BAB 1

Menjalani hari-hari sebagai seorang anak homeschooling bukanlah hal yang mudah. Aku sering kali dianggap sebelah mata. Terutama oleh para sepupuku. Padahal, homeschooling adalah cara papa untuk menjauhkan aku dari pergaulan bebas. Dan ya, aku menyetujuinya. Bahkan, aku pro dengan papa. Mendengar cerita-cerita 'seram' dari tetanggaku—Bagas—yang kini menjadi siswa SMA, membuatku bersyukur memiliki papa.

Oh, ingin tahu tentang mama? Mamaku meninggal saat aku dilahirkan. Ini juga salah satu faktor keluarga mama tidak begitu suka terhadapku, terutama eyang. Aku tidak peduli. Toh, aku punya papa yang selalu membuatku merasa lengkap. Aku akui, kebanyakan teman-teman yang juga menjadi seorang anak homeschooling sepertiku adalah anak-anak 'istimewa'. Tetapi, tidak semua. Tidak semua. Camkan itu! Contohnya, seperti aku dan Tita. Aku bisa saja masuk SMA, dan menjalani aktivitas membosankan yang terikat dengan banyak peraturan. Tetapi, ini adalah hidupku, dan aku berhak untuk memilih. Dan ya, sesimpel itu. Sementara Tita, dia memilih homeschooling karena trauma dengan kata 'sekolah'.

Aku memasuki kelas A1 di Starlight Bimbel dan duduk di bangku tempatku duduk seperti biasa. Di sini, ada sekitar 50 kelas. Kelas X SMA sederajat, dibagi menjadi sepuluh kelas. Hal yang sama berlaku pula untuk kelas XI dan XII sederajat. Sisanya, adalah kelas dengan berbagai macam jurusan, seperti matematika, fisika, biologi, kimia, sejarah, bahasa, dan kawan-kawan. Untuk pendidikan di bawah SMA, di Starlight hanya mengadakan les privat.

Mata pelajaran matematika yang paling kusuka. Apalagi, dengan Pak Hasan yang amat-sangat ramah dan sabar. Metode pembelajarannya pun menyenangkan. Mirip dengan anak perempuannya—Bu Giska—yang menjadi guru privatku di Starlight Bimbel.

Sebelum pelajaran dimulai, hal yang biasa aku lakukan adalah menonton trik-trik asyik menghitung melalui YouTube. Ini yang paling kusuka dari metode pembelajaran homeschooling: kita tidak perlu mempelajari hal-hal yang tidak kita suka. Di kelas ini, ada lima belas orang siswa, termasuk diriku. Tidak setiap hari aku mengikuti pembelajaran di tempat bimbel, hanya setiap hari Senin dan Kamis. Selebihnya, aku memilih untuk mengambil privat di rumah.

Pak Hasan memasuki kelas tepat setelah video yang kuputar habis.

"Selamat pagi, anak-anak cerdas!" sapanya yang selalu penuh keceriaan.

"Pagi, Pak!" sahut seisi kelas dengan kompak.

"Dua hari lagi saya akan melanjutkan studi di Amsterdam."

"Wah! Selamat, Pak!" seru gadis di belakang yang kuketahui bernama Laras.

"Terima kasih," balas Pak Hasan ramah. "Oleh karena itu, mulai hari ini akan ada tutor baru yang akan menggantikan saya."

What?! Tutor baru? Ah! Apa ini rasanya ditinggal saat sedang sayang-sayangnya? Wait-wait! Kalau Pak Hasan pindah ke Amsterdam, berarti ....

"Bu Giska juga ikut pindah, Pak?" tanyaku tanpa mempedulikan tatapan heran seisi kelas.

Pak Hasan mengangguk. "Ya. Kami sekeluarga pindah ke sana." Tatapan Pak Hasan beralih ke pintu kelas. "Pak Glenn, silakan masuk."

Seorang pria bertubuh jangkung dengan tinggi badan sekitar 175 sentimeter yang mengenakan kemeja kotak-kotak warna hitam-abu-abu itu memasuki kelasku dengan langkah tegap. Dari wajahnya, aku bisa menebak bahwa usianya sekitar dua puluh lima tahun. Senyumnya yang hangat membuatku kagum barang sesaat. Tapi, tunggu-tunggu. Jika lebih diperhatikan lagi ... dia ... dia, kan ... OH NO! DIA SI OM-OM BRENGSEK ITU!

Dan apa tadi yang kukatakan? Kagum? KAGUM?! Demi apapun! Dosa apa yang telah kulakukan hingga harus mendapat tutor pengganti seperti dia? Dan mengapa, om-om brengsek macam dia bisa jadi tutor di sini? Arghhh!!!

"Baiklah, anak-anak. Mulai hari ini kalian akan diajar oleh Pak Glenn," ucap Pak Hasan yang menjadi kata-kata terakhirnya sebelum meninggalkan kelas. Good bye Pak Hasan. Thank's for everything. Good luck. I wanna miss you so much. Hiks!

"Perkenalkan, saya Glennio Pangestu. Mulai hari ini, saya akan menjadi tutor tetap kalian, sebagai ganti Pak Hasan." Pak Glenn mengamati kami satu-persatu, lalu dia tampak tersenyum puas. "Saya senang melihat wajah-wajah cerdas kalian. Saya harap, kita bisa sama-sama merasa nyaman dalam proses belajar-mengajar nanti." Jeda sejenak. Pak Glenn tampak menulis sesuatu di kertas, kemudian kembali mendongak dan menatap para muridnya. "Oh, ya. Rasanya tidak adil jika hanya saya yang memperkenalkan diri. Oleh karena itu, silakan perkenalkan diri kalian. Cukup berdiri, kemudian sebutkan nama lengkap, nama panggilan, serta umur. Silakan, mulai dari kamu." Hah?! Aku?! "Iya! Kamu!"

