BAB 2

"Tutor baru di kelas lo cakep, tuh, Mel."

Aku memutar bola mata malas saat mendengar komentar Tita tentang tutor bastard sialan itu. Oh! Lihat, kan? Bahkan aku tertular oleh hawa negatif dalam dirinya. Aku jadi sering mengumpat.

"Mel, lo dengerin gue nggak, sih?"

"Hah?"

Sore ini, aku meminta Tita untuk menemaniku sembari menunggu papa pulang. Secara, tiap kali keheningan dan kesendirian menyelimuti, aku teringat kembali pada apa yang telah om-om bastard itu lakukan. Argh! Om-om bastard sialan!

"Gue nanya tadi. Pak Hasan sekeluarga udah pindah, 'kan? Nah, terus siapa tutor pengganti yang ngajar lo private di rumah?"

Aku mengedikkan kedua bahu. "Nggak tahu."

"Terus, gimana sama tutor baru di kelas lo? Pak ... siapa namanya? Gan ... Gen ...."

"Glenn," sahutku, membenarkan kata yang ingin Tita ucapkan.

"Nah! Iya, itu. Gimana menurut lo?"

"Gimana apanya?"

"Ya, apa, kek. Cara ngajarnya, sikapnya, semuanya, deh. Gue kepo, nih!" Aku heran, memang om-om bastard macam Glenn sebooming itu, ya, di Starlight Bimbel? Memang, sih, Pak Glenn adalah tutor termuda di Starlight. Dan ... dan ... terkeren. Puas?!

"Mel!" Malah diem."

"Biasa aja," jawabku seadanya.

"Masa? Kata Popi, Pak Glenn orangnya baik, ramah, murah senyum lagi. Gue, kan, juga mau diajar tutor begitu. Mayan, matematika jadi nggak ngebosenin amat. Sayang banget, deh, gue dapat tutor matematika macam Bu Wina. Udah tua, galak, sadis lagi!" Tita terus mengoceh. Dia hanya tidak tahu, bagaimana tabiat asli tutor om-om bastard sialan itu!

Wait-wait. Tutor om-om bastard sialan? Hm. Keren juga namanya. Cocok pula sama orangnya.

•••

Tita bergegas pamit saat papa baru saja pulang. Sementara itu, papa menghampiriku yang masih duduk di sofa depan televisi. Senyum hangat terpancar dari bibirnya begitu manik mata kami saling bersitatap. Saat aku akan beranjak, menghampirinya, lalu memberi pelukan hangat---seperti biasa---papa menekan kedua bahuku, hingga pantatku kembali bersentuhan dengan permukaan sofa.

Aku dapat merasakan kecupan hangat mendarat di puncak kepalaku. "Lanjut aja nontonnya, Papa langsung ke kamar, ya?"

Aku menoleh. Menatap papa seraya tersenyum tulus. Aku tahu, papa sangat lelah. "Iya," jawabku.

Setelah papa menghilang di anak tangga terakhir, diam-diam aku menuju dapur untuk membuatkan papa secangkir teh hangat. Semoga dengan begini, rasa lelah papa bisa berkurang. Senyum puas tercetak di bibirku begitu secangkir teh manis hangat dalam gelas telah siap dinikmati. Aku segera melangkah menuju kamar papa. Satu ketukan, dua ketuka, tiga ketukan, tidak ada respon apapun dari papa. Aku mencoba untuk membuka pintu, ah! Ternyata tidak dikunci.

"Pa ...."

Sesaat kemudian, aku mendengar suara air mengalir di kamar mandi. Oh, papa sedang mandi. Akhirnya, aku meletakkan secangkir teh hangat di atas meja. Langkah kakiku sudah akan menuju keluar, namun ponsel papa yang tiba-tiba menyala dan menampilkan sebuah pesan, membuatku tercengang.

+62*** :

Perusahaan kita bisa gulung tikar jika tidak segera ....

Gulung tikar? Bangkrut? Perusahaan papa terancam bangkrut?

'Ceklek!'

Aku menoleh saat mendengar suara pintu kamar mandi terbuka.

"Mel? Kamu ngapain?" tanya papa seraya menatapku heran.

"Ini, Pa, aku ...." Jujur, aku bukan manusia yang pandai ber-a**kting. Jika memang sedang terjadi sesuatu, semua mata pasti tahu bahwa aku tidak baik-baik saja.

"Mel ...?"

"A-aku, nganter teh hangat buat Papa," jawabku secepat kilat. Menyamarkan suara gagap bercampur sedih yang sudah pasti terdengar jelas oleh papa.

