Pemulung Jadi Direktur Baru

Pemulung Jadi Direktur Baru

Tepi Sungai

Perbedaan pendapat tentang terminologi nyaman untuk sebuah rumah membuat orang cukup yakin untuk menilai rumah yang aku tempati saat ini jauh dari kata nyaman. Yah dapat dikatakan begitu sebab letak rumahku hanya berbatasan beberapa Cm saja dari tepi sungai Ciliwung atau lebih tepatnya rumahku berada di pemukiman kumuh sepanjang bantaran sungai keruh yang bernama Ciliwung.

Atapnya terbuat dari susunan seng-seng bekas yang nampak sangat karat dibarengi dengan dinding papan yang mulai lapuk diterjang air sungai yg terkadang meluap, serta lantai kasar seadanya. Namun bagiku rumah ini adalah istanaku, hartaku satu-satunya. Demikianlah kata orang-orang yang terlanjur mencintai rumahnya walau dalam keadaan apapun.

Sejarah dan historisitas rumah ini sudah cukup untuk membuat aku berkata " nyaman" bagi rumah sereot ini. Rumah ini telah membingkai seluruh riwayat hidupku, sejak dari lahir hingga sekarang hidup sebatang kara.

" Jimmy apakah kamu udah makan nak? Kalau belum, Bibi punya sesuatu buat kamu."Teriak bibi tetangga rumahku yang sekejab mengagetkan aku dari lamunan panjang.

" Belum Bi, soalnya aku masih memperbaiki beberapa dinding yang jebol karena banjir sedikit tadi malam bibi."Sahut aku sedikit berbohong sebab hampir setengah hari ini aku habiskan dengan sedikit bekerja dan lebih banyak melamun. Jika aku duduk sendirian saja, pikiranku selalu ke mana-mana. Aku selalu membayangkan betapa suatu hari Tuhan berbaik hati dengan aku dan menjadikan aku orang sukses atau apalah itu seperti dalam cerita-cerita novel atau dongeng. Entah itu menemukan harta karun atau apa pun itu. Namun itu hanyalah sebuah khalayalan semata yang sudah barang tentu tak akan terjadi walau dengan berdoa kepada Tuhan tujuh hari tujuh malam. Yang terjadi dan yang nyata sekarang adalah aku dilahirlan dan dibesarkan ditempat ini dalam kondisi finansial yang pas-pasan.

Komplek kumuh kami memang sering terdampak banjir. Sebab sungai yang dangkal dan penuh dengan sampah- sampah plastik dan kotoran-kotoran bekas hasil pembuangan limbah pabrik membuat air nampak keruh dan tak sehat untuk dikonsumsi. Imbas dari semuanya itu, ketika musim penghujan tiba seperti sekarang ini, rumah kumuh di pinggir bantaran sungai terdampak banjir tak terkecuali rumahku yang nampak reot ini. Hampir setiap tahun ketika musim penghujan datang aku selalu disibukkan dengan memperbaiki rumah reot yang hampir roboh ini dalam bayangan saya jika banjir yang cukup besar datang maka rumah ini hanya akan menjadi puing-puing tak berbekas. Dan saat ini musim penghujan datang lagi. Aku mulai takut sebab hidup di bantaran sungai ciliwung di musim penghujan sama dengan tidur dalam kewaspadaan yang tinggi. Takut-takutnya bencana datang tiba-tiba maka kita dan rumah akan hanyut di bawa derasnya banjir.

Ketika pikiranku sibuk dengan segala macam persoalan rumah dan musim penghujan, tiba-tiba sebuah tangan yang sudah sangat familiar dengan kulit dan kepalaku membelai rambut aku. Sontak dengan ekspresi sedikit terkejut dan berbalik menatap wajah paruh baya itu dengan sedikit menyunggingkan senyum terbaikku.

Dia bibi Santy orang yang aku sayangi, juga menyayangi aku serta memperhatikan aku selama ini. Walau hanya berstatus sebagai tetangga, namun perhatian dan curahan kasih sayangnya membuat aku menyadari bahwa ia sudah lebih dari seorang tetangga, bibi dan lebih tepatnya ia sama seperti ibuku. Apalagi sekarang aku hidup sebatang kara.

Setahuku aku tinggal di tempat ini hampir 13 tahun. Sesuai dengan umurku sekarang dan selama itu pula aku disayangi dan dicintai bibi Santy. Namun dalam hati kecilku yang paling dalam, sejujurnya aku merasakan masih ada gejolak masa lalu yang entah kenapa melayang-layang dalam benak entah mimpi ataupun dalam lamunan.

" Kamu melamun lagi ya nak? Sudah jangan terlalu sedih, masih ada bibi kok!!" Ia mengucapkan kata-kata itu sambil menyeka beberapa butir air bening yang perlahan-lahan mulai membasahi pipinya yang mulai nampak kerutan-kerutan.

Demikianlah Bibi Santy adalah satu-satunya orang yang paling mengerti dan tahu betul akan segala keluh kesah serta latar belakang keluargaku. Maka pantas saja ia selalu menangis ketika melihat wajahku murung dan sedih entah karena alasan apapun.

" Tidak apa-apa bibi, aku sedang memperbaiki dinding dapur yang jebol karena banjir tadi malam." Aku berusaha menjawab dengan kata-kata yang sedikit menghibur.

Situasi saat ini membuat aku yang baru menginjak usia remaja 13 tahun harus bertindak dewasa dan mandiri. Demikianlah hidup sebatang kara walau dalam usia yang tak seharusnya bekerja keras aku sudah disibukkan dengan urusan orang tua memperbaiki rumah, atap yang jebol, dinding papan yang remuk diterpa air hujan dan urusan-urusan orang dewasa lainnya.

Sambil menghela nafasnya yang agak bergetar Bibi Santy berkata, "Kan sudah berapa kali Bibi minta kamu sayang. Ayolah tinggal saja dengan bibi. Toh bibi hanya tinggal berdua dengan Sita."

"Tidak apa-apa bibi. Aku tidak ingin rumah warisan orangtuaku ini hancur tanpa ada yang merawat. Toh aku sudah remaja dapat mengurus sendiri bibi." Sahutku dengan senyum mentah yang sudah dapat diterka bahwa senyum itu terkesan dipaksakan.

Terpopuler

Comments

mr. Lucifer

mr. Lucifer

masih di baca

2021-08-03

0

Alif Rahmad

Alif Rahmad

semangat

2021-07-18

0

Marthen Wuwungan

Marthen Wuwungan

lanjut

2021-07-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!