"E-enhh"
"A-Apa ini?" Terdengar suara lembut seorang gadis kecil, kelopak matanya bergetar perlahan saat membuka.
Jemari mungilnya terangkat gemetar ke udara, iris matanya mengamati kedua telapak tangannya dengan seksama, sebelum mengucek kedua matanya dengan gerakan tak percaya.
"Haaa!?" Jeritan kaget meluncur dari bibir mungil gadis itu.
Benar, gadis itu adalah Rheine. Entah mengapa, dia saat ini tergeletak di suatu tempat, tubuhnya tersandar lemah di samping sebuah tempat pembuangan sampah di lorong yang gelap. Sayup-sayup terdengar hiruk pikuk keramaian dari luar lorong yang sempit nan gelap itu. Dan saat ini tubuh Rheine terlihat menyusut seperti anak kecil berusia 7 tahun, seolah tubuhnya mengecil dalam semalam.
"mengapa?" Tanyanya Gumamnya penasaran, jemarinya bergerak-gerak lemah saat mengamati kembali kedua tangannya.
"E-ehn" Ia mengerang pelan, otot-ototnya menegang saat berusaha berdiri dengan bertumpu pada salah satu tangannya yang gemetar.
Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, mengamati sekeliling dengan tatapan bingung, "dimana aku?"
"dan kenapa tubuhku seperti mengecil?" Ucapnya heran, kepalanya menunduk dalam mengamati kondisi tubuhnya yang terbalut pakaian kusut dan kotor.
"e-ehn" erangan lemah meluncur dari bibirnya, jemarinya mencengkeram sisi kepalanya kuat-kuat, seolah kepalanya dihantam rasa nyeri yang tak tertahankan.
"a-apa ini?" tubuhnya terhuyung ke belakang saat gelombang ingatan tiba-tiba membanjiri kesadarannya.
"begitu yahh..." gumamnya lirih, bahunya merosot saat kepalanya tertunduk dalam, mencerna semua ingatan yang baru saja diterimanya.
"pemilik tubuh ini—"
"—sebelum aku,"
"ia adalah anak yang lahir tanpa afinitas sihir..." jemarinya bergetar saat mengucapkan kata-kata itu.
"jadi, dunia ini adalah dunia fantasi yah?" iris matanya meredup, menatap kosong ke arah tanah.
"menyedihkan..."
"aku ingin mati dengan tenang lalu bertemu orang tuaku—"
"—aku malah ke tempat seperti ini" bibirnya bergetar menahan emosi.
"dan yang lebih sialnya lagi"
"mengapa aku harus terlahir kembali di tubuh anak yang dibuang?"
"mana aku harus ingat semua kejadiannya lagi"
"yahh— aku hanya perlu mati lagi aja sih" bahunya mengendik pasrah.
"tapi—"
"—mati itu sangat menyakitkan" tubuhnya bergidik ngeri mengingat sensasi kematian.
"aku merasa seperti tubuhku hancur"
"aku tidak ingin mati lagi..." kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri, mencari kehangatan.
"tapi, untuk kali ini kurasa—"
"—aku akan mati"
"aku anak yang tidak memiliki sihir di dunia yang penuh sihir"
"sudah sangat jelas aku akan mati beberapa saat lagi"
"baiklah, untuk sekarang lalui saja"
Kakinya yang kecil melangkah terseret-seret saat beranjak dari kotak itu, tubuhnya sempoyongan berjalan menuju ujung lorong gelap tersebut.
"tunggu, kurasa aku bisa langsung bunuh diri saja disini"
Lehernya menengadah ke atas, matanya menyipit mengamati gedung-gedung tinggi yang menjulang di kedua sisi lorong sempit itu.
"hiyyak!" jemari dan kakinya yang kecil bergerak lincah memanjat dinding gedung, memanfaatkan pipa yang terpasang dari bawah ke atas sebagai pegangan.
Tubuh mungilnya kini menggantung di ketinggian, angin dingin membelai rambut kusutnya.
"bagus, kurasa segini cukup" Gumamnya, matanya menatap kosong ke bawah.
Jemarinya perlahan melepaskan pegangan pada pipa
"Brakkk!" Tubuh kecilnya menghantam tanah dengan suara mengerikan.
~~
~~
~~
"E-enhh" Kelopak mata Rheine kembali bergetar terbuka.
Jemarinya yang gemetar meraba kepalanya yang berdenyut nyeri.
"Hah?"
"haahhh!?" Jeritan kaget kembali meluncur dari bibirnya.
Matanya membelalak lebar melihat pemandangan yang sama. Benar, ia masih terbaring di tempat yang sama seperti saat ia pertama kali membuka mata hari ini, dan masih terjebak dalam tubuh kecil yang sama.
Tangannya terangkat lemah ke udara, matanya menatap nanar langit yang terhalang bayangan gedung-gedung tinggi.
"E-nh" Tubuhnya bergetar saat berusaha bangkit, bertumpu pada salah satu tangannya.
"apa ini—?"
"—aku kembali pada titik awal?" Suaranya bergetar ragu.
"Tchh" Decakan kesal meluncur dari bibirnya.
"ini tidak mungkin" Bisiknya putus asa, kedua tangannya mencengkeram sisi kepalanya kuat-kuat sementara tubuhnya membungkuk dalam.
"Aku akan coba lagi" Ucapnya dengan suara serak, kepalanya terangkat dengan tatapan kosong.
Kakinya berlari terhuyung menuju gedung yang sama, tempat ia mengakhiri hidupnya sebelumnya. Tangannya dengan cepat memanjat pipa, mengulang ritual kematiannya.
Terus menerus.
