Masih di kantor lu?
Kiara memandang layar ponselnya yang seakan tak memberi respon, kunsornya sudah berkali-kali mengedip menunggu untuk mendapat perintah menuliskan kalimat berikutnya. Telah setengah jam ia duduk dan menyesap Hazelnut latte-nya. Kantor Tara berjarak dua blok dari kedai kopi di mana mereka janji bertemu, seharusnya tidak memerlukan waktu lama untuk sampai ke kedai tersebut.
"Ih, si leleeet," tak sabar iya menyentuh tombol telepon pada jendela percakapannya.
Nada sambung kelima dan suara Tara terdengar seakan setengah berlari. "I'm here."
Tepat pintu kedai terbuka dan Tara terlihat sedikit terengah, ponsel menempel di tangan kanan dan tasnya tersampir pada pundak sedangkan tangan lainnya membawa tas laptop dan tas kanvas yang terlihat cukup berat. Kiara melambai memberi tahu sahabatnya di mana ia berada.
"Maaf, telat," ucap Tara sambil menaruh barang-barang bawaannya di kursi sebelahnya lalu mendudukkan dirinya tepat di seberang Kiara.
"Lu resign?" Kiara melirik ke arah tumpukan barang di sebelah Tara.
"Muka gile, engga lah. Kan makanya gua calling Lu biar bisa pulang bareng," ia menyengir. "Kerjaan kantor gua boyong ke rumah. Baru inget pas gua liat jam udah lewat 20 menit dari waktu janjian."
"Emang kebiasaan lu, untung gua sabar. Pesen dulu gih, engep gua liat lu napas," Kiara menyeruput minumannya yang nyaris setengah tandas.
Tara melihat gelas sahabatnya dan makin berasa bersalah atas keterlambatannya, "ntar gua ganti BayarPegi, ya."
"Macam kao!" nada butetnya keluar. "Buru, gih."
***
Tara memandang daftar menu kopi yang terpajang di atas display mesin-mesin pembuat kopi. Pramusaji menunggu Tara memilih dengan sabar. Kedai ini, tempat terakhir ia dan Rendi bertemu sebelum akhirnya mereka berpisah karena Rendi dipindah-tugaskan ke luar kota. Tara sempat ingin mengganti tempat janjiannya dengan Kiara, tapi kedai ini jauh mengenal mereka sebelum tempat ini mengenal Rendi dan ini memang tempat favorit Kiara dan Tara sejak kuliah dulu, juga akhirnya menjadi tempat favorit Tara dan Rendi menghabiskan waktu setelah pulang kerja.
"NihKopSu, aja?" usul Adam, pramusaji yang sudah sering bertemu Tara.
"Pengen ganti, biar suasana ganti juga," Tara masih sibuk berpikir dan mengelola rasa tiap menu kopi yang ditangkap Indra penglihatannya.
"Susah kalo udah ada favorit tuh, Kiara aja ga ganti-ganti," Adam tertawa kecil sambil merapikan outlet kerjanya.
"Yasudahlah," Tara menyerah. "Yang biasa dan.. "
"Less ice," Adam menaikkan satu alisnya. "Hapal mati saya."
Adam dengan lincah menekan tablet mini untuk membuat pesanan, iseng ia bertanya. "Lagi banyak gawean, mbak?" Adam menyodorkan palet bergambar pola kotak-kotak.
"Ya, gitulah. Tau sendiri kan event akhir tahun kantor gua. Pecah kepala," jawab Tara sambil mengeluarkan ponselnya dan memindai pola tersebut.
"Oh pantes, bakal dapet undangan lagi dong kita," selidik Adam.
"Bisa jadi, semoga aja, kepala projectnya ganti, bukan pak Ilham penggemar Earl Grey kalian," Tara menanggapi.
"Yah," perlahan Adam menjauhi outlet pesanan dan menghampiri mesin-mesin pembuat kopi. "Oh iya, masmu lama ga keliatan, kayaknya bukan karena kerjaan doang ini sih, kena mala rindu." setengah badan Adam muncul diantara mesin-mesin pembuat kopi.
"Merhatiin aja," please ganti topik, God. "Kan lagi tugas keluar, Mas Adam kali jangan-jangan yang kangen ya?"
"Hahhahah enggak, mbak. Tambah shot ga?" imbuhnya
Tara menggeleng dan senyum sekenanya.
Tenang Tara, kamu pasti bisa kok. Kalian cuma setahun bareng. Di luar sana, mereka yang bercerai setelah nikah puluhan tahun sukses kok. Tenang, ini hanya sementara.
