Re:START/If {Book 2.0}
Wahai burung-burung kecil di sarang ….
Oh, wahai burung-burung kecil dengan suara indah nan merdu di atas cabang.
Kumohon maafkanlah diriku, jangan salahkan diriku yang penuh dosa ini.
Tolong ampunilah dosa pendahulu kalian yang penuh murka, yang telah menanam pohon hitam untuk rumah kalian.
Tidak apa-apa.
Jangan cemas, tidak apa-apa ….
Tidak ada yang salah dari kalian semua, ini dosa sekaligus doa yang leluhur kalian ikrarkan.
Ku mohon harapan ini tersampaikan kepada anak cucu kami, diriku harap perasaan ini dapat dipahami mereka. Namun ….
Kumohon kepada engkau, Dewi yang kami bangsa Felixia puja ….
Jangan sampai semua keturunan kami tahu ….
Jeritan kebencian dan kemurkaan dari masa lalu.
Biarkan genangan darah kental ini memudar bersama hujan air mata.
Kami mohon anak cucu kami, tunggulah dalam kesengsaraan itu. Leluhur kalian telah dijanjikan kemenangan dan kemuliaan, di bawah kepemimpinan yang pantas kelak di masa depan.
.
.
.
.
Jauh di masa lalu, ketika daratan Michigan belum dikuasai oleh keempat negeri besar dan masih dalam sebuah masa dimana peperangan datang silih berganti bagaikan musim. Pada masa itu, kerajaan yang jumlahnya tak cukup dihitung dengan jari mendeklarasikan kekuatan mereka dan memuai peperangan panjang.
Meski berasal dari sudut daratan yang sama, paham Rasialis malah tubuh begitu kuat dan saling membeda-bedakan individu berdasarkan keturunan mereka. Sejarah masa lalu yang berdarah mereka anggap membanggakan, pembantaian yang leluhur mereka lakukan dijadikan tanda kekuatan dan penaklukan menjadi hal yang mulia.
Menyatukan Daratan, setiap kerajaan yang ada pasti memiliki cita-cita tersebut. Sejak dulu telah diramalkan, kelak daratan akan bersatu di bawah satu kekuasaan dan dipimpin oleh keturunan yang mulia paling anggung dan dipandang oleh para Dewa. Seakan berlomba-lomba menjadi pemenang dan mendapat kursi tersebut, semua Raja dan keturunan mulai menumpuk mayat-mayat sampai menggunung di medan peperangan.
Seorang Raja yang telah kehilangan ribuan pasukannya tidak memikirkan rakyat, ia hanya membuka telapak tangan dan melihatnya hanya sebagai sengatan lebah. Asalkan dirinya sebagai pemimpin masih hidup, perang bisa dimulai lagi dan kejayaan bisa didapat kembali.
Layaknya sebuah kalimat yang pernah dikatakan oleh orang bijak ke anak-anak mereka ….
“Jika kali ini gagal, maka kalian bisa mencobanya lain kali. Kau masihlah terlalu kecil untuk memikirkan kesalahan.”
Bagaikan tanpa memikirkan konsekuensi, para Raja yang masih berusia muda pada masa itu mengobarkan perang dengan ambisi mereka yang membara. Menaklukan wilayah kerajaan lain dan menyatukan daratan, meraih kehormatan dan mendapat kejayaan. Apapun yang menjadi tujuan mereka, hanya perang dan penundukan merupakan cara yang para pemimpin pada masa itu ketahui.
Pengkhianatan adalah hal wajar, bahkan sesama saudara pun saling menusuk dari belakang demi warisan yang ditinggalkan orang tua mereka. Hak asasi benar-benar dihiraukan, perbudakan merupakan hal yang wajar dan yang kuat dengan bebas menindas yang lemah.
“Sejak ribuan tahun yang lalu pun itu telah berlangsung, karena itulah kami juga melakukannya!”
Seakan tidak mau memperbaiki kesalahan ataupun belajar dari dosa-dosa leluhur mereka, mayoritas Raja Kota pada masa itu terus mengobarkan perang dengan jargon rasis mereka masing-masing. Tanpa paham bahwa mereka sebenarnya berasal dari keturunan yang sama.
Seperti itulah kondisi masa itu, mengenaskan dan menyedihkan. Jahiliah, penuh kebodohan karena mereka tidak mau belajar tentang kenyataan yang ada dan hanya menerima pengetahuan yang mereka inginkan saja.