"brwakk"
Terus menerus.
"brwakk"
Cipratan darah berulang kali membasahi tempat yang sama, seolah setiap kematian hanya mengembalikannya ke titik awal.
Hingga untuk yang ke 25 kalinya, jemari mungilnya kembali memanjat pipa itu....
Dan...
"Brwakk" Sekali lagi, darah menyembur dari kepala Rheine yang hancur.
Untuk ke-26 kalinya di hari yang sama, kelopak mata Rheine bergetar terbuka, "hah—hah—hah" Dadanya naik turun dengan napas terengah-engah.
"i-itu, menyakitkan" Bisiknya parau, jemarinya meraba dahinya yang masih bisa merasakan sensasi hancur.
Dengan langkah terseret penuh keputusasaan, ia memaksakan tubuh kecilnya bangkit dan berjalan terhuyung menyusuri lorong.
Matanya yang redup mengamati sekeliling, "tempat yang kumuh, aku penasaran aku ada dimana sekarang" gumamnya pada diri sendiri.
Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, mengamati lorong yang sepi tanpa satu pun tanda kehidupan.
"E-enh" Tubuhnya tersentak saat cahaya terang menyilaukan matanya dari ujung lorong.
"A-Apa itu?" Bisiknya penasaran.
Kakinya melangkah perlahan mendekati sumber cahaya tersebut.
Matanya membelalak takjub melihat pemandangan asing di hadapannya, "tempat apa ini?".
Ternyata ia telah sampai di sebuah pasar malam yang ramai, matanya mengamati orang-orang bangsawan berpakaian mewah dan bergaun indah berlalu lalang di hadapannya.
Tubuhnya mundur beberapa langkah, enggan mendekat karena menyadari kondisi pakaiannya yang compang-camping, "sebaiknya aku tetap disini, yang ada malah orang orang akan memperlakukanku—"
"—seperti penjual kemarin" Gerutunya pelan dengan nada getir.
"grrk~" Perutnya berbunyi keras, mengingatkannya akan rasa lapar yang mendera.
"sebaiknya aku menyelinap dan mengambil beberapa makanan" Otaknya mulai menyusun rencana.
Kepalanya menoleh mengamati situasi, "sebaiknya, aku coba minta baik baik dulu dehh".
Kakinya melangkah ragu-ragu, baru beberapa langkah keluar dari kegelapan lorong.
"Brwakk" Tubuh kecilnya terpelanting, dihempaskan dengan kasar oleh seseorang.
"kenapa anak orang miskin sepertimu bisa berada di sini!? Ha!" Bentak seorang pria berbaju militer kerajaan yang baru saja melemparnya.
Rheine hanya bisa terdiam, tubuhnya tersungkur di tanah kotor sembari mengusap punggungnya yang berdenyut nyeri, "sudah kuduga, aku harus melakukannya".
Setelah memastikan pria tadi berlalu, tubuh kecilnya bergerak lincah menyelinap dari satu bayangan ke bayangan lain.
Dengan gerakan cepat dan presisi, tangannya berhasil mengamankan lima buah roti dari sebuah kios di pinggir jalan.
Kakinya berlari gesit menerobos keramaian, kembali ke dalam lorong gelap lainnya. Bibirnya menggigit roti curiannya dengan lahap sambil terus berlari, "Awm²~, Ini enak sekali!" Gumamnya dengan mulut penuh.
Langkahnya terhenti mendadak, matanya terbelalak kaget melihat pemandangan di hadapannya.
Puluhan tubuh kurus tergeletak di tanah, berbalut pakaian compang-camping yang sudah tak berbentuk. Mereka tampak seperti mayat hidup, hasil pengusiran sistem kasta kerajaan yang kejam.
Matanya menyapu pemandangan menyedihkan itu, "ternyata, Dugaanku salah".
"kupikir, kerajaan itu makmur karena semua orang bisa berpesta ria disana tadi".
"namun, mereka semua ternyata berpesta di atas penderitaan orang orang ini".
"kemungkinannya, mereka merampas harta orang orang yang lebih miskin atau lemah dari mereka bahkan orang orang dari desa, lalu menggunakannya".
"menyedihkan sekali" Bisiknya getir.
"brwakk" Suara debuman keras mengejutkannya saat seorang anak laki-laki terjatuh tak jauh darinya.
Kakinya refleks berlari menghampiri anak yang tergeletak itu.
"kau baik baik saja?" Tanyanya panik, tangannya meraih tubuh kurus anak tersebut.
"A-a-aku—" Suara lemah keluar dari bibir pucat anak itu.
"kamu?" Tanya Rheine cemas, tangannya menopang tubuh lemah yang mulai kehilangan kesadaran itu.
"—la-par" Bisik anak itu nyaris tak terdengar.
Tanpa pikir panjang, Rheine menyodorkan salah satu roti curiannya, "ini" ucapnya sambil mengarahkan ujung roti ke mulut anak yang setengah tak sadarkan diri itu.
Bibir pucat anak itu bergerak lemah membuka, memberi akses bagi Rheine untuk memasukkan roti ke dalam mulutnya.
"Awm³~" Giginya menggigit lemah lalu mengunyah perlahan.
Setelah menelan gigitan pertama, mendadak matanya terbuka lebar, "wahh, enak sekali!" Serunya bersemangat, tubuhnya yang tadi lemas kini melompat penuh energi.
Melihat perubahan drastis itu, sudut bibir Rheine tertarik membentuk senyuman, namun ia terpikir sesuatu, "mengapa suara anak ini—"
"—terdengar familiar ya?"
~ ~ ~ Continued ~ ~ ~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments