Sebuah Harapan Bermula

Bandung, 04 Juni 2020

19:00 WIB.

Di sebuah rumah bernuansa putih, tempat dimana Dion dan Melati tinggal.

Dion memang sengaja mendekor rumahnya sesuai keinginan sang istri, ia akan melakukan apapun asal istrinya itu merasa nyaman.

Disinilah keharmonisan Dion dan Melati tercipta, tak pernah terjadi perselisihan selama pernikahan mereka.

Malam ini suasana terasa begitu dingin, diluar hujan turun dengan derasnya.

Melati tengah membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, ia merasakan lelah yang amat pada tubuhnya.

Melati juga merasakan kepalanya seperti berputar-putar, membuatnya tak mampu untuk sekedar berdiri dan berjalan.

Dion yang baru saja selesai membersihkan diri, segera menghampiri istrinya yang tertidur.

"Sayang, bangun. Kita makan malam dulu," ajak Dion.

Melati menggeliat, ia membalikkan tubuhnya mengahadap Dion.

"Hemm, aku makan disini saja. Aku malas turun ke dapur," jawab Melati.

"Kok malas? Kenapa, apa kamu masih merasa mual?" Tanya Dion.

Melati mengangguk, "kepalaku juga terasa pusing, Mas."

Dion meraba kening istrinya, tangannya kini beralih menuju leher istrinya.

"Tapi kamu tidak demam," ucap Dion.

"Ya sudah, Mas bawakan makananmu kesini. Besok pagi, kita ke dokter. Mas tidak mau terjadi apa-apa padamu," imbuh Dion.

"Hemm, baiklah. Terima kasih," ucap Melati.

"Iya. Mas ke dapur dulu," ujar Dion dan di angguki oleh Melati.

***

Dion menuruni anak tangga, hendak menuju dapur.

Di rumah mereka tinggal bertiga, Dion, Melati, dan satu orang asisten rumah tangga.

"Bi, masak apa hari ini?" Tanya Dion pada Bi Ai.

Bi Ai menoleh, dan mendekat pada majikannya.

"Bibi masak ayam goreng, capcay, sama sambal terasi. Aden mau makan sekarang?" Tanya Bi Ai.

"Iya, Bi."

"Iya sudah, Bibi siapkan dulu," ucap Bi Ai.

"Tidak usah, Bi. Biar aku saja," ucapan Dion menghentikan Bi Ai yang hendak menyiapkan makanan di atas meja.

Dion mengambil sebuah piring, ia mengisi nasi juga lauk pauk dengan porsi cukup banyak diatasnya.

"Den, tumben makannya banyak?" Tanya Bi Ai terheran melihat majikannya yang mengambil porsi dua orang dalam satu piring.

"Makanannya aku bawa ke kamar, Bi. Melati sedang malas turun katanya," ujar Dion.

"Loh, memangnya Non Melati kenapa? Sakit, Den?" Tanya Bi Ai lagi.

"Entahlah, Bi. Tadi di resto dia muntah-muntah," sahut Dion.

"Muntah? Kok bisa, Den?" Bi Ai masih penasaran, disebabkan memang Melati sangat jarang sekali sakit.

"Aku juga tidak tahu, Bi. Katanya dia mencium bau masakan yang bumbunya kuat," jawab Dion.

Ia tak segan berbincang dengan asisten rumah tangganya. Bi Ai memang sudah menjadi kepercayaan keluarga sejak Dion masih duduk di bangku sekolah pertama.

"Apa jangan-jangan Non Melati hamil?" Tebak Bi Ai.

Dion terdiam sejenak, ia mencoba mengingat salah satu ciri-ciri awal kehamilan.

"Masa sih, Bi?" Tanya Dion.

"Kok masa sih, ya ucap aamiin dong Den."

"Eh iya aamiin, Bi."

"Sudah di bawa ke dokter?" Tanya Bi Ai.

"Belum, Bi. Besok pagi rencananya baru mau ke dokter," jawab Dion.

"Bawa langsung ke dokter kandungan, Den. Siapa tahu beneran hamil." Bi Ai menyarankan.

Dion mengangguk, "iya deh, besok aku bawa Melati ke dokter kandungan," ucapnya.

"Semoga Non Melati beneran hamil yah, Den." Bi Ai mendoakan.

"Aamiin, doakan yah Bi."

"Pasti, Den."

"Ya sudah, aku ke kamar dulu. Melati pasti sudah menunggu," ucap Dion.

"Iya, Den."

Dion berlalu meninggalkan dapur, dan berjalan dengan semangatnya menuju kamar.

***

Sesampainya disana, Dion dengan semangat membangunkan istrinya.

"Sayang, ini makanannya."

Melati menggeliat dan menatap menu yang ada didalam piring, seketika raut wajahnya berubah seakan tak berselera.

"Aku ingin makanan lain," ucap Melati.

Dion mengerutkan keningnya, "makanan apa, sayang?" Tanyanya.

Sejenak Melati memikirkan makanan yang sedang ia inginkan, dan pilihannya jatuh pada makanan yang sebelumnya tak pernah ia cicipi sama sekali.

"Aku ingin karedok," ucap Melati.

