kembali berdegup sangat cepat. Ia menelan ludahnya, berusaha untuk berpikir. Kira-kira apa yang menarik perhatian seorang Fae Ventus? Padahal ia sudah merubah penampilan dirinya agar tidak menarik perhatian. Ia melirik sekelilingnya. Ternyata ia salah. Ia justru menarik semakin banyak perhatian. Saat orang-orang yakin ia tidak sedang melihat, mereka malah mencuri pandangan ke arahnya.
Lexy menggertakkan giginya. Seharusnya ia tidak membuat dirinya kotor. Tidak ada Fae yang berpenampilan miskin dan kumal seperti dirinya. Apalagi sebagian besar dari mereka sengaja memperlihatkan sayap mereka. Lexy tidak bisa melakukan hal itu.
"Aku.. emm," Lexy mencoba menjawab pertanyaan wanita itu. Haruskah aku mengatakan hal yang sebenarnya? Apakah ia akan mencurigaiku karena aku terlihat miskin?
Tak disangka-sangka, wanita itu malah tersenyum. "Kalau kau merasa lapar, silahkan ikut aku. Aku mempunyai toko yang khusus menjual madu murni premium yang diambil langsung dari sarang Ratu peri lebah. Dijamin enak rasanya." Wanita itu lalu menariknya ke arah sebuah toko yang mempunyai papan bercat kuning.
Wanita itu menggerakkan tangan kanannya dengan gemulai. Seketika angin meniupkan wajahnya. Ikat rambutnya hampir terlepas. Untung Lexy segera menahannya.
Berkat angin yang diciptakan oleh wanita itu, ia bisa mencium bau-bau aroma madu yang manis. Ia langsung merasa kesal pada tubuhnya sendiri karena tiba-tiba perutnya berbunyi keroncongan.
Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Miss Mella. Ia menyodorkannya sebuah pundi berisi madu berwarna kuning keemasan yang kelihatan menggiurkan. Lexy menerimanya dan meminumnya dengan pelan, agar tidak disangka sedang tidak bersyukur.
"Tidak perlu dibayar dengan Chrysos. Madu ini boleh dimakan secara gratis oleh gadis cantik sepertimu," katanya lembut. Lexy mengingat hal yang pernah disampaikan oleh Miss Gray. Chrysos adalah mata uang yang digunakan para Fae, semacam emas yang sudah dicelupkan dengan serbuk sari bunga. Tujuannya agar dapat membedakan emas Manusia dengan emas Faeries.
"Tetap saja. Aku ingin melakukan sesuatu sebagai gantinya," balas Lexy. "Mungkin, aku bisa membantumu mencari madu dari sarang Ratu peri lebah?" Tawarnya agar bisa segera pergi dari sini. Wanita ini tentu tidak akan mengingatku.
"Wah, ide bagus! Kau bisa bekerja menjadi pelayanku mulai dari sekarang!" Mella lalu masuk ke dalam tokonya, dan kembali beberapa saat dengan sebuah peta dan sebuah kain yang mungkin diisi oleh beberapa keping Chrysos. "Ikuti jalan ini agar kau tidak tersesat ketika harus mengambil jalan melalui Hutan Greensia. Sarang Ratu peri lebah terletak sangat dekat dengan istana Amarilis. Perlu waktu berhari-hari untuk mencapainya." Mella menunjuk jarinya ke atas gambar peta sebagai panduan. "Biasanya orang-orang harus mengambil madu secara diam-diam. Namun, karena sang Ratu sudah mengenal dengan baik diriku yang mulia ini," tawanya terkekeh, "kau hanya perlu menunjukkan batang namaku."
Mella membuka kantung kain yang berada di tangannya, lalu mengeluarkan sebuah batang kayu yang terdapat ukiran nama Mella Ealark di atasnya. "Dan ini beberapa keping Chrysos yang harus kau gunakan untuk menyewa kamar di tempat penginapan dan makanan."
Lexy memandang mata Mella. Wanita ini mudah sekali memercayai dirinya untuk sebuah misi yang awalnya ingin ia abaikan. Ia lalu menggelengkan kepalanya sedikit. "Kenapa kau langsung memercayaiku?" Ucapnya lirih. Mella membalas dengan santai. "Karena kau kelihatan seperti orang baik."
Lexy lalu pamit dan hendak meninggalkan toko tersebut. Ia dapat merasakan angin lembut yang meniup telinganya, lalu mendengar suara Mella yang berbisik, "semoga sukses."
***
Seorang Fae Healer yang mempunyai sayap putih baru saja menyembuhkan luka di kakiku. Ikatan di tanganku sudah terlepas, namun aku ditempatkan di sebuah ruangan tanpa jendela dan pintu pasti sudah dikunci.
Ruangan ini lebih mirip seperti penjara. Terdapat sebuah ranjang kecil yang hanya bisa ditiduri oleh satu orang. Ada bilik toilet yang terletak di seberang kasurku, dan sebuah meja yang mungkin bisa digunakan untuk menaruh makanan. Lemari di samping tempat tidurku berbau kayu, dan aku tidak berani memikirkan kutu atau serangga lain yang sudah menggerogoti kayu-kayu itu.
Aku menatap langit-langit ruangan ini sambil berbaring di atas kasur. Sekarang nasibku memang sudah buruk. Namun, setidaknya Lexy sudah berada di suatu tempat yang jauh dari Lilies dan orang-orangnya. Aku terus mengulangi kalimat itu dalam otakku, mengingatkan diri bahwa Dewa Pengampun masih memberikan secercah harapan pada diriku.
