"Hai, Melati." Suaranya membuat ragaku terbujur kaku. Tolong jelaskan! TOLONG! Kenapa harus dia?! "Kamu cantik malam ini."
Layaknya tersambar petir, aku segera mengempas sentuhannya di daguku, lalu memalingkan muka. Aku beranjak dan pindah tempat duduk, kini kami berhadapan. Namun, aku memilih memainkan ponsel. Nyatanya, menjelajahi dunia maya lebih menenangkan daripada duduk bersebelahan dengan Pak Glenn di dunia nyata.
'Kruyukkk!'
Tanpa mendongakkan kepala, aku menatap wajah Pak Glenn dengan lirikan. Syukurlah, dia tidak mendengar suara perutku tadi. Dengan santai, aku kembali ke dunia maya.
"Kalau laper, makan." Kata-katanya membuatku menegang. Sialan. Gendang telinganya tajam juga ternyata.
Kulirik beberapa makanan yang telah tersaji di atas meja. Daging, ikan bakar, ayam panggang, sambal. Arghhh!!! Tahan, Mel! Tahan!
Seorang pelayan datang dengan dua buah minuman dingin. Dengan cepat, tanganku menyambar salah satunya. Minum saja tidak masalah, 'kan? Namun, saat ujung sedotan sudah menyentuh permukaan bibirku, seseorang menyambar gelasnya. Refleks, aku menatapnya tajam. Senyum-senyum, dikira lucu, hah?!
Enggan terpancing oleh kejahilan om-om bastard itu, aku kembali memainkan ponsel. Tapi, tiba-tiba, aku merasakan seseorang duduk di sebelahku.
"Bapak ngapain, sih?!" kesalku, sebab orang itu adalah Pak Glenn. Si tutor om-om bastard!
Bukannya menjawab, dia malah menarik kunciran rambutku dengan santai, membuat kedua mataku lantas terbelalak. Apa-apaan ini?! Lancang sekali!
"APA-APAAN, SIH, PAK---" Teriakanku terhenti oleh sentuhan jari telunjuknya yang mendarat di permukaan bibirku.
"Bicaranya pelan-pelan. Saya ada di sebelah kamu," bisiknya, membuat bulu kudukku meremang. Ngeri.
"YA, BAPAK NGAP---"
"Sudah saya bilang, bicaranya pelan-pelan, Melati."
Aku mengempas bekapan tangannya dengan kasar. Ish! Jadi berantakan, kan, rambutku!
"Tenang aja. Kamu tetap cantik, kok, gimana pun model rambutmu," ucapnya, membuatku mendengus malas. Kurapikam rambutku menggunakan jari-jari sembari berdecak sebal. "Tapi, lebih cantik kalau rambut kamu diurai. Jangan pernah nguncir rambut kayak tadi, oke?"
Dih! Siapa dia merintah-merintah?!
Melihat genggamannya pada pita warna hitam milikku mengendur, aku segera merampasnya. Kuikat rambutku seperti semula, dengan tatapan tajam penuh sarat menantang ke arahnya. Entah pengelihatanku yang salah, atau memang sedang terjadi, aku melihat rahang Pak Glenn mengeras. Oh-oh! Seperti dia akan marah.
Selesai! Aku kembali memalingkan muka dan bermain ponsel. Tanpa mempedulikan pria di sebelahnya yang membuat euforia restoran ini terasa agak ... mencekam. Sayang sekali, rambutku yang rapi tidak bertahan lama, ia kembali menarik pita hingga ikatan rambutku terlepas. Kali ini, Pak Glenn menyita pitaku. Dia memasukkannya ke dalam saku jas. Apa, sih, maksudnya?! Menyebalkan!
Tiba-tiba, aku merasa tubuhku melayang. Mataku terbelalak begitu menyadari apa yang tengah terjadi. Pak Glenn menggendong tubuhku ala bridge style. Gila!
"PAK! APA-APAAN, SIH?!" Tanganku tak henti memukul-mukul dadanya. Hingga energiku nyaris tak bersisa, Pak Glenn masih melangkah dengan santainya. Tanpa mempedulikan teriakanku, juga tatapan beberapa pasang mata. Argh! I hate this! Papa!!! Help me!!!
