Tara memperhatikan bunyi jam mekaniknya di dinding, suaranya halus bahkan bisa membuat Ia terlelap kadang. Ruangannya sesekali redup lalu menggelap lagi. Cahaya itu berasal dari layar ponsel yang sesekali menyala dan redup seiring notifikasi yang masuk pada ponselnya. Tak ada keinginan untuk menggerakkan tangan menggapai benda itu. Tara hanya berbaring dan memandang langit-langit kamar yang membiaskan bayangan lampu temaram dari luar jendelanya.
Ini Sabtu ke empat setelah Ia berpisah dari Rendi. Sesekali Ia mengecek jendela percakapannya dengan Rendi yang hanya di sapa sunyi dan tanpa gambar foto.
Aku benar-benar putus, ya?
Pertanyaan itu asik sekali berenang di kepalanya berminggu-minggu ini, itu membuat dirinya lebih sering termenung dan seperti jasad tanpa roh yang menjalankan tugas sehari-hari.
Tara tahu, Ia harus menjadi dirinya yang dulu. Ia lelah hanya menjalani rutinitas tanpa gairah, tapi beginilah yang terjadi ketika penghuni hatinya check-out tanpa ada kabar berita. Ia merasa serba salah, bersama tanpa kabar Ia gelisah, berpisah tanpa berita Ia merana.
Tara bangkit dan hendak keluar kamar. Ia haus. Sekilas dilirik ponselnya yang tergeletak masih dengan sesekali layarnya menyala karena notifikasi. Beberapa dari Kiara, sahabatnya. Beberapa grup komunitas dan selebihnya teman kantornya. Sama sekali tak ada keinginan untuk sekedar membuka aplikasi pesan tersebut. Tara melangkah membuka pintu.
"Eh! Astaga," seorang perempuan terkaget ketika Tara membuka pintu. Ia nyaris terjerembab karena sedari ia berdiri di depan pintu kamar. Ia mencoba mendengar suara apapun dari dalam yang nihil. Maka saat pintu terbuka dan ia nyaris terjerembab, untunglah Sekar masih dapat menguasai dirinya. Sekar, Mamanya Tara.
"Astaga, Mama ngapain?" Tara terkejut.
"Mama baru... mau panggil kamu makan. Mama udah masakin tumis bunga pepaya kesukaan kamu tuh," lapornya.
Ga ada yang lebih pahit dari itu, ya? Huft jeritan hati Tara. Suasana dirinya sedang pahit dan ibunya menyiapkan tumis bunga pepaya yang getir itu.
Sekar mengintip ke balik bahu anak perempuannya. "Kamu ga nyalain lampu, Nduk?"
"Tadi niatnya mau langsung tidur, tapi aku haus," ucapnya sambil melewati ibunya yang menutup pintu di belakangnya.
"Kamu ga laper?" tanya Sekar membuntuti anaknya turun dari lantai dua rumahnya.
"Tadi Tara udah makan sebelum sampai rumah, Ma. Maaf Tara lupa bilang," bohongnya. Nafsunya untuk sekedar melihat tumpukan makanan di piring lenyap entah kemana.
"Nduk, sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan. Mungkin bukan jalannya kalian bersama," Sekar berujar pelan saat Tara mulai meneguk air di gelasnya.
Tara diam. Ia menahan dirinya tak menangis.
"Nduk," sapa Sekar memastikan anaknya mendengar perkataannya.
"Iya, Ma," Tara melangkahkan kakinya ke tempat cuci piring dan membersihkan gelasnya. "Tara naik ya, ngantuk. Besok pagi Kiara ajak jogging ke taman."
"Yowes, tidur sana kalau kamu lelah," Sekar mengelus pelan punggung anak gadisnya.
***
"Eh, lu gila," teriak seorang gadis yang berjalan ke arah Tara.
Tara menjauhkan sebatang rokok yang terselip di bibirnya. Ia memandang Kiara tak jauh kagetnya seperti saat Kiara mengetahui bahwa namanya dipakai sebagai alasan tanpa sepengetahuannya.
"Lu bilang jogging ama gua, tanpa janjian dulu. Di sini lu malah ngudud bukan jogging," Kiara memandang kesal ke arah rokok di jemari Tara. "Gua ke rumah lu tadi, nyokap lu kaget kok gua dateng sendiri ga sama elu. Mana baju gua ga ada kesan jogging-jogging-nya acan."