Aku mendengar suara langkah kaki seseorang, tak lama pintu dibuka dan masuklah Ledion. Saat aku digotong masuk ke ruangan ini, aku melampiaskan amarahku padanya. Tak peduli sedikitpun bahwa Ripper itu sebenarnya bisa mencabut nyawaku kapan saja, aku mencakar wajahnya yang tampan dan sekarang luka yang berbekas sudah terpampang di sana.
Biarkan saja seperti itu. Anggap saja sebagai penanda bahwa kau pantas dicakari wajahnya.
Fae itu menutup pintu, lalu berjalan ke arahku. "Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa luka-luka itu sudah mendingan?" Tanyanya sambil melirik telapak kakiku yang telanjang.
Aku menyunggingkan senyuman mengejek. "Menurutmu? Siapa yang senang jika harus dipenjara seperti ini?" Aku menggerakkan lenganku, berusaha untuk mendramatiskan keadaan. "Dasar Fae gila," gumamku. Ledion hanya menaikkan sebelah alisnya, sebagai penanda bahwa ia tidak mendengar ucapanku sebelumnya.
"Kau pantas diperlakukan seperti ini karena sudah mengancam Miss Lilies dengan sebuah pisau cukur." Ia lalu duduk di atas lantai yang dingin.
"Ha! Wanitamu itu sudah berusaha untuk mencuri sayapku! Dan lagipula, adikku lah yang mengancamnya, bukan aku," jawabku dengan nada jengkel. "Aku tahu wajah kami sangat mirip dan susah dibedakan."
"Bukan itu masalah utamanya. Miss Lilies tidak pernah bermaksud untuk mencuri sayap beningmu," balasnya. Aku menatapnya tidak percaya. Ternyata ia sudah mengetahui kondisi sayapku yang tidak berwarna.
Semua Fae pasti mempunyai warna pada sayapnya setelah mereka berhasil menguasai sihir di bidang ilmu yang paling digemari. Bukan warna pink atau biru muda seperti bocah yang kulihat di jalanan sebelumnya. Bukan juga hitam dan abu-abu. Sayapku tidak berwarna, yang artinya aku belum mengetahui bakat atau bidang yang paling kugemari. Usia yang normal bagi sayap Fae untuk mulai menunjukkan warna adalah 6 tahun. Aku dan Lexy sudah melewati batas normal pertumbuhan. Sayap kami bahkan baru tumbuh kemarin, sesaat sebelum semuanya terjadi.
"Lalu, mengapa reaksinya harus seperti itu? Untuk mengejekku?" Balasku lagi.
"Lebih tepatnya, terkejut karena Fae muda sepertimu seharusnya sudah memiliki warna tersendiri pada sayapnya," jawabnya. Ia lalu bangkit berdiri. "Berjanjilah untuk menjaga sikapmu dan jangan macam-macam dengan para Fae di sini jika kamu ingin keluar dari ruangan ini," katanya seraya berjalan ke arah pintu.
Aku menatap punggungnya. Sayap hitam lebar halus tertancap disana. Pundak yang lebar dan tubuh yang kekar. Aku ingin tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk berlatih dan menjadi kuat sepertinya. "Kenapa kalian gak berniat untuk mencuri sayapku?"
Masih membelakangiku, ia membalas, "sesama Fae dilarang untuk menjual organ tubuh sesamanya." Ia lalu melangkah ke luar ruangan.
Aku kembali berbaring di atas kasur, menutup kedua kelopak mataku yang sudah terasa sangat berat. Sebenarnya sudah lama sekali sejak aku berbaring di atas kasur empuk tanpa memasang telinga untuk selalu waspada. Bayangan Ayah dan Ibuku yang mengejar-ngejar kami selalu menghantui mimpiku. Terkadang aku bermimpi sudah berada di Pulau Surga bersama Lexy ketika lagi-lagi Ayah dan Ibuku muncul di hadapanku. Rasanya seperti kehadiran mereka bisa di mana saja. Aku merinding mengingatnya.
Mengapa mereka terlihat sangat obsesif saat memandangi sayap kami? Apakah karena semata-mata ingin menjualnya, atau karena warna transparannya yang aneh dan jarang ditemui?
Aku membalikkan tubuhku dan menghadap ke arah dinding. Aku teringat lagi dengan Miss Gray. Guru privat kami yang mungkin lebih cocok dipanggil dengan sebutan 'Ibu'. Saat telinga kami mulai berubah menjadi lancip, kami langsung mengetahui bahwa kami adalah Fae, bangsa peri yang sudah tinggal di benua ini lebih lama dibanding para manusia. Aku tahu Ibu dan Ayah sudah berkali-kali bertemu Miss Gray secara diam-diam dan membicarakan hal yang sama; "Jangan pernah ajari mereka pengetahuan tentang dunia Fae."
Orangtua kami ternyata sudah mengetahui fakta bahwa kami adalah Fae, bahkan sebelum usia kami mencapai 6 tahun. Miss Gray untungnya senantiasa mengajari kami semampunya, saat Ayah sedang tidak memerhatikan kami, atau saat Ibu sedang tidak waras otaknya. Awalnya ia sempat ragu-ragu. Aku menenangkannya dan mengatakan bahwa aku dan Lexy bisa menjaga rahasia kami.
Dan berkat wawasan itulah, kami bisa bertahan hidup sampai sekarang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Hotmin MS
wah aku baru nemuin ini ,bgs....
2020-12-19
1
Om Rudi
dipenjara
Yuk bantu Om dukung Pendekar Sanggana
2020-11-29
0
Tiara Holika
keren sekali Thor,
2020-11-18
1