Sita itu anak perempuan dari bibi Santy. Umur Sita beda 1 tahun dengan aku. jadi sekarang Sita berumur 12 tahun. Dan ia seperti adik kandungku sendiri. Secara psikologis kami berdua memang sudah terikat sebagai kakak dan adik sejak dari kecil sehingga sudah aku anggap sebagai saudari kandung sendiri.
Sejujurnya hati kecil aku mengatakan untuk pindah dan tinggal bersama Bibi Santy dan Sita sebab rumah bibi agak lebih baik ketimbang rumahku. Selain itu selama ini aku membantu bibi menjual kue yang dibuat bibi sambil ngamen di lampu-lampu merah. Kesengsaraan hidupku ini memang sedikit terobati karena adanya Bibi Santy yang selalu sigap membantu aku dalam situasi apapun. Ia benar-benar telah menjadi ibu kandungku sendiri yang merawat dan memenuhi segala kebutuhan jasmaniku. Namun karena terbiasa memanggil bibi sejak dari kecil akhirnya sampai sekarang aku tetap memanggil ia dengan sebutan Bibi Santy.
Bibi Santy tak mampu menyekolahkan aku bersama dengan Sita sekaligus. Aku mengalah, sebab aku bukan siapa- siapanya Bibi Santy, toh kebetulan ia hanyalah tetangga yang terlanjur mengasihi aku seperti anak kandungnya. Walaupun demikian ia ingin sekali menyekolahkan aku sama seperti Sita anaknya. Namun apalah daya keinginannya tak sejalan dengan isi dompet bibi dan situasi perekonomian bibi. Apalagi biaya sekolah di kota metropolitan ini bukan hal yang mudah bagi orang dengan perekonomian menengah ke bawah seperti Bibi Santy. Aku mengalah, dan hanya menamatkan Sekolah Dasar Negeri terdekat dengan terseok-seok. Sebab aku tak punya uang cukup untuk melanjutkan sekolah ketika naik kelas 6 sekolah dasar, ayahku pergi untuk selama-lamanya. Waktu itu memang benar-benar menjadi waktu tersulit dalam hidupku sebab aku tak memiliki siapa-siapa lagi sebagai saudaraku untuk dapat bertahan hidup atau sekedar untuk mendapatkan sesuap nasi.
Aku sekarang hidup sebatang kara. Ayah adalah anggota keluargaku satu-satunya dan terakhir. Ibuku telah meninggal ketika melahirkan adikku 10 tahun silam ketika aku masih berumur 3 tahun. Namun kondisi ekonomi dan keterbatasan kami saat itu akhirnya ibuku meninggal karena pendarahan dan adikku juga tak dapat tertolong. Dan sejak saat itu aku tinggal bersama ayah seorang yang hanya berprofesi sebagai seorang pemulung. Kehidupan kami yang serba sulit akhirnya membuat ayah jatuh sakit hingga dua tahun yang lalu ayah pergi untuk selamanya.
Untung saja, setelah ayah pergi untuk selamanya, Bibi Santy bersedia untuk membiayai lanjut sekolahku hingga aku tamat Sekolah Dasar, namun tak mampu melanjutkan aku kejejang Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebab biaya sekolah setingkat SMP di kota metropolitan ini tak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi bibi harus memperhatikan dan menyekolahkan Sita dengan status janda yang kehilangan suaminya delapan tahun yang lalu. Benar, itu mustahil. Pikiranku berkecamuk tak karuan ketika tiba-tiba, kata-kata wanita paruh baya dihadapanku ini meruntuhkan lamunanku.
" Nak, bibi tahu kamu pasti memikirkan ayah, ibu, serta adikmu," ucap bibi yang sontak aku kaget setelah sekian menit aku terbelenggu dalam nostalgia masa laluku yang kelam dan penuh dengan nestapa.
" Bibi akan selalu menjagamu seperti bibi menjaga Sita. Mungkin saat ini tak dapat berjanji untuk dapat menyekolahkanmu. Namun dengan usia bibi yang masih 40 tahun ini bibi masih merasa kuat untuk dapat menyekolahkan kamu suatu saat nanti jika usaha kios bibi ini semakin berkembang," lanjut bibi dengan antusias.
Aku melihat ungkapan itu benar-benar tulus keluar dari lubuk hati yang paling dalam. Entahlah aku pun masih merasa aneh dengan sikap baik bibi Santy. Mengapa bibi begitu peduli dengan aku yang tak memiliki ikatan kekeluargaan sama sekali? Namun aku segera menepis semua kecurigaan itu. Toh aku masih bersyukur karena nasib aku masih baik ketimbang teman-teman seperjuangan aku di lampu-lampu merah.
Mereka tak mempunyai siapa-siapa dan hanya tinggal di kolong-kolong jembatan beralaskan gardus-gardus bekas dan beratapkan langit. Jika suatu waktu Pol PP melakukan razia penertiban maka mereka akan berlarian mencari tempat lain untuk bersembunyi dari kejaran para petugas. Sungguh ironis aku harus hidup di tempat ini dan dihadapkan pada situasi ini. Namun aku bersyukur sebab Aku masih dapat memperoleh kebaikan hati Bibi Santy.
"Terimakasih bibi sudah menjadi penolong dalam kehidupan aku setelah kehilangan Ibu, adik, dan ayah. Entah apa yang terjadi dengan diriku apa bila aku tak punya bibi dalam hidupku." kata aku dalam hati sembari memandang lekat wajah pahlawanku itu.
" Ah, tidak bibi. Aku tak memikirkan mereka kok, aku hanya sedang memperbaiki dinding-dinding rumah ini. Tadi malam banjir terlalu deras sehingga ada beberapa bagian yang jebol," kataku sambil berpaling dari bibi dan menunjukan beberapa bagian dinding yang jebol.
Aku cepat berpaling dari bibi sebab aku takut bibi melihat mataku yg mulai memerah dan sembab karena mengenang ayah, ibu, dan adik sematayang aku yang sudah pergi ke alam baka beberapa tahun ini.
Situasi seperti sekarang ini selalu menyeret aku pada kepedihan yang mendalam akan jalan hidupku. Usiaku baru saja menginjak belasan tahun dan aku harus kehilangan segalanya. Kasih sayang orang tua dan cita-cita serta harapan masa depanku harus terkubur. Kadang aku merasa kecewa dengan Sang Pencipta kehidupan. Mengapa hidupku begitu tragis? Namun sudahlah, inilah takdir hidupku dan yang penting sekarang adalah bagaimana aku dapat bangkit dari keterpurukan ini. Aku yakin Tuhan punya rencana yang berbeda dengan hidupku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
mr. Lucifer
sapa yang naroh bawang di sini woi😭
2021-08-03
0
Marthen Wuwungan
lanjut..
2021-07-15
0
Eddy Jho
up thor
2021-07-15
1