Keputusan Yang Berat

Dion masih menunggu kabar tentang istrinya, Dion terperanjat ketika seorang petugas medis berjalan mendekatinya, wajahnya begitu panik.

"Sus, bagaimana keadaan istri saya?" Tanya Dion.

"Pak, istri anda harus segera di operasi. Benjolan di rahimnya semakin mengancam keselamatan istri juga anak anda, kita harus segara mengeluarkan bayinya. Kemungkinan rahim istri anda juga harus di angkat," Petugas medis itu menjelaskan secara ringkas.

Dion mengatupkan bibirnya, tatapannya kosong. Ibu Anna berusaha menguatkan anaknya, dan bersikap setenang mungkin.

"Yon, tenanglah. Saat seperti ini hanya kamu yang bisa memutuskan, pikirkan dengan baik." Ibu Anna menyarankan.

"Bagaimana, Pak? Kalau anda setuju, segera tanda tangani suratnya. Kita tidak punya banyak waktu," ucap petugas medis.

Dion meyiapkan hatinya, dengan gemetar tangannya meraih surat yang di bawakan oleh petugas medis.

Dengan sangat terpaksa, Dion menandatangani surat persetujuan untuk pengangkatan rahim istrinya.

"Sus, selamatkan anak istri saya. Saya mohon," pinta Dion sembari memberikan surat itu kembali.

"Kami akan berusaha sekuat mungkin," jawab petugas medis itu dan segera kembali masuk kedalam ruangan.

Dion dan Ibunya hanya bisa pasrah, mereka hanya bisa berdoa meminta yang terbaik untuk Melati.

***

Butuh waktu beberapa jam lagi untuk Dion mengetahui keadaan istrinya, hal itu membuat tubuh Dion melemah.

"Yon, makan dulu." Ibu Anna menyodorkan makanan juga minuman pada anaknya.

Dion menggelengkan kepalanya, nafsu makannya hilang seketika.

"Yon, jangan seperti itu. Kalau kamu lemah, bagaimana nanti Melati? Dia butuh kamu untuk menguatkannya," pinta Ibu Anna.

Dion terdiam, perlahan tangannya meraih makanan yang telah di siapkan oleh ibunya.

Baru beberapa suap, Dion menghentikan aktifitasnya ketika dokter yang menangani Melati keluar dari ruangan.

Dion segera menghampiri, dan mencercanya dengan berbagai pertanyaan.

"Dok bagaimana istri saya? Anak saya? Apa mereka selamat?" Tanya Dion dengan wajah panik.

Dokter itu menghela nafasnya, dan melepas masker yang selama beberapa jam menutupi mulutnya.

"Istri Bapak selamat, kondisinya masih lemah. Dia butuh istirahat yang cukup untuk memulihkan kondisinya," ucap dokter itu.

"Alhamdulillah," ucap Dion dengan Ibunya.

"Lalu anak kami, bagaimana dengan dia Dok? Apa kondisinya sehat?" Tanya Dion.

Dokter terdiam, raut wajahnya tampak mengisyaratkan suatu kondisi yang memang tidak baik-baik saja.

"Dok, kenapa diam? Bagaimana anak saya?" Tanya Dion lagi dengan tatapan memohon.

Dokter itu menatap Dion, bersiap untuk mengabarkan kondisi anak Dion.

"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi janin mengalami still birth, dimana janin sudah meninggal semenjak dalam kandungan. Hal ini sudah di bahas sejak awal, penyebabnya bisa di akibatkan dari penyakit yang istri Bapak derita," ucap dokter itu dengan suara berat.

Dion menangis, tubuhnya kembali ambruk. Ia merasakan sakit yang sangat didadanya, meski dari awal ia tahu akan terjadi hal seperti ini. Hatinya seakan menolak untuk menerima kenyataan.

"Yon, sabar. Semua sudah ada yang mengatur, mungkin ini yang terbaik untuk kita." Ibu Anna mencoba untuk memberi kekuatan pada anaknya.

