Tak terasa ini Minggu ketiga Tara mengikuti kelas terapi yang ditawarkan Kiara. Terapi yang dimaksud Kiara adalah latihan meditasi. Kelompok ini bertemu di sebuah ruang sanggar di daerah Jakarta. Beranggotakan 15 orang sudah termasuk mereka berdua. The Holy Grail Meditation nama perkumpulan kecil ini dan Nyoman sebagai pelatih meditasi tersebut. Setiap sesinya menghabiskan waktu 30 menit dengan sebelumnya diawali sharing kisah yang masih mengganjal tiap anggota.
Sejujurnya, Tara melihat pandangan baru dari perkumpulan meditasi kecil ini. Seseorang bisa saja terlihat bahagia dan mapan dari luar, yang ternyata hanya menutupi semua sisi kelam yang belum seutuhnya sembuh. Luka yang masih menganga. Lebam jiwa yang masih membiru. That's man will to show what he want the world to see.
Itu menyadarkan kembali tentang dirinya, kalimat tidak apa-apa yang sering ia lontarkan tanpa pikir panjang, justru menjadi sinyal terkuat bahwa ia tidak baik-baik saja. Ia butuh pertolongan untuk menyembuhkan jiwanya.
Wanita pertengahan 30 bernama Dea, bahkan cukup mengagetkan Tara. Seakan ia harus mengenalinya dari awal lagi. Sesi sharing ini melunturkan gambaran jelas yang telah Tara tangkap di 3 Minggu terakhir ini, bahkan sebelum sesi ini dimulai. Rambut keriting kribonya yang akan bergoyang saat wajah runcing itu menerbitkan senyuman paling luas dan ringan yang pernah Tara temui, saat ini menahan dirinya untuk tidak menangis. Penyesalan yang ia bawa sejak umur belia tak pernah terhapus kan oleh gerusan sadis sang waktu.
Ia menyesali bahwa momen terakhir dengan neneknya, tak ia isi dengan pelukan hangat dan rasa syukur. Mereka bertengkar hebat hanya karena neneknya tak mengizinkan Dea pergi menonton band kesukaannya bersama teman-teman. Ia tetap pergi tanpa menghiraukan nasihat neneknya. Yang ia tahu, saat pulang ke rumah, orang hilir-mudik bergantian memberikan penghormatan terakhir untuk neneknya. Jelas, itu menggores hati Dea berkali-kali lipat, karena ia sadar kasih dari neneknya jauh lebih besar ia terima dibandingkan kedua orang tuanya dan ia kehilangan untuk selamanya.
Sepuluh detik hening sembari menyesapi cerita Dea, Muel yang berada di samping Dea menyumpalkan tisu dalam genggamannya.
"Terima kasih, Dea, kamu sudah mau berbagi. Kami semua berharap, luka dan penyesalan dalam hatimu akan berangsur pulih dengan terus merasakan betapa cinta nenekmu terus hadir sampai hari ini," dan suara lembut Nyoman kembali mengisi ruangan 25m² tersebut. "Kita mulai latihan meditasi kita. Boleh masing-masing mengambil posisi ternyaman," perintahnya pada seisi ruangan. Beberapa pria memilih posisi tidur, beberapa lainnya duduk dan beberapa bersila.
Nguuuuuiinggg nnngggg...
Suara singing bowl mengalun lamat-lamat nyaris terasa di seluruh ruangan, semua mulai memejamkan mata dan mengatur irama napas. Setiap arahan dan petunjuk dilakukan dengan patuh, begitu pun Tara.
"Sekarang, meditasi yang akan kita lakukan berhubungan dengan mengirimkan rasa terima kasih, rasa sayang dan rasa penghormatan kepada mereka yang saat mata kita semua terpejam langsung muncul dalam pikiran kita. Tetap atur napasnya..."
Tara menarik dan menghembuskan napasnya secara teratur, samar-samar wajah Rendi terpetakan pada pekatnya ruang gelap dipikiran Tara. Dadanya terasa sesak seakan napasnya direnggut paksa oleh proyeksi Rendi yang muncul.
"Jika sudah terlihat jelas, seseorang yang sedang terlintas pada pikiran anda, kirimkan rasa welas asih tanpa keinginan untuk mendapatkan balasan..." suara Nyoman kembali mengalun disela-sela musik singing bowl yang memenuhi ruangan.
"Katakan padanya, I love you, thank you, and sorry..." Nyoman menginstruksikan perlahan. "Sebutkan nama orang yang muncul dihadapan anda."
I love you, Rendi. Thank you Rendi, and sorry for everything. Tara menyuarakan berkali-kali dalam batinnya. Hatinya menghangat dan air matanya meleleh.
Samar-samar Nyoman berkata, "solusi yang kita butuhkan bukan dari luar, yang kita butuhkan semua berasal dari dalam. *All the answer will present to you when you ready to look within..."
I love you, Rendi. Thank you, Rendi and sorry for everything...
nguuuuuung nnngggggg....
DONG*!
***
"Lu berasa lega, gak sih?" Kiara menyampirkan tas dan menoleh ke arah Tara.
"Entah, mata gua bengkak gini," Tara memandang pantulan wajahnya pada cermin.
"Ya, namanya nyembuhin luka batin. Mungkin efek sampingnya mata jadi bengkak, hahahah" Kiara menertawai jokes-nya sendiri.
Sore itu langit teduh, semburat nila dan jingga menyatu seakan melukiskan betapa damainya semesta. Benarkah Tara baru berpikir tentang rasa damai? Atau dia mulai berdamai dengan perasaan tak menentu di hatinya. Bukan jawaban dari luar yang orang butuhkan untuk mencari solusi but look within. Tara mengingat pesan Nyoman dalam setiap sesinya.