Akhirnya, aku menyerah. Pasrah dalam gendongan seorang om-om bastard sialan ini. Sampai di samping sebuah mobil sedan berwarna putih, Pak Glenn menurunkanku, namun tidak berkata apa-apa. Melihat mobil ini, membuat memoriku terpental kembali pada kejadian di depan Starlight Bimbel kemarin. Glenn sialan! Bisa-bisanya Papa menjodohkan putri cantiknya dengan om-om bastard macam Glennio Pangestu.
Dia membuka pintu mobil di sisi kiri, kemudian manik matanya menghunus bola mataku. "Masuk," ucapnya telak.
Aku menggeleng, tanpa suara.
"Masuk!" Entah mengapa, kali ini suaranya terdengar menyeramkan.
Aku masih bergeming. Menggigit bibir bawahku kuat-kuat. What should I do?!
"Melati ...."
Fine! Akhirnya, aku masuk mobil. Pasrah. Setelah pintu mobil tertutup, Pak Glenn bergegas menuju kursi kemudi. Aku belum mendengar tanda-tanda bahwa pintu mobil terkunci. Oleh karena itu, tanganku meraba pintu di sebelah kiriku, bersiap kabur. Namun, Pak Glenn tiba-tiba mendekat. Wajahnya nyaris tak berjarak dengan wajahku. Sungguh! Napasku terasa sesak. Pasokan udara di dalam paru-paruku tiba-tiba lenyap. Susah payah aku meneguk saliva.
"Kalau kamu coba-coba kabur, saya cium kamu," bisiknya, membuat bulu kudukku merinding.
'Klik!'
Aku baru menyadari Pak Glenn baru saja memakaikan sabuk pengaman saat jarak di antara kami kembali normal.
Tak lama kemudian, mobil yang kami tumpangi melesat, membelah jalanan ibu kota. Laju kecepatan mobil ini memang normal, namun entah mengapa jantungku terasa berdebar. Kulirik Pak Glenn dengan ekor mataku. Dia masih diam, tidak ada tanda-tanda akan menjelaskan ke mana dia akan membawaku. Ish! Dasar om-om bastard nyebelin!
"Kita ... mau ke mana, Pak?" Akhirnya, aku memberanikan diri untuk bertanya.
Bukannya menjawab, Pak Glenn malah terkekeh. Dih! Gila, nih, om-om! "Nanti kamu juga tahu."
Aku membuka sabuk pengaman dengan cepat, membuat Pak Glenn lantas melotot ke arahku.
"Mau ngapain kamu?" tanyanya, penuh penekanan.
"Kalau Bapak nggak mau ngasih tahu sekarang, saya lompat!" Entah mendapat keberanian dari mana, aku mengancamnya.
"Pakai sabuk pengaman kamu, Melati."
"Nggak!"
"Oke. Silakan lompat," ucapnya santai.
"Hah?"
"Katanya kamu lompat. Silakan."
Wah! Bener-bener gila, nih, om-om!
Aku mengalihkan pandangan ke jendela. Mobil ini terasa melaju semakin cepat. Pasti om-om bastard ini sengaja! Lompat tidak? Jika tidak, Pak Glenn akan terus semena-mena memperlakukan aku. Tapi, jika aku bertahan, berarti aku membiarkan om-om bastard ini menang. Oh, no! BIG NO! Aku memejamkan mata rapat-rapat, mengeratkan cengkraman pada tali tas sling bag milikku.
Tuhan, semoga aku baik-baik aja. Luka dikit it's oke, lah. Asal jangan patah tulang, ya, Tuhan? Papa, doain Melati, ya? Kalau ada apa-apa, Melati minta maaf.
Sejenak, aku menoleh untuk menatap Pak Glenn. Aish! Dia cuek! Mukanya itu, lho! Membuat kuku-kuku cantikku ingin menyakarnya. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Okeh! I'm ready! Aku memberanikan diri membuka pintu mobil dengan tanganku yang gemetar. Tahan napas, dan ... hup! Aku merasakan tubuhku terhempas.
Satu detik, dua detik, tiga detik. Mengapa tidak ada rasa sakit sedikitpun? Perlahan, aku membuka mata yang semula kututup rapat. Ternyata, oh, ternyata! Aku masih berada di dalam mobil! Rupanya, Pak Glenn menarik tubuhku sesaat sebelum aku melompat.