Tidak ada yang lebih mengerikan dari pengetahuan yang salah, itu bisa menyeret orang lain ke dalam jurang dan membuat orang yang memegang pengetahuan salah tersebut rusak. Membungkam mereka yang sesungguhnya benar dan terus menggila layaknya dirinya adalah orang paling benar di dunia.
Orang-orang seperti itu dengan semena-mena menggunakan kekuatan dan pengetahuan yang seharusnya mulia, seakan itu milik mereka sejak lahir. Begitu angkuh dan serakah, layaknya primata primitif yang baru saja mengenal api dan kapak batu.
Sekitar lima ratus tahun lalu sebelum masa penuh peperangan itu berakhir dan Konferensi Keempat Negeri diadakan, sekitar awal Abad Ke-22 Kalender Pendulum. Sistem penanggalan yang diberlakukan, bahasa, sistem keuangan yang digunakan setiap kerajaan dan bahkan bentuk kerajaan satu sama lain pun mirip. Meski begitu, titik temu untuk perdamaian sampai 20 Abad lebih sama sekali tidak terlihat.
Sejak memasuki Abad Ke-22 tersebut, sebuah pergerakan dari orang-orang bijak dimulai secara signifikan. Dipelopori oleh Negara Kota, Miquator, yang mendeklarasikan bahwa akan menjadi wilayah netral tanpa ikut campur secara aktif dalam peperangan, banyak Raja Kota yang mulai mengikuti.
Orang-orang bijak dan bajik bermunculan, para pertapa keluar dari gua-gua mereka dan menyebarkan hasil pencerahan mereka selama puluhan tahun. Kebaikan, pelarian, sifat pengecut dan kesabaran, mereka menyebarkan sifat tersebut dan mengajak orang-orang berhenti berperang hanya demi kebanggaan mereka.
Saat itulah titik balik kebangkitan orang-orang beradab dimulai. Moral kembali diterapkan dan kebajikan mulai disebar luaskan. Lalu, beberapa belas tahun kemudian kota-kota mulai berhenti berperang dan berubah menjadi tempat perdagangan.
Pada Abad tersebut pun menjadi titik dimana Dewa-Dewi mulai kembali mendengarkan doa manusia, melirik dari celah-celah dunia dan kayangan untuk sekali lagi menaruh harapan kepada para Pemimpin di Dunia para Mortal.
Sebuah Abad ketika putri seorang Walikota bertemu dengan sang Enimalis, sosok yang dikenal oleh beberapa orang sebagai The Witch of Orgin.
Sebuah pertemuan yang telah ditakdirkan untuk menyambut masa depan cerah, momen pemberian Kutukan sekaligus Berkah untuk perempuan yang sampai keturunannya pun tidak diperbolehkan untuk mendapat kebebasan ataupun kebahagiaan.
Beberapa tahun sebelum manusia kembali dilihat oleh Dewa-Dewi, daratan tenggara Michigan masihlah belum dikuasai oleh Kerajaan Felixia. Bahkan nama Keluarga tersebut jarang dikenal karena nama Kota yang mereka kelola lebih tenar, terutama di kalangan orang puritan.
Untuk dikatakan sebagai sebuah kerajaan, saat itu Keluarga Felixia masihlah terlalu kecil dan hanya memiliki satu kota yang luasnya hanya beberapa kilometer saja. Terletak di antara bagian tenggara dan timur laut Benua Michigan, berbatasan dengan laut dan memiliki danau yang digunakan sebagai nama Kota tersebut.
Sejak dahulu kala, wilayah yang dikelola oleh Keluarga Felixia tersebut merupakan Negara Kota Independen yang dikhususkan sebagai pusat peribadatan dari salah satu Dewi yang pernah memberikan pengetahuan kepada penduduk Michigan.
Dalam perjanjian yang telah disepakati oleh beberapa generasi para Raja Kota pendahulu, tempat tersebut tidak boleh dikuasai dan harus dipertahankan operasionalnya sebagai pusat peribadatan orang-orang puritan di tenggara daratan.
Sumber pendapatan kota selain dari para jamaah adalah pertanian, lalu ada juga tambak-tambak dan perdagangan.
Kota tempat tinggal para puritan, itulah bagaimana orang-orang pada waktu itu menyebut Kota Millia. Sebuah tempat yang diolah oleh Gereja Keluarga Felixia, dinamai Millia, berdasarkan nama Danau Suci di tempat tersebut.
Dalam waktu lama, Kota yang merupakan pusat dari sebuah kepercayaan itu juga menjadi tempat pengungsian bagi mereka yang ingin kabur dari peperangan. Untuk mereka para wanita dan anak-anak lari dari kekejaman, pilihan tempat mencari keselamatan setelah Kota Miquator.
