BAB 4

"Morning, Pa," sapaku saat melihat papa tengah bersiap untuk sarapan.

"Pagi, Sayang." Papa membalas sapaanku dengan senyuman hangat. "Udah siap aja kamu. Pagi banget emang?"

"Nggak juga," jawabku sesaat setelah duduk di depan papa. "Papa aja yang agak siang hari ini."

"Emang iya?"

Aku mengangguk.

"Berkat kamu, kerjaan Papa jadi lebih ringan."

Kubalas ucapan papa dengan seulas senyum. Haruslah! Jika tidak untuk meringankan beban papa, ogah banget dijodohin sama tutor om-om bastard sialan itu!

Makan dengan sambal sebagai menu utama adalah kebiasaanku. Tanpa sambal, seenak apapun makanan yang ada, entah mengapa lidahku terasa hambar. Oh! Ralat. Bukan sambal, tapi pedas. But, cita rasa makanan akan lebih menggugah selera saat ada sambal sebagai pelengkapnya.

Usai makan, papa pamit berangkat ke kantor. Tepat setelah papa pergi, Mbak Ning berkata bahwa tutorku sudah datang. Ah! Bu Sia. Hari ini aku akan meminta banyak soal agar pikiranku teralih dari kejadian semalam. Aku bergegas menuju ruang tamu untuk menemui ....

"Pak Glenn?!"

•••

Tak pernah terlintas dalam benakku tentang yang saat ini terjadi. Berada di dalam ruang belajarku yang sunyi nan menenangkan, bersama seseorang yang paling kubenci dalam hidup. Baru kali ini aku benar-benar membenci seseorang. Saat kutanya mengapa bukan Bu Sia yang datang, dengan entengnya Pak Glenn berkata, "Saya tidak tahu." Cih! Bohong banget!

Beda dari biasanya, bersama Pak Glenn, aku memulai belajar hari ini dengan pelajaran favoritku di urutan terakhir. Katanya, mata pelajaran favorit itu seperti mood booster yang dikeluarkan saat kita merasa bosan. Kuakui, ucapan Pak Glenn ada benarnya. Karena aku berencana mengambil jurusan IPA, aku diberi sepuluh soal fisika, sepuluh soal kimia, dan lima belas soal biologi. Aku menyelesaikan semua soal dalam waktu kurang dari dua jam. Lanjut, kali ini Pak Glenn memberiku dua puluh lima soal matematika. Karena pelajaran ini yang paling kusuka, aku menerima dan mengerjakan soal-soal itu dengan santai. Namun, tanganku berhenti bergerak di soal terakhir. Soal ini terasa begitu asing.

"Kenapa? Ada yang kamu tidak mengerti?" tanya Pak Glenn. Sepertinya, dia benar-benar memperhatikanku sejak tadi. Buktinya, Pak Glenn langsung sadar saat aku berhenti mengerjakan.

Manik mataku masih terpaku pada soal itu. Tidak terlalu asing. Saat aku mengingatnya kembali ... ah! Ini materi baru yang Pak Glenn sampaikan di Starlight Bimbel. Huh! Sayang sekali aku tidak begitu memperhatikan materinya sebab terlanjur muak dengan hanya menatap wajah si tutor om-om bastard ini.

"Melati?"

"Hm?" jawabku, tanpa mengalihkan pandangan dari satu soal matematika yang masih berusaha kujawab. Ayolah otak! Berputarlah!

"Ada yang kamu tidak bisa? Saya bisa ajari kamu."

"Bisa," balasku, keukeuh.

Tanpa aba-aba, Pak Glenn menarik buku tebal tempat soal yang sukses membuat kepalaku pening. Aku mendongak untuk menatapnya, lalu segera kupalingkan muka ketika manik matanya menerpa wajahku.

"Ini materi yang saya sampaikan di Starlight Bimbel Senin kemarin." Pak Glenn menatapku lekat-lekat, membuatku terpaksa memberanikan diri untuk kembali menatapnya. "Kamu benar-benar tidak memperhatikan saya?"

Hal yang selalu tanpa sadar kulakukan saat gugup: menggigit bibir bawahku. Pasalnya, nada suara Pak Glenn terdengar mengintimidasi. Aku menunduk, nyaliku ciut saat manik mata kami bertemu. Kukira Pak Glenn akan marah, atau setidaknya melakukan hal-hal diluar dugaan. Namun, pikiranku salah, dia hanya menghela napas berat. Aku masih belum berniat untuk mendongak. Sampai akhirnya, Pak Glenn menarik daguku dengan jari telunjuknya, membuatku terpaksa harus kembali tenggelam dalam tatapannya yang tegas, namun menyejukkan. Aish! Apa yang baru saja terlintas dalam benakku? Sadar, Melati!

Sentuhan ibu jari yang mengusap bibirku, membuat ragaku terpaku. Lidahku terasa kelu, tak sanggup berkata-kata. "Bisa saya minta sesuatu?" tanyanya lembut. Seolah terhipnotis, aku mengangguk. "Jangan keseringan gigit bibir kamu. Berdarah, kan, jadinya?" Oh, masa, sih? Perasaan, aku tidak merasa perih.

Pak Glenn melepas sentuhannya di bibirku. Saat itu, tersadarlah aku bahwa sedari tadi tengah menahan napas. Benar ternyata, aku merasakan perih di bibir bawahku sesaat kemudian.