"Kenapa Bu? Kenapa harus anakku? Apa salahku, apa aku tidak pantas menjadi seorang ayah?" Dion meracau, tangisnya semakin menjadi.

"Dion, jangan bicara seperti itu. Mungkin ini belum waktunya, sabar sayang." Ibu Anna memeluk anaknya dengan erat, ia sangat mengerti perasaan anaknya saat ini.

Dari kejauhan, datang dua orang paruh baya menghampiri Dion juga ibu Anna.

"Dion, bagaimana Melati?" Tanya ibu Melati.

Dion menoleh, dan bersimpuh di kaki sang ibu mertua.

"Bu maafkan aku, aku tidak bisa menjadi suami yang baik untuk Melati. Aku gagal menyelamatkan anakku, Bu." Dion menangis dengan perasaan bersalah.

Ibu Melati membungkuk, dan mensejajarkan tubuhnya dengan Dion.

"Nak, sudah jangan seperti ini. Bangunlah," pinta Ibu Melati.

Ayah Melati membantu Dion untuk berdiri, ia juga merengkuh bahu menantunya.

"Yon, kau harus kuat! Demi istrimu," pinta ayah Melati.

Dion menganggukkan kepalanya, ia mencoba untuk setegar yang diminta oleh ibu juga mertuanya.

***

Mereka kini berjalan munuju kamar dimana Melati di rawat, Dion melangkah dengan berat.

Ia yang di papah oleh ayah mertuanya, berjalan melewati lorong rumah sakit.

Sekilas ia menatap Rissa, yang sedari tadi berdiri beberapa meter dari ruangan UGD. Tatapan Dion begitu tajam, seakan menyiratkan kemarahan.

Rissa hanya menunduk, ia tak memiliki keberanian untuk menatap kembali kearah Dion.

"Sa, tunggu disini, yah. Ibu lihat Melati dulu," pinta Ibu Anna.

Rissa mengangguk patuh, ia pun tak bisa untuk mengucapkan sepatah katapun.

***

Di dalam ruangan, Melati masih belum sadarkan diri.

Kondisinya memang lemah, dan butuh waktu untuk Melati kembali pulih.

"Sayang, buka matamu. Aku disini," pinta Dion sembari mengusap kening istrinya.

"Yon, sabar. Doakan Melati agar dia segera membaik," pinta ibu Melati pada menantunya.

Dion menganguk, dan kembali menatap istrinya dengan rasa bersalah.

"Yon, sebaiknya kita makamkan dulu anakmu. Setelah selesai, baru kita kembali kesini." Ayah Melati menyarankan.

Dion menghela nafasnya, dengan lemah ia beranjak dari tempatnya.

Dion yang ditemani ayah mertuanya, kini pergi untuk mengurus pemakaman anaknya.

Dengan berat hati, Dion menggendong anaknya dengan erat.

Air matanya tak berhenti menetes, wajahnya tampak kalut.

Perlahan Dion memasukkan anaknya kedalam liang lahat, ia juga mengadzani anaknya untuk terakhir kali.

Di tatapnya wajah tanpa dosa itu, putih bersih tanpa noda.

Suara Dion terdengar lirih, sekuat tenaga ia melantunkan adzan di telinga anaknya.

Selesai itu, Dion kembali naik ke permukaan.

Perlahan tanah mulai di turunkan, menimbun tubuh malaikat kecilnya.

Tangis Dion kembali pecah, ia tak sanggup melihat sang anak yang tak dapat ia tatap lagi.

"Nak, maafkan Ayah. Maafkan Ayah."

Hanya kata itu yang bisa terucap dari mulut Dion, lantunan doa juga air mata mengiringi kepergian anaknya.

***

Setelah selesai memakamkan anaknya, Dion kembali ke rumah sakit menemani istrinya.

Sesampainya disana, ia melihat Melati yang baru saja sadarkan diri.

Hatinya begitu bahagia, melihat kondisi istrinya yang telah membaik.