Secara letak Kota Millia memang berada di perbatasan antara banyak negeri kuat, salah satunya adalah Kota Miquator dan Kekaisaran. Namun untuk banyak alasan, penduduk asli Kota tersebut serta pemimpinnya selalu menghindari konflik.
Bukan hanya karena adat yang telah ada sejak dahulu, namun memang karena sifat dari orang-orang dibawah pimpinan Felixia adalah orang-orang lemah dan pengecut.
Meski ada ribuan pasukan melewati teritorial Kota tersebut, Raja Kota yang berasal dari Keluarga Felixia tidak akan menghalau atau memberikan bantuan. Membiarkan dan bertingkah netral, lalu hanya membuka pintu gerbang jika ada orang-orang yang lelah dengan peperangan dan ingin bertobat. Seperti itulah wujud dari Kota yang berfungsi sebagai pusat Religius, inti dari kepercayaan Dewi Asmali Oraș Mondial.
Selain menjadi pusat kepercayaan, sejak saat itu pun Kota yang dipimpin oleh Keluarga Felixia tersebut telah menjadi titik berkumpulnya para Roh dari Dunia Astral. Entah dari Roh Tingkat Rendah sampai Kudus, secara rutin melalui siklus tahunan atau bahkan ratusan tahun para Roh akan datang dan menyuburkan tanah serta sumber daya lainnya di kota.
Karena itulah, meski tanpa bantuan dari negara lain dan sumbar daya dieksploitasi secara terus menerus oleh penduduknya, Kota Millia tidak pernah mengalami kekurangan.
Panen mereka selalu berhasil karena iklim stabil dan tanah yang subur, hasil tambak selalu melimpah, serta sumbangan dari para jamaah, itulah sumber-sumber pendapatan mereka.
Tetapi layaknya sebuah pepatah yang sering orang-orang dengar, bahwa di dunia ini tidak ada yang namanya kekal, kedamaian yang orang-orang di Kota Millia nikmati pun berakhir ketika para Raja yang masih muda mengingkari perjanjian serta ikrar leluhur.
Pergantian Raja Kota di negeri tetangga yang terjadi secara berkala dalam waktu beberapa tahun saja membuat Kota Religius tersebut tidak dipedulikan lagi keistimewaannya. Lalu pada akhirnya, Millia pun ikut terlibas dalam sebuah klimaks peperangan antara dua negeri besar yang telah menguasai banyak Kota, Kerajaan Garados dan Kerajaan Jakall.
Layaknya orang-orang gila, para prajurit di bawah kepemimpinan Raja Garados dan Raja Jakall menjadikan tempat suci tersebut sebagai medan perang. Hanya karena berada di perbatasan antara kedua kubu, Raja yang masih sangat muda dari kedua belah pihak sama sekali tidak mendengarkan nasihat Tetua mereka dan membakar kota.
Entah itu sebuah bisikan dari Iblis seperti yang disebut-sebut dalam sejarah atau tidak, yang jelas sebuah pembantaian tercatat terjadi di Kota tersebut. Orang puritan, anak kecil, perempuan, bahkan para buruh serta penjaga, semuanya terlibat dalam peperangan yang tidak seorang pun dari kota tersebut tahu untuk apa itu dilakukan.
Raja Kota ⸻ Kepala Keluarga Felixia pada saat itu pun terbunuh, keturunannya dibantai dan dicari-cari sampai ke pelosok kota oleh kedua kubu. Mengatasnamakan keadilan dan tujuan mulia untuk menyatukan daratan, orang-orang biadab yang masuk ke Kota Suci tersebut dengan beringas membunuh penduduk sipil dan saling mengayunkan pedang untuk menumpahkan darah orang puritan serta yatim piatu.
Pada hari dimana api membakar kota dan orang-orang puritan di sana, sebuah Ikrar Suci dari seorang perempuan terucap. Sumpah untuk menyerahkan hidupnya sendiri serta keturunannya kepada Leluhur mereka, lalu dengan seluruh jiwa dan raganya ia berdoa.
Doa pertama yang didengarkan oleh Dewa-Dewi kayangan setelah sekian lama tidaklah murni sebuah harapan, di dalamnya tercampur kutukan dan amarah dari sosok perempuan yang dikenal sebagai Ratu Pertama tersebut.
Di tengah kobaran api yang membakar teman-teman dan dikelilingi genangan darah keluarganya, ia menghadap ke arah langit yang pada saat itu balik melihat ke arahnya.