'Citttt!'
Entah sengaja atau tidak, Pak Glenn menginjak pedal rem secara mendadak, membuat tubuhku terhuyung ke depan. Karena tidak mengenakan sabuk pengaman, keningku terantuk dasboard mobil.
"Aduh!" keluhku seraya mengelus kening yang kurasa telah memerah. Aku lantas menoleh ke arah Pak Glenn. Apa, sih maksudnya, nih ,orang?! "Bapak, tuh, kenapa, sih?!"
Tanpa kuduga, mani mata Pak Glenn menatapku tajam. Keberanian yang masih tersisa dalam diriku, lantas lenyap seketika. Manik mata hitam Pak Glenn sungguh mematikan. "Kamu yang kenapa?!" Dia membentak. Lah, kok? "Kamu gila?! Mau beneran lompat?! Hah?!" Kedua bahunya yang bidang naik-turun. O-oh, Pak Glenn benar-benar marah. Dan ini ... menakutkan!
"Sa-saya ...." Aku tidak mampu melanjutkan kalimatku lantaran Pak Glenn kembali menyela.
"Saya antar kamu pulang. Puas?" Mesin mobil kembali menyala. "Pakai sabuk pengamannya."
Selanjutnya, aku hanya bisa menurut dan pasrah. Jika dipikir-pikir, tadi aku lumayan nekat, ya? Kukira, Pak Glenn akan mengabaikan aku, bahkan jika aku merenggang nyawa di hadapannya. Namun, sepertinya, Pak Glenn tidak seburuk itu. Yah! Tapi tetap saja! Dia, Glennio Pangestu, seorang tutor om-om ter-bastard yang pernah kutemui!
Dua puluh menit yang terasa dua puluh abad, akhirnya mobil yang kutumpangi berhenti di depan pagar rumahku. Aku melepas sabuk pengaman, lalu menoleh ke arah Pak Glenn. Manik matanya menatap lurus ke depan.
"Makasih," ucapku singkat, kemudian turun dari mobil dan melangkah lebar menuju pagar.
Tepat sesaat setelah aku meraih pagar dan akan membukanya, seseorang mencengkeram pergelangan tangannku. Aku menoleh, lalu menatap Pak Glenn penuh tanda tanya. Perlahan, dia membuatku bersandar pada pagar. Kedua lengan kekarnya mengunci gerak tubuhku. Dia mau ngapain kali ini? Bola mata hitamnya menatapku lama sekali, kurasa. Wajahnya perlahan mendekat. Indra penciumanku dapat merasakan embusan napasnya yang menerpa wajahku. Lagi, dia semakin menepis jarak di antara kami.
'Cup!'
Aku merasakan sesuatu yang hangat menempel di permukaan keningku. Entah perasaanku saja, atau memang Pak Glenn mencium keningku cukup lama? Setelah jarak di antara kami kembali normal, barulah aku dapat bernapas lega. Sebuah bulan sabit tiba-tiba muncul di permukaan bibirnya. Aish! Andai label bastard tidak melekat pada dirinya, pasti aku sudah membalas senyumnya dengan tak kalah manis. Namun, aku tidak mengelak, dapat kurasakan sesuatu yang panas menjalari permukaan pipiku.
Tidak! Tidak! Bukannya aku jatuh pada pesona seorang Glennio Pangestu, tapi aku juga seorang perempuan, yang otomatis merasakan perbedaan saat diperlakukan manis oleh seorang lelaki. Apalagi, sekeren Pak Glenn. Iya. Aku mengakui dia keren. Puas?!
Pak Glenn kembali beraksi. Kali ini, telapak tangannya yang kekar menjalar di permukaan pipiku, memberikan sensasi hangat. Masih dengan senyum yang belum surut, dia berkata, "Sama-sama." Pak Glenn lantas kembali melangkah menuju mobilnya.
Aku masih belum mengerti, apa maksudnya, ya? Namun, Pak Glenn kembali membalikkan badan dan menatap mataku. "Pipi kamu merah, saya suka."
Bola mataku membulat sempurna. Dasar Glenn gila!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
temok
msih sweeeettt
2021-03-12
1