Aku mendengus pelan. Melihat wajahnya, mengingatkanku kembali pada kejadian semalam. Menjijikkan! "Putri Ayla Melati. Melati. Lima belas tahun." Cukup. Aku duduk kembali tanpa mempedulikan ekspresinya yang sudah bisa kutebak seperti apa.

***

Baru kali ini aku merasakan betapa membosankan pelajaran matematika. Semua ini gara-gara om-om sialan itu! Dari semua makhluk, semua manusia, dan semua guru di dunia ini, mengapa harus dia?! Ish!

'Bruk!'

"Awh!" Tanganku refleks mengusap-usap kening yang kurasa sebentar lagi akan benjol. Saat indra pengelihatanku menjelajah sekeliling, barulah aku tersadar kini telah berada di area parkir.

"Mobil saya sekecil itu, ya, sampai tidak terlihat oleh mata kamu?"

Suara bariton yang terasa menusuk gendang telinga itu lantas membuatku membalikkan badan. Sial! Kenapa harus ketemu om-om bastard ini lagi, sih?!

"Kamu ada masalah sama saya?" Hm. Emang sejelas itu, ya?

Aku berusaha menarik kedua ujung bibirku hingga membentuk sebuah senyuman. "Nggak, Pak."

"Kenapa tadi di kelas kamu tidak mendengarkan penjelasan saya? Kamu merasa pintar?" Nyolot banget, sih, nih, om-om!

"Maaf, Pak. Saya harus pulang sekarang," kataku, berusaha tetap sopan.

"Saya tahu kamu salah satu murid terbaik di Starlight Bimbel, apalagi di bidang studi matematika. Tapi, sebaiknya kamu tahu di mana posisi kamu."

Aku berdecak pelan. "Gimana nggak males orang lu brengsek," gumamku.

"Apa kamu bilang?" Sial! Dia denger?

Kembali kuulas senyum sopan. "Permisi, Pak." Aku melenggang tanpa menghiraukannya. Namun, sepertinya keberuntunganku sedang melanglang buana sekarang. Baru tiga langkah, dia memutar bahuku hingga aku terpaksa harus menatap matanya. Persis kejadian semalam!

"Saya dengar, tadi kamu bilang saya brengsek? Benar?"

"Bapak salah dengar kali," ucapku sembari unjuk tampang tak berdosa.

Pak Glenn diam. Diam saja, sih, bukan masalah. Tapi, tatapannya itu, lho! Sekuat tenaga aku mencoba untuk mengalihkan pandangan, namun bola mata hitamnya mengunci manik mataku. Oh, God! What should I do?

Diam-diam, aku mencoba untuk menarik napas, kemudian mengembuskannya perlahan. Berhasil. Selanjutnya, aku harus mengalihkan pandangan. Dan, berhasil! Selanjutnya ....

DAMN!

Dia meraih daguku dengan satu jari telunjuknya. Sarat intimidasi begitu jelas terlihat di balik mata hitamnya. Papa!!! Help me!

"Kamu takut sama saya?" tanyanya, tanpa mengubah posisi sedikitpun.

"Ng—"

"Kita pernah ketemu sebelumnya?"

******! Gimana kalau om-om bastard ini inget? Gimana kalau ...?

"Melati ...."

Aduh! Aku harus bagaimana sekarang? Nggak mungkin, kan, aku jujur soal kejadian semalam?

"Maaf, Pak, tapi saya harus pulang sekarang," ucapku cepat. "Permisi."

Belum sempat kakiku melangkah, dua tangannya dengan lancang membanting tubuhku hingga bersandar di pintu mobil. Kedua lengannya menghimpit tubuhku. Perlahan, wajahnya terus mendekat. Oh, tidak! Jangan bilang ....

'Cup!'

'Cekrek!'

Sentuhan mouth to mouth dalam jangka waktu sepersekian detik itu membuatku menegang. Tadi ada suara potret? Atau hanya perasaanku saja?

"Saya ingat siapa kamu. Kalau kamu berani mengacuhkan saya seperti tadi, saya pastikan ciuman ini bukan yang terakhir. Dan ya, saya tahu semua latar belakang murid saya. Terutama alasan mengapa dia harus homeschooling. Oleh karena itu, foto ini, akan saya jadikan senjata apabila saya mendengar sekali lagi kamu berani sebut saya brengsek. Biar kamu tahu bagaimana rasanya menjadi istri dari seorang pria brengsek seperti saya."

Apa-apaan?! Istri?! Yang benar saja! Ogah! Amit-amit!

Setelah mengucapkan kata-kata yang sangat-amat tidak penting itu, Pak Glenn pergi begitu saja. Memasuki mobilnya dengan gerakan santai dan senyum penuh tebar pesona pada dua orang guru yang baru saja keluar gerbang. Meninggalkanku dan otakku yang masih berusaha memproses kejadian barusan. Suara potret, dan apa tadi katanya? Foto? FOTO?!

"GLENNN SIALAN!"

*

*

*

*

*

GIMANA BAB INI? BERHASIL BIKIN GREGET NGGAK?

SELALU BACA CERITA 'MY BELOVED BASTARD', YA! JANGAN LUPA LIKE, VOTE, DAN KOMEN.

DITUNGGU BAB SELANJUTNYA! :)

*

*

*

CAST:

PUTRI AYLA MELATI

GLENNIO PANGESTU

Terpopuler

Comments

💋🅲🅷🆈💋

💋🅲🅷🆈💋

visualnya uwwu banget😍😍😍

2021-05-15

1

Dinar Rizzki

Dinar Rizzki

seruu sekaliiii

2021-03-17

1

temok

temok

smoga seru y....

2021-03-12

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!