Tara memandang Kiara yang memakai jaket oversized, jeans selutut dan sendal jepit yang digunakan Kiara.
"Matiin tuh rokok!" hardik Kiara. Ia tidak menyukai kebiasaan baru Tara yang sudah berjalan lebih dari setengah tahun ini. Tara berusaha tidak pernah merokok di depan Kiara tapi pagi ini kedatangan Kiara membuatnya tanpa persiapan.
"Gua cari di taman lu ga ada, untung gua tau lu suka nyepi di pinggir danau," gadis itu mendudukkan dirinya tepat di sebelah Tara.
"Sekali-kali lu kudu setenang danau. Kadang gua mikir itu mulut apa petasan," jawab Tara kembali menghirup rokoknya.
"Matiin!" bentaknya tapi tak berusaha merebut batang rokok itu dari tangan Tara.
"Huss..., dari pada lu teriak-teriak mending nikmatin danau yang tenang," Tara memandang ke depan tanpa berkedip.
"Dari pada lu tenang di luar bergemuruh di dalem. Ga pake cerita abcd, bales chat gua kek, DM gua kek, angkat telpon gua kek. Berasa ngehubungin orang mati," bebernya.
"Yang penting masih connected, kan? Dari pada sama sekali udah ga nyambung. Tandanya gua masih hidup, Ra," jawab Tara malas.
"Lu tu ye," Kiara menjitak pelan kepala Tara. "Gua khawatir. Takut lu mikir macem-macem, takut lu... ah pokoknya gua takut. Besok-besok kalo gua hubungin, gua ga mau tau, harus lu angkat. Mau lu lagi mandi kek, kayang kek!"
"I knew, thank you for that, dear." Tara menghembuskan asap panjang dari mulutnya. Rasanya Ia ingin gemuruh dalam dirinya ikut keluar bersama asap itu, tapi nihil. "Kalo gua notice ponsel gua bunyi."
Tara menunjukkan ponselnya yang ia atur tidak menerima notifikasi apapun. Kiara makin sebal.
"Gua ngerti yang Lo rasain sekarang. Gua pernah kok di posisi Lo," Kiara memasukkan kedua tangannya pada saku jaket.
Pagi itu udara lumayan dingin di sekitar danau buatan di kota mereka. Pohon-pohon yang mengelilingi danau itu dihinggapi burung-burung kecil pada dahannya di sana-sini. Beberapa kelopak bunga dan dedaunan masih terselimuti oleh tipis kelabu embun yang disisakan malam.
Tara mengangguk saja mendengar celotehan sahabatnya. Setidaknya, walau Kiara tak tahu segala aksaranya itu masuk ke lubang telinga kanan dan terhempas melewati lubang sebelah kiri. Ia tetap memberikan responnya. Ia tahu kuliah ini tak akan berakhir cepat karena pengacara satu ini akan sulit sekali diberhentikan saat mulai berbicara. Padahal, Tara masih ingin menikmati kesendiriannya. Kesunyian tempat itu untuk menenangkan hatinya.
"Lo kan yang waktu itu nyuruh gua ga down terus," Kiara menyenggol dengan sikunya. "Lo bilang roda kehidupan bergulir dan ga akan selamanya diam di tempat seperti ini. Masih ada yang jauh lebih baik dari pada pria itu. Dia aja gak ngehargain Lo, buat apa Lo masih berlama-lama tenggelam dalam situasi ga menentu seperti ini. Keenakan tuh banci satu!"
Tara tetiba berdiri. Jujur Ia lelah mendengar sugesti yang dibeberkan tapi Ia tak sampai hati mengutarakan. Sebal juga mendengar Kiara menyebut Rendi banci. Bagaimana pun juga Rendi hebat, belanya dalam hati.
"Cari makan yuk, laper." alih Tara dan bangkit dari bangku semen pinggir danau itu. Matanya mulai mencari makanan yang bisa menarik hatinya untuk mencoba dan mengisi perut. Kalau pun ia bisa menelannya.
"Ih, nih anak," umpat Kiara kesal lalu menyusul Tara.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Ditunggu likes, comment, kritik dan sarannya dear readers 🥰
Author notes: This already been edited.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Yamti Suwadi
ape lu!!! ape lu!!!!
2022-09-28
3
sannyasih🙆
patah hati mending cuma lupa makan lupa mandi lupa punya teman lahh dari pada lupa napas coba 😖 ga enak kalo patah hati tauk 😭😭😭
2021-04-14
1
Rozh
💓💓
2021-01-28
3