“Jika memang dunia sekejam ini kepada kami, maka berikanlah semua kekejaman itu kepadaku saja! Aku akan menanggung semua itu! Kebencian! Dendam! Penderitaan! Aku dan keturunan ku akan merangkul semuanya! Karena itu, aku mohon dengan jiwa dan raga ini! Dewi kami! Asmali Oraș! Berikan kekuatanmu padaku untuk melindungi orang-orang di kota dan membunuh mereka semua!!”
Pada hari itulah, sebuah perjanjian terucap antara Dewi Kota dan salah satu keturunannya.
Dua berkah pun turun ke dunia setelah sekian lama. Berkah pertama adalah wewenang yang didapat perempuan untuk menjadi Ratu dari semua penghuni Dunia Astral, lalu yang Kedua adalah berkah sekaligus kutukan yang diberikan kepadanya untuk bisa menurunkan wewenang tersebut kepada keturunan perempuannya.
Pada hari dimana sang Ratu pertama kalinya menerima berkah tersebut, ribuan Roh dari Dunia Astral seketika datang dari gerbang di penjuru daratan dan menghakimi orang-orang yang menyerang Kota.
Seakan-akan mereka semua terhubung, para Roh tersebut memiliki amarah dan kesedihan sang ratu. Paham apa yang dihendaki oleh Ratu Pertama meski tanpa saling bercakap satu kata pun.
Penutup dari kekacauan tersebut adalah turunnya sang Roh Agung Baja, Nova El Luna, yang jatuh ke tangan seorang pemuda asing dari tempat yang jauh.
Dialah orang pertama yang dikenal sebagai Luke, orang dari Luciana (terang) karena orang-orang pada saat itu melihatnya diselimuti cahaya dari Pedang Roh Nova El Luna. Sosok Pahlawan yang pertama kali dikenal oleh masyarakat Felixia dan menjadi sekutu terkuat sang Ratu Pertama pada masa tersebut.
Terikat dengan Roh Agung dan Ratu Pertama, pemuda dengan nama tunggal Luke tersebut memimpin Felixia untuk bangkit dan mengubah sifat-sifat pengecut penduduknya.
Sebuah tempat yang dulunya acuh terhadap kekacauan dalam satu tahun berubah drastis, menjelma menjadi Kota Militer dari para Penyihir dan Ksatria Roh.
Loyalitas dari rasa kesatuan sebagai korban benar-benar kuat, berkah dari sang Dewi memalui Ratu Pertama pun membangun koneksi kuat antar individu satu dengan yang lain. Dengan mengorbankan kebebasan satu perempuan yang menjadi Ratu mereka, orang-orang Felixia mendapat kekuatan yang besar dan mulai menyerang semua negeri di sekitarnya untuk menghentikan peperangan.
Jika seseorang ksatria ataupun prajurit berjuang untuk sang Ratu, secara otomatis mereka akan bisa menggunakan kekuatan dari para Roh jika berada di dekat Kota. Entah itu di dalam kota siapa pun, itu tidak ada pengecualian selama mereka secara nyata berjuang untuk Felixia. Karena itulah, pasukan Felixia yang dipimpin oleh Luke tersebut tidak pernah kalah dalam peperangan melindungi kota selama Ratu mereka masih hidup.
Apapun yang musuh gunakan untuk menyerang, Ksatria Felixia akan selalu bangkit kembali dan mendapat dorongan semangat serta kekuatan dari kota yang mereka lindungi. Itulah Ballad Igrad, salah satu hak yang mereka dapat dari sang Ratu untuk menyatukan kekuatan Kota.
Memperluas wilayah, pasukan Felixia terus mengumpulkan orang-orang yang merasa tertindas dan orang-orang puritan yang menderita karena peperangan kejam tak berujung. Itu terus berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan setelah Ratu Pertama dan Luke meninggal dan diteruskan oleh keturunan mereka.
Pada keturunan ketiga sejak Ratu Pertama, Keluarga Rein yang dulunya merupakan bagian dari Kerajaan Jakall masuk ke dalam hierarki Kerajaan Felixia dan menyumbangkan wilayahnya. Mereka menjadi timbangan, mengatur kerajaan menggantikan Keturunan Murni Keluarga Kerajaan Felixia yang mulai kehilangan kebebasan karena kekangan para Tetua.
Yang pertama kali menerima Keluarga Rein adalah Generasi Ketiga Luke, dengan alasan para Tetua di Ibukota benar-benar merebut kebebasan Ratu pada saat itu dan memperalatnya. Bahkan ada sebuah kejadian dimana Ratu dituntut untuk menikah kembali setelah Raja meninggal dunia di medang perang.