"**Kopi paling nikmat itu kopi hitam, apalagi tanpa gula. Nikmatnya di situ lho, Tar." Rendi mengangkat gelas krem berisi Si Item. "Kalo kopi susu kamu itu udah ga murni kopi."
"Iya, tau yang... tapi kan hidup udah pait jangan dikasih pait mulu," Tara keras kepala.
"Coba belajar minum kopi susu ditambah satu shot expresso. Pasti kamu bakal kangen sensasi pahitnya di ujung lidah," diseruput sedikit isinya yang temperaturnya berubah termakan waktu. "Aku yakin kamu bakal ketagihan... gihan...han**.."
"Mbak Tara, ada tambahan lagi?" Adam memandang lurus ke arah bola mata Tara.
Tara mengerjap dan menyadarkan dirinya ke alam realita. Ekstra shot telah melambungkannya kembali pada masa musim semi yang hangatnya seakan tak mungkin meninggalkan hatinya. "Engga, cukup, Dam. Thank you, ya."
Tara meninggalkan counter dan berjalan ke arah Kiara yang sibuk dengan ponselnya, diseruputnya NihKopSu di tangan sembari duduk di seberang sahabatnya.
"Jadi?" Kiara menyimpan ponselnya di meja lalu memfokuskan pandangannya pada sahabatnya.
"Apa?" Sedotan masih menempel pada ujung bibirnya.
"Masih belum juga?" selidik Kiara dengan pertanyaan-pertanyaan menggantung yang tidak dipahami Tara.
"Belom apa, sih?" Tara menaruh gelasnya yang berembun di meja.
"Lu ga pernah keteteran kalo kerja, ya. Kecuali hati lu lagi gonjang ganjing dunia persilatan. Hati lu tuh, terlalu nge-rules hidup lu," Kiara melipat kedua tangannya dan menyenderkan tubuhnya ke belakang.
Tara diam, apa bisa ia berbohong pada sahabatnya ini. Nyaris setengah umurnya mereka sudah bersama.
"Inget terakhir waktu pak Mike, guru IT mau merid, lu kacau-in nyaris seluruh tugas kelompok presentasi kita, tau?" Kiara menggali kenangan lama.
"Jangan mulai, lah. Gua fokus kok," sanggah Tara.
"Lu fokus, ga bakal tuh bawa-bawa plenong petong begitu."
"Besok pagi laporan kudu disetor, honey. Tinggal dikit lagi, datanya diinput, abis itu beres." kilah Tara menutupi kebenaran fakta yang diucapkan Kiara.
"Seharusnya bisa beres kalo lu ga banyak ngelamun di kantor," Tara sudah tau mulut Kiara memang 11-12 dengan cabai rawit setan ujung runcing, pedas gak kira-kira.
"Gua ga ngelamun-"
"Tipi guwi kiingit si Rindi," Kiara menyinyirkan bahkan bibirnya.
"Gua ga bisa ngelawanlah ibu Pengacara, bukti ada di depan mata," Tara meletakkan sesuatu tak kasat mata di hadapan Kiara seolah itu bukti-bukti yang dimaksud.
"Lu kudu terapi," simpul Kiara mengejutkan.
"Lo pikir gua ga waras?" ia tak terima.
"Terapi ga semua buat orang gila, yang kecelakaan atau mengalami cidera fisik sampai trauma juga di terapi," Kiara menyelipkan helaian rambutnya dibalik telinga. "Sabtu lu ga ada janji, kan? Ikut gua ya."
"Kemana?" tanyanya.
"Terapi." jawaban itu sesingkat saat Kiara mendiagnosa apa yang terjadi belakangan ini pada Tara.
"*****," Tara mendengus geli. "Seriusan?"
"Serius, lah," raut wajahnya berubah serius. "Jangan buat gua khawatir."
Ding!
Tara melirik ponselnya yang berbunyi sebuah notifikasi pesan dari aplikasi SwipeLove.
Dave mengirim pesan: hai!
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Ditunggu likes, comment, kritik dan sarannya dear readers 🥰
Author notes: This already been edited.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
sannyasih🙆
🤓 ngopi apa ngopi
2021-04-17
1
Candra Dewi DP
setelah ak tahu pemeran Tara, jd kebayang Si Parjiyem ngopi2 syantik bareng temennya di masa depan. Btw bahasa kak Tur tuh asik bgt buat di baca,,berasa ntn FTV yg pemerannya Prisia 😊
2020-10-23
1
ARSY ALFAZZA
🐾🐾🐾👍
2020-10-10
1