Papa tersenyum. Senyum yang semakin menampakkan betapa lelahnya papa.

"Aku keluar, ya, Pa," pamitku, yang dijawab papa dengan anggukan dan senyum singkat. Langkahku perlahan menuju pintu kamar papa yang terbuka. Setiap dua langkah, aku tidak tahan untuk kembali menoleh ke belakang dan menatap wajah papa. Tiap itu pula, papa melempar pandangan dan senyumnya padaku. Sungguh, langkahku terasa berat.

Benar saja, ketika aku sudah keluar dari kamar papa dan menutup pintu, lantai tempatku berpijak seolah dipenuhi lem panas yang memaksa untuk tidak beranjak. Telapak tanganku masih bertengger di kenop pintu kamar papa. Haruskah aku kembali membukanya? Haruskah aku masuk ke dalam, memeluk papa, dan menawarkan bantuan? Saat umurku dua belas tahun, papa pernah hampir bangkrut. Namun, saat itu masih ada kakek yang bisa membantu. Sekarang? Hanya aku. Hanya aku satu-satunya keluarga yang papa miliki, pun sebaliknya.

Aku menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. Dadaku tiba-tiba merasa sesak. Dinding-dinding rumahku seolah merebut paksa oksigen yang seharusnya kuhirup. Bagaimana jika papa benar-benar bangkrut? Tidak. Aku harus masuk, dan berusaha membantu papa semampuku. Harus.

"Mel? Ada apa?" tanya papa begitu aku kembali membuka pintu kamarnya. Tatapan akan sarat bingung terpancar jelas di balik kacamata minusnya. Aku tidak peduli. Naluri mendobrak langkahku untuk melesat cepat dan meringkuk ke dalam pelukan papa. Aku dapat merasakan usapan lembut menjalari rambutku.

"Hiks!" Tanpa sadar, aku terisak. Padalah, bibir sudah kugigit rapat-rapat agar tidak mengeluarkan suara.

"Loh, kamu nangis? Kenapa, Sayang? Ada masalah?"

Kata-kata papa semakin membuat tangisku pecah. Lalu, aku tidak mendengar lagi suara papa. Aku hanya merasakan sentuhan hangat yang terus mengusap lembut kepalaku dengan penuh kasih sayang. Setelah merasa tenang, aku melerai pelukan dengan papa. Detik-detik yang terasa panjang, hanya kulewati dengan menatap manik mata papa. Senyum papa menyadarkanku. Dengan cepat, aku mengusap sisa air mata di pipi.

"Mel, kenapa?" tanya papa lembut.

"Apa yang bisa aku bantu?"

"Maksudnya?" Kening papa berkernyit heran.

"Apa yang bisa aku bantu?" Aku mengulangi pertanyaan dengan nada bicara yang sama: memaksa.

"Bantu apa?"

"Bantu supaya Papa nggak susah. Bantu supaya perusahaan Papa nggak bangkrut. Ada yang bisa aku lakuin, kan, Pa? Apa? Bilang aja."

"Kamu ngomong apa, sih, Mel?"

"Aku baca pesan di HP Papa tadi."

Papa menghela napas berat. Bola matanya menatapku lekat-lekat.

"Apa yang bisa aku bantu?" tanyaku lagi. "Ada, 'kan?"

"Ada," jawab papa, membuatku tersenyum lebar. "Kamu yakin mau bantu Papa?"

Mendengar pertanyaan itu, aku lantas mengangguk antusias. Namun, kalimat berikutnya yang kudengar dari papa, membuat tubuhku menegang.

"Papa akan jodohkan kamu dengan anak pesaing bisnis Papa, dengan begitu, saingan terberat Papa akan berubah menjadi partner. Hanya itu satu-satunya cara."

***

"Melati ...?"

"Eh, iya, Bu?"

Pagi ini, aku tengah menjalani pembelajaran les private yang biasa kulakukan setiap hari, di ruang belajarku, dengan tutor yang berbeda. Papa memang sengaja membuat kamar tidur dan ruang belajarku terpisah. Katanya, agar aku bisa fokus. Ruangan berdominasi warna putih-krem ini menjadi spot kedua favoritku di rumah, setelah kamar.

"Kenapa melamun?" tanya Bu Sia, tutor baru yang menggantikan Bu Giska sebagai tutor privatku.

Aku hanya mengulas senyum seraya menggeleng singkat. "Cuma capek, Bu."

"Istirahat dulu lima belas menit, ya?" Tawaran Bu Sia kubalas dengan anggukan dan helaan napas berat.

