Hidup memang tak selalu memberikan apa yang kita inginkan, namun hidup juga memberi kita kesempatan untuk berjuang.
***
Dion tengah duduk di teras rumahnya, dapat di tebak apa yang tengah ia pikirkan. Ya, hal itu tak lain adalah kondisi istri tercintanya.
Bak tersambar petir di siang bolong, Dion benar-benar merasa hancur.
Sesekali ia memandangi Melati yang tengah asik menyiram tanaman, wajah cantiknya begitu bersinar ketika tersorot sinar matahari.
Melati menyiram tanaman kesayangannya dengan telaten, dan entah mengapa akhir-akhir ini ia merasakan perutnya yang sering terasa kram.
Dion terperanjat dan berlari mendekati istrinya, ia sangat sensitif ketika sekali saja melihat Melati meringis memegangi perutnya.
"Sayang, kau kenapa? Ada yang sakit? Sebelah mana, biar Mas cek." Dion mengusap lembut perut istrinya, hal itu tentu saja membuat Melati mengira bahwa suaminya telah bersikap berlebihan.
"Sayang, kenapa panik banget sih. Sepertinya ini hanya bawaan ketika hamil muda," sahut Melati dengan santainya.
Dion terdiam, ia menghentikan aktifitasnya. Dion menghela nafasnya, dan mengulum senyum tipis di depan istrinya.
"Maaf sayang, Mas hanya terlalu khawatir padamu dan calon anak kita." Dion mencari alasan.
Melati tertawa kecil, hatinya merasa senang melihat perlakuan suaminya yang begitu sigap.
***
Hari telah berganti, minggu pun ikut berlalu, bahkan bulan pun kini telah memasuki masa dimana hujan akan dengan intens menyambangi bumi ini. Semenjak Dion mengetahui kondisi kesehatan istrinya, ia memutuskan untuk mengurangi waktunya di cafe.
Dion ingin fokus memperhatikan perkembangan Melati, ia tak ingin melewatkan apapun yang menyangkut keselamatan istrinya.
Tanpa terasa, kehamilan Melati kini memasuki trimester ketiga, tepatnya sudah memasuki usia 30 minggu.
Melati sangat antusias menanti setiap waktu untuk bertemu sang buah hati, berbeda dengan Dion yang malah semakin cemas akan kesehatan istrinya.
Setiap ia mengantar istrinya untuk periksa, Dion harus lebih dulu memberi kode pada dokter yang akan mereka temui. Ia meminta dengan sangat untuk memberikan kabar baik saja pada istrinya, dan menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya.
Tentunya hal itu membuatnya muak, sudah kesekian kalinya ia harus menutupi hal pahit di depan istrinya.
***
"Mas tidak akan lama kan di rumah Ibu?" Tanya Melati sembari memperhatikan suaminya yang tengah bersiap-siap.
Dion menggelengkan kepalanya, ia masih merapihkan krah baju juga rambutnya di depan cermin.
"Sebentar, kok. Nanti malam Mas pulang," sahut Dion sembari berjalan mendekati istrinya.
Dion berjongkok di hadapan istrinya, tangannya mengelus lembut perut istrinya yang sudah semakin membesar.
"Baik-baik sama Mamah ya, sayang."
Begitulah yang selalu Dion ucapkan pada sang jabang bayi.
"Aku pergi dulu," ucap Dion sembari mencium kening istrinya.
Melati mengangguk dan mengantarkan Dion sampai teras rumah.
Setelah melihat mobil suaminya menjauh dari halaman rumah, Melati segera kembali masuk.
Tak butuh waktu lama, Dion telah sampai di kediaman orangtuanya.
Dengan langkah lebarnya, ia segera memasuki rumah yang penuh dengan kenangan semasa kecilnya.
"Assalamuallaikum, Bu." Dion menyapa orang rumah.
Terdengar sahutan di dalam sana, Dion segera menghampiri sumber suara.
"Bu, apa kabar?" Tanya Dion sembari mencium punggung tangan Ibunya.
"Baik, Yon. Kamu apa kabar? Gimana Melati?" Tanya balik sang ibu pada Dion.
