Selamat membaca, Semoga kalian suka.💌
__________
Sudah seminggu berlalu. Lelaki itu tidak menghubungi atau mengganggu kehidupanku.
"Bik, saya keluar sebentar, apa ada sesuatu yang ingin Bibi pesan?" ucapku sambil berlalu menuju pintu depan.
"Baik, Non! Non Rini jangan lupa, nanti malam ada jamuan makan malam di rumah Ibuk."
Mendengar perkataan Bik Ijah, membuat aku menghentikan langkah sesaat, tanpa menjawab, lalu melanjutkan langkah kembali.
Ibu yang bi Ijah maksudkan adalah Mama Damia, wanita perparas cantik dengan tinggi semampai yang telah merawatku mulai 24 tahun yang lalu.
Setelah pertengkaran hebat dengan ayah malam itu, ia lebih memilih pergi dan menikah dengan duda kaya serta tinggal bersamanya. Semenjak saat itu, aku hidup dengan ayah,
Bersyukur. Ayah memiliki usaha mebel sebagai mata pencahariannya.
Meski usahanya terbilang kecil dan sulit berkembang, namun dari hasil usaha itulah kami mencukupi kebutuhan hidup hingga biaya pendidikanku.
______
Malam sudah mulai manampakkan kesunyian saat aku baru saja siap mandi. Mengganti pakaian dan memoles sedikit makeUp dengan penutup lipstik berwarna merah jambu.
Malam ini aku menggunakan gamis berwarna hitam dengan taburan swaroski di bagian pinggang dan pangkal lengan. Berbahan sifon lembut. Aku memadunya dengan pasmina berwarna pick. Tak lupa menyelipkan bros kesayanganku, bros mutiara hadiah ulang tahun ke 15 dari Ayah.
"Bi Jah! Mungkin malam ini saya akan pulang sedikit larut!" ucapku sambil berlalu meninggalkan setiap inci ruangan rumah sederhana ini.
Tujuan malam ini adalah rumah Mama, wanita yang telah meninggalkan diriku saat aku masih begitu membutuhkan figur seorang ibu. Ia lebih memilih si duda kaya.
Masih teringat dengan jelas, di mana Rini kecil menangis sesunggukan saat sang mama pergi sambil menyeret koper berukuran besar.
*****
Semua telah berkumpul di meja makan, tanpa kecuali aku, juga kedua adik tiriku -Salsa dan Bagas.
"Jadi bagaimana Rin?" tanya Mama, aku yang sedang memotong stik, seketika menghentikannya.
"Maksud, Mama?"
"Tawaran dari Papa, untuk mengisi posisi manager marketing yang sedang kosong." ucap Papa Heru, menimpali.
Papa Heru merupakan pemilik bisnis restoran cepat saji. Telah memiliki puluhan cabang yang tersebar di beberapa kota. Bisnis kuliner yang bertema masakan khas daerah yang di tekuninya tersebut kian berkembang pesat hingga sekarang.
Beberapa kali Mama memaksaku untuk ikut berkecimpung di dalamnya. Tapi, aku menolak dengan alasan tidak tertarik sama sekali.
Lagi pula, membiarkan diri menggeluti sesuatu yang tidak kita sukai, sama saja dengan membuat hidup menjadi tidak bahagia. Bukankah begitu?
"Kak Rini, ayolah. Kakak terima saja tawaran Papa kami itu." ucap Salsa, kemudian menyendok makanan kemulutnya.
"Ck! Papa kami!" gumamku tersenyum sinis, kemudian meneguk sedikit minuman. Gerah rasanya.
"Salsa! Ayo habiskan makanan di piringmu." Ucap Mama ketus.
"Jadi, bagaimana Rin?" tanya Mama lagi dengan sedikit penekanan.
"Maafkan Rini, Ma. Saat ini belum terpikir untuk masuk kedalam kehidupan kalian, apalagi menjadi bagian dari bisnis papa mereka."
"Rini, Ayah mereka Ayahmu juga, berapa kali Mama harus mengatakannya?" Mama mulai beruara dengan nada sedikit tinggi. Ia sepertinya tersinggung dengan ucapanku tadi.
Aku menghela nafas sembarang. Rasanya percuma beradu argumen dengan Mama, kami berdua tidak akan sepemikiran.
Aku menyimpan kembali sendok dan garpu ke dalam piring yang masih terisi banyak makanan. Menatap Mama dan Papa Heru secara bergantian, sedangkan mereka terlihat sibuk dengan piring dan sendok masing-masing.
Suasana kembali hening.
Hanya suara denting sendok beradu dengan piring yang terdengar saat ini. Terpikir olehku untuk beranjak pergi dari hadapan mereka.