"Karedok? Kamu yakin mau makan itu?" Tanya Dion.

Melati mengangguk, wajah manjanya membuat Dion tak kuasa untuk menolak.

"Jam segini memangnya masih ada yang jual karedok?" Tanya Dion.

"Aku tidak tahu," jawab Melati dengan polosnya.

"Kalau tidak mau carikan karedok, aku tidak jadi makan." Melati merajuk.

Dion beranjak dari tempatnya, dengan cepat ia berlalu meninggalkan Melati dan berniat untuk membeli karedok.

Melati menatap punggung suaminya, "kenapa aku tiba-tiba ingin makan karedok? Aku kan tidak terlalu suka sayuran mentah," ucapnya dalam hati.

Melati kembali membaringkan tubuhnya, menunggu suaminya pulang membawa pesanannya.

Dion terlihat kebingungan, ia hendak bertanya pada Bi Ai tempat yang menjual karedok.

"Bi, jam segini apa masih ada yang jual karedok?" Tanya Dion.

Bi Ai sejenak berpikir, "rasanya tidak ada, Den. Kenapa memangnya?" Tanya Bi Ai.

"Melati ingin karedok, kalau aku tidak membelikannya dia tidak mau makan," ujar Dion.

"Walah, Non Melati ngidam?" Tanya Dion.

Dion terdiam, ia menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Entahlah, Bi. Jadi bagaimana?" Tanya Dion.

"Bibi tidak yakin kalau jam segini masih ada yang jual karedok, tapi bagaimana kalau..."

Ucapan Bi Ai terhenti sejenak, membuat Dion penasaran dibuatnya.

"Kalau apa, Bi?" Tanya Dion.

Bi Ai tersenyum penuh kemenangan, membuat sang majikan semakin kebingungan dibuatnya.

"Kalau Bibi saja yang membuatnya, kebetulan stok sayuran masih ada di lemari pendingin," ujar Bi Ai.

Dion berpikir sejenak, "Bahan-bahannya lengkap?" Tanya Dion.

"Sebentar Bibi lihat dulu."

Bi Ai berjalan menuju lemari pendingin, ia memeriksa sayuran yang tersisa didalamnya.

"Kacang panjang ada, mentimun ada, touge ada. Hemm, sepertinya lengkap."

"Bagaimana, Bi?" Tanya Dion.

"Ada, Den. Lengkap semua," jawab Bi Ai sembari menutup pintu lemari pendingin.

"Baguslah. Emm, bumbunya?" Tanya Dion kembali.

"Gampang, Den. Ada bumbu kacang siap saji, cabai rawit juga masih ada." Bi Ai tersenyum senang.

"Baiklah kalau begitu, buatkan sekarang Bi."

Bi Ai mengangguk dan segera mengambil sayuran yang di perlukan, lalu ia mencucinya terlebih dulu.

"Aku bantu apa?" Tanya Dion.

"Bantu doa, Den." Bi Ai terkekeh.

Dion pun ikut tertawa, dengan sabar Dion menunggu asisten rumah tangganya itu beraksi.

Hampir lima belas menit berlalu, dan karedok pun telah selesai dibuat.

"Den, coba dulu. Kurang apa?" Pinta Bi Ai.

Dion meraih sendok kecil, dan memasukan satu suapan karedok kedalam mulutnya.

Lidah Dion kini tengah bergoyang, merasakan sensasi rasa yang dimunculkan.

"Enak, Bi. Pedas," ucap Dion.

"Mudah-mudahan Non Melati suka," ujar Bi Ai sembari memberikan sepiring berisi karedok pada Dion.

"Iya semoga, Bi. Terima kasih," ucap Dion.

"Iya, sama-sama, Den."

Dion pun berlalu meninggalkan dapur, dan bergegas kembali ke kamar.

Sesampainya disana, ia berjalan mendekati istrinya yang tengah terbaring diatas tempat tidur.

"Sayang, bangun. Karedoknya makan dulu," pinta Dion sembari menepuk pelan pipi istrinya.

Melati menggeliat, namun ia masih terlelap dalam tidurnya.

Dion mencoba kembali membangunkan Melati, namun usahanya tetap saja gagal.

Ia menaruh piring yang dibawanya keatas nakas, dan terduduk ditepi tempat tidur dengan raut wajah melemas.

"Tadi minta karedok, sudah dibuatkan malah tidur."

Dion menggerutu dalam hatinya.

Ia menatap wajah polos istrinya, rasa kecewanya sirna ketika teringat ucapan Bi Ai tentang ciri-ciri kehamilan.

"Semoga segera hadir malaikat kecil di tengah-tengah kita, sayang."

Dion mengecup pelan kening Melati dan menyelimuti tubuh mungil istrinya itu.

Terpopuler

Comments

Rosmayanti

Rosmayanti

visual thor

2020-11-18

1

Suharnik

Suharnik

Mbak Melati hamidun

2020-11-14

1

Sari Istiqomah

Sari Istiqomah

Assalamualikum semangat Berkarya thor

Aku Arfah like y'all, Mampir yuk keceritaku

Dia Untukku. Terimah Kasih

2020-09-20

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!