"Seperti itulah, Bu. Masih dalam pemantauan, setiap bulannya selalu saja Melati mengeluh kesakitan." Dion menjawab dengan nada terendah.
Ibu Dion menghela nafas, beliau juga merasa prihatin atas kondisi menantunya itu. Terlebih ia juga khawatir pada calon cucu pertamanya.
"Kita hanya bisa berdoa, semoga keduanya bisa selamat." Ibu Dion memberikan semangat.
Dion tersenyum, dan meng-aamiinkan ucapan Ibunya.
Dari kejauhan datang seorang gadis seumuran Melati, perempuan itu membawa sebuah nampan berisi makanan ringan juga minuman.
"Bu, ini cemilannya." Perempuan yang mengenakan kerudung berwarna merah muda itu menaruh nampan di atas meja, tepat di hadapan Dion juga ibunya.
Ibu Dion terlihat tersenyum dengan ramah, dan meminta perempuan itu kembali meninggalkannya berdua dengan Dion.
Sekilas Dion memperhatikan perempuan itu, ia merasa asing dengannya.
"Bu, dia siapa?" Tanya Dion.
"Oh, dia. Namanya Rissa, kenapa memangnya?" Tanya balik ibu Dion.
Dion mengerutkan keningnya, "Rissa? Siapa dia, Bu?" Tanya Dion lagi.
Ibu Dion menaruh kembali minuman yang sempat di cicipinya, dan menjelaskan semuanya pada Dion.
"Dia yang nemenin Ibu di rumah," jawab ibu Dion.
"Sejak kapan, Bu?" Tanya Dion. Ia memang sudah lumayan lama tak menjenguk ibunya, terakhir bertemu saat memberi kabar kehamilan Melati.
"Sudah mau tujuh bulan, dia anak baik. Ibu nyaman di temenin sama Rissa," jawab ibu Dion.
Semenjak kepergian Ayah Dion, sang ibu sering merasa kesepian. Ia bahkan tak jarang meminta Dion untuk menemaninya, namun Melati selalu tak ingin berlama-lama di rumah mertuanya itu. Hal itu sedikit membuat jarak antar Melati dengan mertuanya.
"Kenal darimana, Bu?"
Dion masih dibuat penasaran oleh perempuan itu, terlebih ia tak ingin ada sembarang orang yang tinggal di rumah ibunya.
"Di panti asuhan, Ibu di kenalkan sama teman. Kamu tenang saja, Rissa anak baik-baik, kok." Seolah mengetahui kecemasan Dion, Ibunya langsung mencoba untuk meyakinkan Dion bahwa ia berada dengan orang yang tepat.
Dion mengangguk dan kembali melanjutkan perbincangan dengan ibunya.
***
Tak terasa langit sudah berubah warna, kilatan cahaya menandakan akan segera turun hujan.
Dion bergegas untuk segera pulang ke rumahnya, ia dengan tergesa berpamitan pada sang Ibu.
"Bu, Dion pamit dulu." Dion mencium punggung tangan Ibunya.
Ibu Dion mengangguk, "hati-hati di jalan, Yon."
Dion menganggukkan kepalanya, dan segera berlalu meninggalkan Ibunya lagi.
Baru saja beberapa kilo meter Dion meninggalkan kediaman orangtuanya, hujan sudah mengguyur dengan lebatnya.
Jarak pandang mulai sedikit kabur, hal itu membuat Dion semakin menajamkan matanya.
Dari arah sebelah kanan mobilnya, tanpa sengaja Dion melihat seseorang yang tengah berteduh. Pakaiannya sudah tampak basah, mungkin orang itu telah kehujanan lebih dulu sebelum menemukan tempat berteduh.
Dion menghentikan mobilnya, ia dengan cepat membanting kemudi dan berbalik arah.
Dion keluar dari mobilnya, dan berlari mendekati seseorang itu.
"Hey, sedang apa kau disini?" Tanya Dion sembari mengibaskan pakaiaanya yang sedikit basah karena air hujan.
Seseorang itu mengerutkan keningnya, memperhatikan sekilas lelaki yang menyapanya.
