"Siang juga sayang," bibi dengan penuh kasih mengecup kening anak sematawayangnya itu sambil melupakan tingkah manja Sita dan rengekan tak masuk akal sebelumnya.
" Bibi Santy, seorang ibu yang hebat," gumam aku dalam hati.
" Dan ternyata ada saudaraku yang paling tampan ini di sini," teriak Sita setelah melihat aku duduk santai di meja makan. Ia menghampiriku dengan sikap genitnya yang agak berlebihan dan tentu saja dengan manjanya datang memeluk aku yang sudah ia anggap seperti saudara kandungnya.
Penekanan Sita pada saudaraku yang tampan itu memang sedikit mengandung hiperbola. Hanya saja fakta memang demikian. Hampir setiap orang mengatakan demikian baik tetangga teman-teman lampu merah bahkan bibi Santy sendiri. Aku bukan seperti anak almarhum ayah dan ibuku sebab aku memiliki tampang, warna kulit dan tulang wajah yang agak beda. Ayah dan ibuku tidak terlalu putih namun sawo matang sebab mereka pendatang dari luar pulau Jawa yang datang mengadu nasib di kota metropolitan ini. Sedangkan aku nampak seperti keturunan Tionghoa jika kulit dan fisikku bersih dan terawat.
" Hari ini kami pelajaran Bahasa Inggrisnya lebih sulit dari minggu lalu kak," kata Sita sambil duduk di kursi di samping aku seraya membuka tas belajarnya. Ia mengambil dua buah buku paketan Bahasa Inggrisnya dan menyerahkan ke aku.
Rutinitas berbagi ilmu ini sudah menjadi kebiasaan kami berdua setelah Sita masuk SMP. Ia memahami keinginan aku untuk terus belajar walau tidak harus duduk dalam suatu jenjang sekolah resmi kami saling memberikan privat di rumah.
Setiap Sita pulang sekolah aku selalu datang ke rumah bibi dan mulai membongkar tas sekolah Sita untuk belajar sesuai dengan pelajaran Sita hari ini. Aku dengan mudah mengerti hanya dengan membaca tulisan di buku-buku Sita yang kadang tak karuan. Maklum saja sebab Sita tak terlalu bagus dalam hal intelektual.
Sedangkan aku sejak dari SD kelas satu hingga tamat dari bangku Sekolah Dasar selalu Juara I umum. Inilah yang membuat bibi sangat antusias menyekolahkan aku agar dapat membantu Sita yang lebih suka menyibukkan diri dengan menonton TV dalam hal pemahaman mata pelajaran.
Mungkin juga karena sering bergaul dengan komplotan- komplotan geng di sekolahnya, akhir-akhir ini ia mulai bersikap aneh dengan meminta bibi membelikan barang-barang mahal.
Setelah aku menyibukkan diri dengan menekuni pelajaran Bahasa Inggris yang adalah salah satu pelajaran favoritku sambil menerima masukan dari Sita yang terkadang asal-asalan,
akhir Bibi, Sita dan aku melanjutkan dengan makan siang.
" Jimmy, jangan lupa untuk selalu makan di rumah ini, jangan terlalu memaksakan dirimu untuk bekerja. Uang tabunganmu dari hasil ngamen, memulung dan jualan kue kamu sudah lumayan. Bibi masih menyimpannya kok," kata bibi sambil menguyah makanannya.
Kami menyudahi makanan siang kami dan aku memutuskan untuk kembali ke rumahku untuk membantu Mang Dadang mengambil beberapa bilah papan bekas di gudang rumah bibi. Bibi Santy masih menyimpan sisa-sisa papan di gudang yang masih sangat layak untuk menambal beberapa bagian dinding rumahku yang jebol.
Bersama Mang Dadang tetangga depan rumahku yang sangat cekatan itu kami menyelesaikan pekerjaan di rumahku itu hingga sore hari menjelang malam. Dengan letih malam itu aku menatap atap rumahku yang karat-karatan dan beberapa bagiannya bocor dan akhirnya memejamkan mata sambil ditemani hiruk pikuk suara anak- anak yang menangis di komplek kumuh kami.
" Ah Tuhan, hari ini cukup melelahkan."
gumam aku.
Desir aliran angin musim penghujan dan aliran air sungai membawa aku dalam alam mimpi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
mr. Lucifer
nice banget
2021-08-03
0
Marthen Wuwungan
lanjut
2021-07-15
1
Eroksasik Syivashakti
pesan psikologisnya bagus
saling tutorial
hehehehe...nice work gan
2021-07-14
1