Angin berhembus sepoi membelai tubuhnya dan memainkan helaian rambutnya. Ada sesuatu yang mendorong dalam dirinya untuk tersenyum. Ringan. Tara sendiri tak bisa menjelaskan apa yang ia rasakan. Ia pun tak sadar apa yang Kiara ocehkan sampai sahabatnya itu menarik hoodie-nya dari belakang.
"Hormatilah orang yang lagi ngobrol sama elu, demen banget sih jalan ninggalin gua mulu," sungut Kiara.
Tara tersadar ia tidak sendirian, "makanya langkahnya yang lebar."
"Ga sopan lu ya sama badan compact kayak gua, seminggu ga ada pulang bareng. Titik," tandasnya.
"Hahaha, gitu aja marah lu. Kan becanda zeyeng," Tara memonyongkan bibirnya yang dibalas tepukan di pipi oleh Kiara.
Ponsel Tara berbunyi, ia keluarkan dari saku kulotnya dan tertera nama SL Fahmi di sana.
"Waktu audisi ye," Kiara melirik ke layar.
"Hahahaha, lu juri juga yok," Tara mengangkat ponselnya dan menempelkan pada telinga. "Hai, Mi. Ada apa?"
"Sore, Tar. Inget undanganku kemarin? Pembukaan resto Dimsumku, jadi dateng kan? Undanganmu VIP lho," diujung telepon Fahmi tertawa renyah.
"Oh, iya. Nyaris lupa lho aku, Mi," Tara mengerling ke arah Kiara. "Tapi aku bawa temen boleh? Soalnya abis dari luar nih"
"Wah bawa keluargamu juga ga masalah, biar ramai," jawabnya.
"Sekalian bawa seserahan, mahar, gitu?" canda Tara. "Kebalik, mas."
"Itu nanti tugasku lah, masa kamu yang bawa-bawa," suaranya diberat-beratkan. Mungkin agar terkesan keren.
"Siap deh, aku meluncur ya. Lokasinya yang kemarin kamu share-loc, kan?"
"Benar. Sampai ketemu, Tara," Fahmi tersenyum.
Tara menutup teleponnya, "makan dimsum kita malam ini."
"Ya udah, yuk, cuss..." Kiara jalan menuju parkiran dimana Brio ungu terparkir.
***
"Mau nambah ga?" tawar Fahmi sembari duduk di salah satu kursi meja mereka. Ia menggulung kembali lengan kemeja putih body fit-nya yang mulai berantakan saat sibuk melayani pelanggan. Celemek coklat dengan bordiran nama resto tersebut tak menutupi perut atletis yang dimiliki pemuda itu.
"Pasti, dong," Kiara menjawab antusias.
"Kamu pinter ya nyari lokasinya, bagus banget lho ini," Tara mengapresiasi.
"Iya, dari awal ruko ini di bangun sama developer, aku udah incer ruko sebelah sini. Karena dari jalan raya duluan keliatan," Fahmi mengiyakan.
"Iya, lahan parkirnya luas juga. Cucok. Sukses usahanya ya, Mi," Tara melemparkan senyumnya.
"Semoga kamu suka ya, Tar," satu lesung pipi muncul di pipi kirinya. "Aku ke depan dulu ya, enjoy your food."
Sebenarnya ini adalah kali pertama Tara bertemu Fahmi, pemuda yang ia temui melalui aplikasi perjodohan yang sebulan lalu diunduhnya. Kulit Fahmi sawo matang, ia berkilah hobi naik gunungnya yang memanggang warna kulitnya. Sebelumnya bekerja di perusahaan swasta yang bergerak di bidang jasa pengiriman barang, lalu ia memilih untuk menjalankan bisnis kuliner agar ia bisa sambil mengawasi ibunya yang terbaring lemah di rumah. Lokasi rumahnya tak jauh dari resto itu berada.
Tara sendiri, tidak merasakan apapun. Tapi tidak salahnya jika ia menambah jaringan pertemanan. Sembari mengobati luka hatinya yang kian membaik hari ke hari. Jujur, memandangi bola mata Fahmi sesuatu yang menjadi favorit Tara, kacamata pemuda itu menambah kesan tegas pada matanya.
"Lucu, Tar," Kiara mencondongkan tubuhnya sambil berbisik sepeninggalan Fahmi melayani costumer di counter resto.
"Ho-oh," sahut Tara mengunyah dimsum udangnya. "Lu download aja tuh SwipeLove, kali aja nemu yang gitu juga."
"Gua masih nungguin bang Danang," jawabnya.
"Iye... yang kaya bang Toyib ga pulang-pulang, ga ada kabar," sahut Tara.
"Gua mau lihat dulu, bener ga dia Januari besok balik Jakarta," Kiara menyeka ujung bibirnya dengan tisu. "Kalo ga, yowes, BHAY."
**Ding!
Dave mengirim pesan: aku yang mau bikin kamu lumer, kok jad**...
Tara melirik ponselnya melihat notifikasi yang masuk dari aplikasi itu. Ia membuka pesannya.
aku yang mau bikin kamu lumer, kok jadi aku yang lumer sih. hehehe 😁
Tara tersenyum lalu dengan cepat diketiknya balasan.
Ah, blueband emang. Cepet cair, hihihi... 🤭
******
Enjoy your reading here, kalau ada yang minat bermeditasi monggo disimak link yang tertera di bawah ini atau bisa japri 😉
https://youtu.be/LeWgSc\-A7xg
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Tate
wkwkwk kalo suara di berat beratkan supaya terlihat keren yaa.. kalo aku yg di berat beratin kek orang mau eeq
2022-01-09
1
Tate
bagus
2022-01-09
1
Rozh
ambil absen👀
2021-01-28
1