"Saya sedang berteduh," jawabnya asal.
Dion menghela nafasnya, "aku tahu kau sedang berteduh, maksudku kenapa kau ada diluar rumah?" Tanya Dion dengan sedikit kesal.
"Saya habis belanja kebutuhan dirumah," jawab seseorang itu seadanya.
Dion memperhatikan barang bawaan yang berada tepat di bawah kakinya, hal itu membuat Dion berniat untuk mengantarkan orang itu pulang.
"Masuk ke mobil, biar aku antar!" Seru Dion.
"Hah?"
Hanya kata itu yang keluar dari mulut wanita yang tak lain ialah Rissa.
"Kenapa? Kau tidak mengerti ucapanku? Masuk ke mobil!" Seru Dion kembali.
"Maaf memangnya kita saling kenal?" Tanya Rissa masih menelisik wajah Dion.
Dion mengusap wajahnya dengan kasar, "kau yang bekerja di rumah Ibuku, kan?" Tanya Dion.
Rissa tak menjawab, membuat Dion semakin kesal.
"Ibu Anna!" Seru Dion memperjelas.
"Oh, Bu Anna. Iya saya bekerja disana," jawab Rissa. Rissa baru mengingat wajah Dion, sewaktu mengantarkan minuman untuk majikannya, ia tak memperhatikan Dion dengan seksama. Rissa juga tak sempat berpamitan pada Ibu Anna ketika hendak pergi berbelanja, wajar jika awalnya Rissa sempat tak mengenali Dion.
"Ya sudah masuk, aku antar kau pulang!" Seru Dion kembali.
Rissa mengangguk, dan segera meraih kantong belanjanya. Dion telah lebih dulu masuk ke dalam mobil, hal itu sedikit membuat Rissa berdecak karena ia pikir anak majikannya itu akan membantunya memasukkan barang belanjaannya yang cukup banyak.
Setelah semua barang-barangnya masuk, Rissa segera berjalan hendak membuka pintu belakang mobil.
"Hey, kau mau apa?" Tanya Dion membuat Rissa menghentikan tubuhnya yang hendak masuk ke dalam mobil.
"Mau duduk, Mas" Rissa menjawab seadanya.
"Duduk di depan! Memangnya aku supirmu!" Seru Dion.
Rissa menghembuskan nafasnya, dan segera pindah ke kursi depan.
"Kau menghabiskan waktuku saja, kalau bukan menyangkut kebutuhan ibuku, aku tidak mau repot-repot putar balik!" Gerutu Dion di dalam mobil.
Rissa menundukkan wajahnya, ia tak berniat menimpali ucapan anak majikannya itu.
"Aku kan tidak minta dia mengantarkanku, kalau tidak ikhlas menolong kenapa harus memaksakan diri." Rissa berucap dalam hatinya.
Selama di perjalanan, Dion dan Rissa tak saling berucap satu sama lain.
"Sudah sampai, bisa langsung turun dan bawa belanjaan ibuku ke rumah. Jangan lama, aku buru-buru!" Seru Dion.
Rissa mengangguk dan segera menurunkan barang belanjaanya.
"Makasih..."
Rissa hendak mengucapkan kata itu, namun mobil Dion sudah melaju cepat dari hadapannya.
"Hemm, kenapa orang kaya sikapnya selalu seperti itu. Sama, kaya di sinetron-sinetron," gerutu Rissa dan segera membawa barangnya ke dalam rumah.
***
Dion melajukan kendaraanya dengan cepat, ia tidak ingin istrinya menunggu lama. Terlebih waktu yang ia janjikan untuk pulang sudah lebih satu jam, hal itu membuat Dion merasa bersalah.
Sesampainya di halaman rumah, Dion segera memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Ia segera masuk ke dalam rumah, dan berjalan menemui istrinya.
"Sayang, aku pulang."
Dion berucap sembari berjalan menuju kamarnya.
Ketika ia sudah berada di dalam kamar, Melati tak menampakkan batang hidungnya.
Dion mengedarkan pandangannya, dan mencari keberadaan istrinya.