"Kamu mau kemana?" tanya Mama, melihat aku bangkit lalu menyambar tas putih tak jauh dari meja makan.
"Ma, Papa Heru, Salsa dan Bagas. Aku pamit dulu." Setelah mengucapkan kalimat tersebut aku pun berlalu meninggalkan ruangan tersebut.
Beberapa kali, terdengar Mama memanggil namaku. Namun, untuk saat ini panggilan darinya tak mampu menghentikan langkahku.
****
Sepanjang perjalanan, aku memikirkan banyak hal. Ah, saat-saat galau seperti ini membuatku teringat dengan Dita, sahabat satu-satunya tempat aku berbagi berbagai kisah hidup.
Aku memutar arah mobil. Di bawah cahaya tamaram lampu jalan raya, mobil melaju cepat menyibak kemacetan jalanan kota kecil ini, hingga sampai di depan rumah bernuansa minimalis berlantai dua dengan kesan unik dan mewah.
Suasana rumah Dita terlihat lenggang dan sunyi. Di bawah cahaya tamaram, aku memarkir mobil di halaman yang luas lalu turun dan menuju pintu rumah mewah tersebut.
Tok tok tok!
Assalamualaikum, Dit!
Beberapa kali aku telah mengetuk pintu dan memberi salam, namun belum ada sahutan dari dalam. Aku melirik jam di tangan yang baru menunjuki pukul 9 : 01. Merasa waktu yang masih awal, aku kembali mengetuk.
"Ia, Sebentar!" Seseorang menyahutnya dari dalam. Ah, syukurlah.
Aku tersenyum senang sambil mengosok telapak tangan untuk mengusir rasa kedinginan, sementara pandangan menyisir sekitar.
Suara derit pintu membuatku menoleh ke arah sumber suara. Seorang gadis yang baru bangun tidur keluar menggunakan daster merah jambu dan rambut acak-acakan.
Dita memiliki postur tubuh yang mungil, berparas cantik dan baby face juga memiliki kulit putih alami, bagiku ia adalah Do Bong-Soon (Park Bo-young) versi Indonesia. Hehe.
"Apaan sih lu, malam-malam bertamu ke rumah orang!" sungut Dita sambil menyandarkan kepalanya ke daun pintu.
Aku tertawa lalu masuk dengan menyenggol bahu Dita. Rasanya menyenangkan sekali saat bisa membuat gadis cantik itu kesal. Dita berdecak kesal sambil mengikutiku dari belakang.
"Coba tebak, aku habis dari mana?" tanyaku sambil menubruk bokong ke sofa.
"Meneketehe, memangnya aku peramal?" jawab Dita sambil mengambil posisi duduk di sebelahku, lalu kembali menyandarkan kepalanya, namun kali ini ke bahu kananku.
Aku tersenyum kecut, sambil melirik Dita dengan ekor mata, gadis itu tampaknya sangat mengantuk.
"Aku baru pulang dari rumah Mama,"
"Acara apa? Bukannya elu tidak akan kesana jika tidak ada sesuatu." jawab Dita dengan ekspresi datar, ia membetulkan posisi duduk lalu mengucek kedua mata dengan sepasang tangannya. Sepertinya, ucapanku tadi, menarik perhatiannya.
"Mama mengundang aku untuk makan malam."
"Makan malam aja, gak ada sesuatu yang lain?"
Suasana sesaat hening. Dita kembali menyandarkan kepalanya kebahuku, sepasang matanya yang ia buka dengan terpaksa, menatapku sambil menuntut jawaban.
Aku bergeming. Membuang muka. Bahkan, aku sendiri masih bingung. Bingung harus memulai dari mana ceritanya.
"Hei! Are you ok?" Dita kembali bertanya.
Aku menghembus nafas kasar, lalu bangkit menuju kamar Dita. "Aku tidur di kamar mu malam, ni!"
Beberapa kali gadis itu memanggil. Namun, aku tak menghiraukannya. Entah mengapa malam ini sedang tidak ingin membahas apapun dengannya. Rasanya bisa berada di dekatnya saja sudah bisa membuat hati menjadi tenang.
________
Azan subuh berkumandang, suaranya terdengar menggema dari arah mesjid komplek perumahan tempat Dita tinggal. Aku menggeliat begitu juga dengan Dita. Setelah melirik jam dinding lalu kembali menarik selimut untuk menutupi tubuh hingga kepala.
Sementara Dita, gadis itu sepertinya menyibak selimut lalu bangkit menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu.
"Hei, bangun, Bu! Udah subuh."
Kembali aku menggeliat sambil mengucek kedua mata lalu bangkit sambil menatap wajah Dita.
"Udah, enggak perlu dramatis kaya gitu. Cepat wudhu sana, udah mau terbit matahari tuh!"