"Kamu mau saya jelasin tentang materi ini?" tanya Pak Glenn yang kujawab dengan anggukan. Lalu, dia benar-benar melakukan apa yang tadi dikatakannya. Jika sedang fokus menjadi guru seperti ini, Pak Glenn tampak begitu ... manusiawi.

•••

Jadwal belajarku hari ini selesai pukul 15.00. Biasanya, tutor yang akan pulang dari rumahku akan makan terlebih dahulu. Tetapi, berhubung tutor kali ini berbeda, aku tidak yakin akan duduk satu meja dengannya. Yah! Ternyata opini itu tidak benar untuk waktu yang lama. Buktinya, kini aku sedang duduk berhadapan di meja makan dengan tutor om-om bastard sialan itu! Aish! Stop mengumpat, Melati!

"Kamu bisa masak?" tanya Pak Glenn tiba-tiba. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, tanpa mengalihkan pandangan dari piring berisi ayam goreng di hadapanku. "Bagus. Seharusnya memang begitu."

Kali ini, kata-katanya berhasil membuatku penasaran. Saat aku mendongak untuk menatap wajahnya, dia tengah mengulas senyum nakal padaku. Dasar Glenn gila! "Kenapa?" tanyaku, tak mampu lagi menerka rasa penasaran.

Pak Glenn tersenyum. Senyum yang mungkin akan membuat kaum hawa meleleh, tetapi malah membuat bulu kudukku meremang. Jangan bilang .... "Karena calon istri saya harus bisa masak." Tuh, kan! Bodoh! Mengapa aku harus bertanya tadi?!

"Kamu suka pedas, ya? Mulai sekarang, kurang-kurangi, deh, Mel." Apa-apaan? Siapa dia berhak mengatur-atur hidupku? Papa saja santai melihatku melahap sambal sebanyak apapun. Enggan berdebat, aku hanya merespon Pak Glenn dengan dehaman singkat. Kali ini Dewa Keberuntungan berpihak padaku, sebab Pak Glenn berniat untuk segera pergi.

"Kamu nggak mau antar saya?" tanya Pak Glenn saat melihatku masih menikmati sisa sambal dan ayam goreng buatan Mbak Ning yang sungguh ... perfect! Sepertinya, aku harus belajar banyak tentang masak-memasak dengan Mbak Ning.

"Melati ...." Fine! Jika Pak Glenn sudah memanggilku begini, itu artinya aku harus menuruti keinginannya. Dasar pemaksa!

Pak Glenn tersenyum saat melihatku berdiri. Ish! Dia kira senyumnya itu membuatku terpana? Tidak akan! Ya

... Ya ... Fine! Aku memang sedikit terpana. Sedikit! Camkan itu!

Sesampainya di pelataran rumahku, tepatnya di samping mobil Pak Glenn, langkahnya terhenti. Tangannya menarik ikatan rambutku, membuat bola mataku melebar. Sebenarnya, apa yang salah dengan caraku mengikat rambut?! Sejelek itukah?!

"Bapak apaan, sih?!" tukasku, seraya merebut kembali pita milikku dari genggamannya. Syukurlah, kali ini Pak Glenn tidak berniat menyita pita putihku.

"Kamu cuma boleh mengikat rambut saat sedang bersama saya. Hanya kita, berdua." Senyumnya melebar usai mengucap kalimat itu.

Bibirku sudah terbuka untuk menagih alasan mengapa Pak Glenn melakukannya. Namun, di mendaratkan bibirnya pada permukaan keningku. Gilaaaa!!! Jantungku!!! Lebih sering bersama Pak Glenn, bisa-bisa aku mati mudah karena serangan jantung. Untung tidak ada tetangga yang melihat.

Usai berada di balik kursi kemudi, Pak Glenn menurunkan kaca mobil di sisi kiri, membuat manik mata kami kembali beradu. Dia tersenyum, membuatku terpaksa harus membalas senyumannya. Jika tidak, kupastikan om-om bastard itu akan turun dari mobilnya dan kembali berulah.

Aku baru akan kembali masuk ke rumah saat mendengar sebuah suara. "Siapa, Mel?" Saat aku membalikkan badan untuk melihat si pemilik suara, manik mataku menangkap sosok Bagas dengan balutan seragam putih-abu-abunya. Kupikir, dia baru pulang sekolah, terbukti dengan dirinya yang baru saja memasukkan motor.

"Ehm ... itu ... totur baru gue," jawabku, ragu.

"Emang Bu Giska ke mana?"

"Pindah."

Mulut Bagas membentuk huruf O. "Yakin cuma tutor baru?"

Aku mengangguk. Masih ingat bahwa seorang Melati bukan orang yang pandai berakting? Itu terjadi sekarang, Bagas tengah menatapku curiga. Merasa risih, aku bertanya padanya, "Kenapa lihatin gue kayak gitu?"

"Tadi gue lihat dia nyium lo."

'Duar!'

Baru tadi aku merasa lega sebab tak ada tetangga yang melihat aksi gila Pak Glenn. Tapi ternyata, mata manusia memang tak pernah luput dari kesalahan.

"Mel, kok, diem? Beneran tutor tadi nyium lo?"

Aku menghela napas berat. "Yuk, masuk! Gue ceritain di dalam."

Terpopuler

Comments

temok

temok

bagas suka mel y...,

2021-03-12

1

Marulianna Sianturi

Marulianna Sianturi

wah ...parah tu psk gleen ,kayaknya udh kwnal deh dengan melati ,. ada apa y👍👍👍🤔🤔🤔

2021-02-09

1

pecinta time travel

pecinta time travel

duar meletup hati gue😅😅

2021-02-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!