"Mel, kamu dimana?" Teriak Dion namun tak ada jawaban.
Dion kebingungan, langkahnya kini menuju kamar mandi.
Sebuah pemandangan yang tak ingin dilihatnya, kini terpampang nyata di hadapannya.
Dion segera memburu istrinya yang tergeletak di lantai kamar mandi, "Mel, kamu kenapa?" Teriak Dion.
"Bi, Bi, tolong..."
Dion berteriak meminta bantuan asisten rumah tangganya.
Suara hentakkan kaki terdengar jelas menuju kamarnya, suara itu bersumber dari Bi Ai yang berlari ketika mendengar teriakan Dion.
"Ada apa, Den?" Tanya Bi Ai dengan nafas tersengal.
"Panggilkan ambulan!" Seru Dion.
Bi Ai menurut, dan segera menghubungi ambulan.
"Sayang kenapa bisa seperti ini?" Dion merengkuh tubuh istrinya yang tak berdaya.
Sayup-sayup terdengar suara Melati yang meringis, hal itu menbuat Dion semakin panik.
"Sakit, Mas. Perutku," ucap Melati dengan lemah.
Dion menyeka air matanya, "sabar, sayang. Aku mohon bertahanlah," pinta Dion dengan sangat.
Ambulan telah datang, kini Dion sudah berada didalam mobil bersama Melati yang kembali tak sadarkan diri.
"Pak, tolong bawa mobilnya yang cepat!" Pinta Dion pada sopir ambulan.
Suara sirine berbunyi nyaring, membuat mobil-mobil di depannya seketika memberi ruang untuk kelancaran laju mobil ambulan.
Sesampainya di rumah sakit, Melati segera di larikan ke ruang gawat darurat.
Dion harus terpaksa menunggu istrinya di luar ruangan, karena memang prosedur yang di tentukan membuatnya tak bisa berbuat apapun.
"Maafkan aku Mel, maaf. Aku terlambat datang menolongmu," ucap Dion sembari menangis.
Dion mendudukkan tubuhnya di samping pintu UGD, ia juga menyempatkan untuk mengabari Ibu juga kedua mertuanya.
Dion tertunduk, ia benar-benar ketakutan saat ini.
***
Sudah hampir satu jam Melati berada di dalam ruangan, Dion pun sudah beberapa kali mondar mandir menunggu kabar istrinya.
"Ya Allah, selamatkan anak juga istriku." Dion berdoa dengan sungguh-sungguh.
Dari kejauhan ibu Anna datang, dengan di temani oleh Rissa.
Ibu Anna berjalan dengan tergesa, ia juga merasa khawatir ketika mendengar kabar menantunya itu.
"Dion, gimana istrimu?" Tanya Ibu Anna.
Dion yang sedari tertunduk, langsung mengangkat kepalanya. Dion berdiri dari tempatnya, tatapannya kini tertuju pada wanita yang berada di belakang Ibunya.
"Kau! Kalau saja aku tidak bertemu dan mengantarkanmu pulang mungkin aku tidak akan terlambat datang menolong istriku!" Seru Dion sembari menunjuk wajah Rissa.
Rissa terkejut, tubuhnya bergetar hebat. Ibu Anna sama terkejutnya dengan Rissa, terlebih ia tak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
"Dion, kenapa kamu bicara seperti itu sama Rissa? Apa maksudmu?" Tanya Ibu Anna.
Dion tak menjawab, tubuhnya kembali ambruk. Dion kembali tertunduk, dan isakannya kini semakin terdengar jelas.
Rissa menatap Dion dengan perasaan yang tak dapat di jelaskan, ia tak mengerti kenapa Dion semarah itu padanya.
Rissa melihat kesedihan yang begitu dalam pada Dion, ia tak berkutik sama sekali. Ia hanya berharap semua akan baik-baik saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Eva Rubani
lanjut..
2023-05-14
0
Triya Lestari
laki2 aneh yg minta ditolongin siapa 😀
2021-02-07
1
Nur Ain
Duh sendiri yg berhenti tolong... D salah jugak
2020-12-19
0