Aku terseyum getir, bangkit menuju kamar mandi sementara Dita meraih mukena dan sajadah.
****
Hawa pagi ini lumayan membuat tubuh menggigil. Aku bersedekap sambil melangkah menuju dapur dengan menggunakan piyama marun milik Dita. Porsi tubuh kami yang sama membuat piyama tersebut sangat cocok di tubuhku. Rasanya sangat menyenangkan jika piyama ini bisa di bawa pulang. Eh.
Di dapur, Dita sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi. Dua telur ceplok dan nasi goreng menjadi menu pilihan pagi ini.
"Emak lagi sibuk, nih!" ucapku menggoda Dita sambil menyambar kerupuk udang di atas meja.
"Bantuin, jangan tau makan aja!"
"Galak nih, gue disini tamu, jadi layanin dong! Tamu adalah raja, you know?"
"Mana ada Raja yang nginap di rumah orang, aneh lu!"
"Ada,"
"Mana?"
Aku terdiam, bukan karena kehabisan kata-kata tetapi karena mulutku telah penuh dengan suapan nasi goreng. Padahal Dita masih sibuk membersihkan sisa-sisa nasi goreng yang berserakan.
Diantara kami berdua memang Dita yang paling dewasa dan sering memilih mengalah. Sementara aku, lebih suka menang sendiri. Sifat buruk yang sangat sulit untuk aku hilangkan. Mungkin ini salah satu sebab hidupku jarang bahagia.
"Kamu belum ceritain tentang acara makan malam di rumah Mama Damia."
Aku menghentikan suapan, meletakkan sendok dan garpu di piring sambil menghembus nafas kasar. Sepasang netraku membidik wajah Dita, wajah cantik meski tanpa make up sekalipun.
Terlihat gadis itu mulai merasa bersalah karena pertanyaannya. Sangat lucu saat ia mencoba menyembunyikan rasa tersebut dengan senyuman yang di buat-buat.
"Kepo banget sih, kaya makcik-makcik!" sungutku, lalu kembali mengambil sendok dan garpunya dan menyuapkan nasi goreng ke mulut.
Dita tersenyum nyengir, mungkin gadis itu lega melihat aku kembali melanjudkan sarapan.
****
"Aku pamit ya, Dit!" ucapku sambil menutup pintu mobil.
Data berdehem sambil tersenyum. Tangan kanannya sibuk melambai-lambai.
Aku mulai memutar pelan stir mobil, melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan pagi yang sangat sibuk.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba saja, aku teringat tentang rencana pertemuanku dengan nyonya Dwi —neneknya Riski, pemilik Y2 grup.
Akan lebih baik jika aku membeli sebuah gaun santai untuk persiapan menemuinya. Kata orang, kesan pada pertemuan pertama itu sangat penting.
Tanpa berpikir panjang. Aku memilih butik langganan untuk urusan yang satu itu.
Setelah mendorong pintu kaca, aku masuk kedalam dan langsung menuju gantungan berbagai macam gaun, mulai dari brand lokal hingga brand mancanegara terpajang di sana. Sesekali mataku melotot dengan mulut membulat sempurna. Harganya cukup fantastis. Batin ku.
Pikiran yang sedang melanglang buana membuatku kurang fokus dengan keadaan sekitar, hingga tanpa sengaja, aku menubruk dada bidang seorang lelaki yang cukup tinggi dengan aroma tubuh yang sama, ya! Aroma laut yang tenang dan segar. Mungkinkah lelaki ini ....
Sambil mengucap kata maaf, aku mendongak wajah ke atas, memastikan wajah lelaki tersebut dengan ekpresi terkejut.
"Kau! Hei, punya mata gak, sih?" uca lelaki itu jengkel, tatapannya melotot menampakkan iris kecoklatan pada bagian lensa dengan jelas dan indah.
"Ma-maaf, saya betul-betul minta maaf."
Bersambung .. !!
______________
Sampai jumpa di chapter selanjutnya.
Berikan cinta kalian untuk author dengan menekan tombol like, vote dan juga komentar.
Salam sayang dan cinta untuk kalian semuanya!🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
🍹Lulu Hilwa🦃
Like lagi kemarin like dari bawah😁
Salam dari
"KEKUATAN ASISTEN DIREKTUR"
Jangan lupa Feedback dan bantu
LIKE, VOTE, RATE dan KOMEN.
Terima kasih🤗
2021-01-13
1
alien
siapa tuh cowo yang ditabrak arini? rizki?
2021-01-07
1
@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ
kakak😊
cinta pak bos hadir lagi ya
mampir kembali yuk kak😉
semangat dan sehat selalu
2020-12-25
2