Sejujurnya, pikiranku masih tersita pada perbincanganku dengan papa semalam. Papa memberiku batas waktu untuk menerima atau menolak, hingga pukul 13.00. Sedangkan sekarang sudah pukul 12.14. Aku harus bagaimana? Perjodohan? Yang benar saja! Umurku baru lima belas tahun! Tapi, jika aku menolak, bagaimana dengan papa? Bukannya aku takut miskin, tapi papa mendapatkan semua ini dengan penuh kerja keras. Sayang sekali jika segalanya harus terampas.

Selama ini, papa selalu memberi yang aku butuhkan. Melakukan apapun agar aku tidak pernah merasa kekurangan. Menjadi ayah, sekaligus ibu untukku. Banting tulang demi memenuhi segala kebutuhanku. Lalu, apa yang telah kuberi pada papa? Belum ada.

Baiklah. Aku sudah memutuskan.

"Bu, kita mulai lagi belajarnya," ucapku pada Bu Sia yang lantas menatapku heran.

"Baru lima menit," katanya.

Aku hanya tersenyum lebar sebagai tanggapan. Dan sepertinya, Bu Sia tahu maksud dari senyumanku itu.

***

"WHAT?! Dijodohin?!" Suara memekakkan Tita dari seberang sana nyaris memecah gendang telingaku, jika aku tidak segera menjauhkan layar ponsel dari daun telinga.

"Santai aja kali!" tukasku.

"SANTAI LO BILANG?! MEL! LO ...." Aduh! Tita, kenapa harus teriak-teriak, sih?!

"Nggak usah teriak-teriak, Tit!"

"TITA!"

Aku mendengus sebal. "Iya-iya, Tita!" Apa yang salah dengan panggilanku? Nama dia Tita, salah jika aku memanggilnya 'Tit'? Tidak, 'kan? Tit, Tita.

"Itu lo serius?" tanya Tita. Kali ini dengan suara yang lebih pelan dan terdengar ... serius.

"Hm," jawabku santai. Aku sedang menata rambut sekarang. Ponsel kuletakkan di atas meja rias, dengan speaker mode on, tentunya. Sebenarnya, aku sudah siap. Dengan dress warna biru dongker lengan pendek yang hanya mencapai lutut, make up tipis, dan rambut bergelombang yang kuikat menjadi satu, serta sentuhan jepit warna putih kecil sebagai penjepit poni. Ah! Ada yang kurang rupanya. Aku meraih lipscream yang tertata rapi di meja rias, lalu mengoleskan sedikit pada permukaan bibirku. Selesai.

"Gue ke rumah lo sekarang, ya?"

"Jangan!" sahutku cepat.

"Why?"

"Gue mau keluar sama bokap bentar lagi."

"Ke?"

"Ketemu calon suami gue." Aku terbahak-bahak, merasa geli dengan ucapanku sendiri.

"Gila! Udah calon suami aja lo!" seru Tita.

"Non, sudah ditunggu Tuan di bawah." Suara Mbak Ning membuatku menoleh ke ambang pintu kamar yang memang sedari tadi terbuka. Aku membentuk lingkaran dengan ibu jari dan jari telunjukku, lalu mengarahkannya pada Mbak Ning.

Oh, sebenarnya, nama dia Bening, usianya baru dua puluh tiga tahun. Papa mempekerjakannya di rumah karena Mbak Ning adalah salah satu korban bencana alam di daerahnya. Mbak Ning hidup sebatang kara, dia kehilangan kedua orang tua serta adik laki-lakinya pasca bencana itu.

Setelah Mbak Ning hilang dari pandangan, aku kembali berbicara pada Tita. "Udah dulu, ya, gue mau otw, nih! Bye, Tit!"

"LO---!"

'Tut!'

Aku kembali terbahak-bahak. Dapat kubayangkan bagaimana ekspresi Tita sekarang. Dia pasti mengucap sumpah-serapah dengan menyelipkan namaku di tiap akhir kalimat, plus pandangan yang menatap tajam ke layar ponsel tentunya.

•••

Jantungku berdebar bukan main. Semakin dekat dengan tempat tujuan, aku semakin gelisah. Oh, God! Apa ini? Aku? Melati? Seorang gadis yang baru berumur lima belas tahun, akan segera menemui keluarga calon suaminya? Calon suami? Entahlah, aku bingung, ini keberuntungan atau kutukan? Banyak orang di luar sana yang belum bertemu jodohnya hingga mencapai usia setengah abad. Tapi, apa di usiaku ini tidak terlalu dini?