Meski pada akhirnya posisi Raja dikosongkan sampai sang Tuan Putri pada masa itu menikah dan naik takhta bersama pasangannya, tetap saja dengan jelas dominasi dari para Tetua tampak pada hierarki Kerajaan Felixia. Lambat laun, Ikrar dari Ratu Pertama untuk melindungi mulai pudar dan yang tersisa hanyalah amarah yang ada.
Pada generasi ketiga sejak Ratu dan Luke pertama itu, Felixia secara aktif mengikuti peperangan dan menjatuhkan Kerajaan Garados dan Jakall dengan peperangan yang hanya memakan waktu satu tahun. Tirai dendam pendahulu mereka diakhiri dengan kematian para keturunan utama Garados dan Jakall, lalu hanya menyisakan kerabat jauh dari mereka saja.
Pengampunan tersebut pun bukan tanpa alasan. Rein yang pada saat itu membantu Felixia dalam berperang sempat mengancam akan keluar dari aliansi jika pembantaian Kerajaan Musuh diteruskan. Untuk menjamin keseimbangan yang ada hasil dari perbedaan pendapat, pada akhirnya dibentuk pembagian wewenang antara Tiga Keluarga Utama Keluarga Kerajaan Felixia dan pihak Negara Vasal.
Itulah sejarah penuh berdarah Kerajaan Felixia, Negeri yang pada awalnya dipimpin oleh Ratu Roh. Namun seiring berjalannya waktu, orang-orang pengecut yang disebut tetua malah mendominasi dan hanya bisa memerintah dari tempat aman.
.
.
.
.
Pada waktu itu Dewi telah mendengarkan serta mengabulkan doa dari salah satu leluhur Felixia, menjadikan anak perempuan di antara mereka sebagai seorang Ratu dan membimbing keturunannya sampai sekarang.
Ketika waktu yang dijanjikan semakin dekat, perjanjian akan kembali diingatkan kepada mereka semua. Tuntutan dari Ikrar haruslah dipenuhi.
Apa yang telah terucap tidak bisa ditelan kembali, perjanjian yang sudah dilupakan oleh keturunan serta sekutunya pun tidak bisa dihilangkan begitu saja. Selama kekuatan tersebut masih bersemayam di dalam keturunan langsung sang Ratu Roh, Ikrar akan terus berlaku dan Kerajaan Felixia kelak akan dituntut untuk memenuhinya.
Sosok mulia tersebut memberikan berkah kepada Ratu Pertama dan pengikutnya tidaklah secara cuma-cuma, namun dengan jelas menyebutkan biaya yang harus dibayar kelak.
Entah para keturunannya mengingat itu atau tidak, namun dengan jelas Dewi Asmali Oraș menuntut dua hal dari orang-orang Felixia sebagai balasan atas dua berkah yang dirinya berikan.
Tuntutan pertama adalah mencangkup keturunan Ratu Pertama. Bagi ia yang disiapkan untuk menjadi Ratu berikutnya, maka dirinya akan menjadi wadah dari sang Dewi. Meski tidak mengambil alih tubuh dan menjadi inkarnasi penuh, namun dengan jelas setelah menjadi wadah maka kebebasan pun hilang secara bertahap sampai menjadi Ratu Roh sepenuhnya.
Lalu, tuntutan kedua adalah tentang kekuasaan yang Ratu dan keturunannya miliki. Kelak yang akan datang, pada hari yang dijanjikan dalam Catatan Dunia kekuasaan tersebut haruslah diserahkan kepada seorang Individu yang dikehendaki sang Dewi.
Di akhir waktu Kontrak yang telah ditentukan dalam Catatan Dunia, hal mutlak itu harus dipenuhi. Pada saat itu juga, semua berkah yang telah diberikan kepada keturunan Ratu Pertama dan para pengikutnya secara otomatis akan dikembalikan kepada pemilik aslinya.
Sekarang ini, pada masa yang jauh dari kisah para pendahulu Felixia, saat tahun telah menyentuh angka 2.699 dalam Kalender Pendulum.
Di celah dimensi antara Dunia Nyata dan Dunia Astral, pembicaraan terkait penyerahan kekuasaan tersebut pun dimulai. Antara Dewi Asmali yang membuat kontrak dengan Ratu Pertama, dan sang Penata Ulang Dunia, Dewi Helena yang mengizinkannya untuk melakukan kontrak tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 228 Episodes
Comments
Ryueen
mampir kak
2022-11-22
0
Uchicha Rindiyani
mantapp
2021-07-12
1
Yosinara Liana
uhjnnmnnbbkhnmmb? nbhn? ggh&jj
2021-07-09
1