"Mel, sayang, kamu sudah sadar." Dion memeluk istrinya, ia juga beberapa kali mengecup kening istrinya.

"Mas, dimana anak kita? Aku ingin lihat dia," ucap Melati masih dengan suara lemah.

Dion terdiam, ia melirik ke arah ibu juga mertuanya.

Ibu Melati berjalan mendekati anaknya, ia mencoba untuk menguatkan anak tunggalnya itu.

"Nak, kemari ibu ingin memelukmu." Melati tersenyum, dan menyandarkan kepalanya pada sang ibu.

"Nak, dalam hidup itu ada yang namanya takdir. Dan terkadang takdir tidak selamanya sesuai dengan apa yang kita inginkan," ucap ibu Melati.

Hal itu membuat Melati heran, mengapa ibunya berbicara tentang takdir.

"Bu, kenapa ibu berbicara tentang takdir? Apa maksudnya?" Tanya Melati.

Tak ada yang menjawab, seketika suasana berubah hening. Melati semakin dibuat bingung, entah mengapa perasaannya kini mendadak gelisah.

"Bu, Mas? Kenapa kalian diam? Ada apa sebenarnya?" Tanya Melati lagi.

"Sayang, sebenarnya anak kita..."

"Anak kita kenapa? Dimana dia? Dimana dia, Mas?" Tanya Melati air matanya mulai menetes, hatinya semakin dibuat tak karuan.

Dion menunduk, dan hendak memeluk istrinya. Merasa tak mendapat jawaban, Melati mendorong tubuh suaminya itu.

"Aku tanya dimana anak kita? Jawab!" Seru Melati dengan suara yang meninggi.

"Sayang, anakmu tidak bisa di selamatkan." Ibu Melati memberi jawaban.

Melati terdiam, bak tersambar petir. Ia tak dapat mengucapkan apapun, jantungnya seakan berhenti berdetak.

"Tidak mungkin, anak kita baik-baik saja kan, Mas? Ini bohong, kan? Kalian semua membohongiku!" Teriak Melati.

"Sayang, aku minta maaf. Aku tidak bisa menyelamatkan anak kita," ucap Dion.

"Tidak, ini tidak mungkin. Ini tidak mungkin kan, Mas. Anakku..."

Tangis Melati pecah, ia meronta. Melati tak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya telah tiada, ia berteriak memanggil anaknya.

"Kembalikan anakku, kembalikan dia. Mas, bawa dia padaku! Aku mohon," pinta Melati sembari meraung menangis sejadinya.

"Kemana kamu waktu itu, Mas. Aku kesakitan, tapi kamu tidak datang juga. Kalau kamu datang tepat waktu mungkin anakku masih ada, kamu kemana Mas, kemana?" Teriak Melati, pikirannya kacau. Ia berucap tanpa berpikir lebih dulu.

Mendengar ucapan istrinya, Dion begitu terpukul. Ia mengingat kembali kesalahannya, kalau saja ia datang tepat waktu mungkin semua tidak akan terjadi.

Dion melangkah mundur menjauhi istrinya, tubuhnya melemah menatap Melati yang menangis mendengar kenyataan pahit tentang anaknya.

"Ya Allah, begitu berat cobaan dariMu. Kuatkan aku ya Allah, kuatkan istriku."

Dion menjatuhkan tubuhnya kelantai, meratapi nasib buruk yang menimpa keluarga kecilnya.

Terpopuler

Comments

~R@tryChayankNov4n~

~R@tryChayankNov4n~

lha tp kn ush dijelasin dokternya klo anknya udh meninggal di dlm rahim..jd bkn slh dion,ap lg nyalahin rissa kn...trz melati knp gk mintol bibi nya yg ad drmh kn😶👀

2022-11-27

0

Tri Widayanti

Tri Widayanti

😭😭😭😭😭😭

2020-12-13

0

Zery Zecha

Zery Zecha

Sedih

2020-11-03

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!