Kira-kira, seperti apa lelaki yang akan dijodohkan denganku? Berapa umurnya? Berapa selisih umur kami? Lumayan jauhkah? Atau sangat jauh? Arghhh!!! Belum bertemu dengannya saja aku sudah merasa nyaris gila. Bagaimana jika kami bertatap muka nanti? Aku harus bersikap bagaimana?

"Mel ...." Suara papa yang lembut dan sentuhan hangat di bahu kanan, membuatku terlonjak kaget.

"Ya?"

"Kita sudah sampai."

Mendengar kata 'sampai', pandanganku lantas beralih ke luar jendela. Sebuah restoran bintang lima yang lumayan jauh jaraknya dari rumahku. Tapi, perasaan tadi mobil papa melaju hanya beberapa menit.

'Tok tok tok!'

Ketukan di kaca mobil, membawaku kembali pada realita. Realita bahwa aku akan bertemu dengan calon suamiku. Duh! Dua kata terakhir itu terdengar lebih seram daripada saat Pak Glenn dengan lancang mencuri ciuman pertamaku. Heh! Kenapa nama om-om bastard itu bisa melintasi kepalaku?

"Mel, ayo turun." Lagi-lagi, suara papa membuyarkan lamunanku. Saat itu, aku baru sadar bahwa pintu mobil di sebelah kiriku telah terbuka.

Dengan ragu, aku turun dari mobil. Sebelum melangkah, aku mendongak, menatap papa lekat-lekat. Aku dapat menangkap sarat penuh penyesalan di balik binar matanya.

Papa menggenggam tanganku erat-erat. "Belum terlambat kalau kamu mau nolak, Sayang," ucap papa lembut.

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Manik mataku masih bersitatap dengan bola mata papa. Kugenggam semakin erat tangan kekarnya, kutarik kedua sudut bibirku semeyakinkan mungkin. Aku mengangguk mantap. "Yuk!" ajakku.

Semakin bertambahnya jumlah langkah, degub jantungku semakin cepat. Dengan tangan yang masih dalam genggaman papa, aku mengekori langkahnya. Hingga aku mendengar suara bariton yang membuatku tak kuasa untuk mendongak.

"Leo! Akhirnya!!! Kau membuat keputusan yang tepat."

"Bukan aku, tapi putriku yang membuat keputusan."

"Oh, ya?" Aku dapat mendengar nada terkejut di balik suara itu. "Ini putrimu?"

Pertanyaan itu sukses membuatku mendongak. Sedikit. Hanya sedikit.

"Siapa namanya?"

"Melati," jawabku, tanpa berniat merubah posisi kepalaku yang menunduk.

"Duduk, Mel," kata papa. Aku hanya bisa menurut. Lagi-lagi, tanpa mencoba untuk memperhatikan sekitar. Dari ekor mata, aku dapat menangkap sosok pria dewasa dengan balutan jas yang kini duduk di sampingku.

"Bagaimana kalau kita kasih waktu untuk mereka agar bisa mengenal lebih dekat?" Usulan macam apa itu? Aku lantas mendongak dan menatap papa dengan penuh harap. Berharap agar papa menolak usul dari pria paruh baya yang baru kuketahui bernama Fero. Akan kupanggil dia Om Fero.

"Oke." Papa?! Tega banget, sih!

Akhirnya, papa bersama Om Fero pindah ke bangku yang jaraknya cukup jauh dari tempatku. Aku harus apa sekarang?

"Ekhem!" Lelaki di sebelahku berdeham. Mungkin, dia sudah enggan meneruskan suasana canggung ini. Namun, aku belum berniat untuk melihat wajahnya. Jika dilihat dari samping, fisiknya oke. Sangat oke. Melebihi ekspektasiku. "Mau minum apa?" Suara itu, mengapa terasa ... familiar?

"Sampai kapan mau nunduk?"

Persetan dengan bibirku yang terasa perih. Aku menggigitnya untuk mengurangi rasa gugup. Tiba-tiba, sebuah gerakan cepat membuatku tersentak. Jari telunjuknya meraih daguku, membuatku terpaksa harus mendongak. Manik mata kami bersitatap. Aku terbelalak saat melihat siapa lelaki di hadapanku ini.

"Hai, Melati."

Terpopuler

Comments

Pelia Pelia

Pelia Pelia

😘😘😘

2021-03-27

1

ftya adnan90

ftya adnan90

calon nya glen ya

2021-02-08

1

pecinta time travel

pecinta time travel

ko dari awal sampai akhir aku baca, akunya tegang 😄😄😄

2021-02-08

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!