Setelah semua hal yang merepotkan itu.
Rheine terbaring lemah di tanah yang dingin dengan kondisi lemas, bajunya tersayat-sayat bekas robekan di dadanya, dan kedua kaki serta tangannya masih terikat kuat oleh tali yang menggores kulitnya.
Tampaknya, pria-pria tadi telah meninggalkannya begitu saja di sana, meninggalkan jejak-jejak kaki berdebu di lantai.
"Tak kusangka..."
"mereka tidak membuka selangkanganku"
"sehingga aku tidak bisa menggerakkan kakiku"
"mereka hanya menyentuh dan memainkan dadaku"
"Yah—dengan begitu, aku tidak terlalu merasa kesakitan"
"Jadi, aku tidak perlu khawatir"
"karena sesuatu tidak hilang dari diriku"
Gumamnya pelan dalam hati, tangannya yang terikat gemetar.
Saat itu, napasnya terengah-engah berat karena kelelahan, dadanya naik turun dengan cepat.
Ia kemudian memejamkan matanya perlahan karena rasa kantuk dan lelah yang amat sangat mendera tubuhnya.
Setelah menutup matanya, ada semacam suara yang berdengung di pikirannya—seolah ada orang yang memanggilnya dari kejauhan.
"Heyy, bangunlah"
"Jika kau terus seperti itu, kau akan mati kelaparan"
"apa kau hanya akan menerima kondisi seperti ini begitu saja?"
"mengapa kau tidak mencoba melawan?"
Suara itu tiba-tiba muncul bergema di pikirannya, suara itu terdengar seperti suara anak laki-laki yang jernih.
Mendengar suara itu, Rheine reflek terbangun dengan sentakan.
"hah—hah—hah" ia terbangun dengan napas terengah-engah dan jantung berdebar, kaget karena merasa dirinya dipanggil seseorang dari alam bawah sadarnya.
"A-Apa itu tadi?" Gumamnya dengan suara serak.
"Aku merasa seperti ada yang berbicara kepadaku?" Gumam Rheine heran, matanya bergerak liar.
Ia lalu menolehkan kepalanya, melihat sekeliling dengan tatapan waspada, melihat apa ada seseorang di ruangan itu. Namun, yang ia lihat hanyalah tumpukan benda-benda tua yang tak berguna dan berdebu.
Ia pun terpikir sesuatu, kedua alisnya berkerut dalam, "melawan? Yahh?"
"apa aku mampu melakukan itu?" Gumamnya dengan suara kecil, jemarinya yang terikat bergetar pelan.
Tak lama kemudian,
"Brwakk!"
Seseorang menendang pintu dengan keras hingga engselnya berderit.
Benar, boss datang membawa sepiring nasi yang tampak lusuh dan kotor dengan butiran-butiran nasi yang menempel di pinggirannya.
"kau masih di sini ternyata" Ucap pria itu, langkahnya bergema di lantai.
"bagaimana aku bisa keluar dengan kondisi seperti ini coba?" Ucap Rheine dalam hati dengan nada kesal, matanya melirik ke tali yang mengikat kaki dan tangannya.
"Anak buahku tadi nampaknya tidak sabaran yah..?" Ucap sang boss, nada suaranya mengintimidasi, seringai tipis terbentuk di bibirnya.
"ada pistol di saku sabuk sebelah kanan pinggangnya yah?"
"aku lihat, pria ini berjalan tanpa menggerakkan tangan kanannya"
"itu artinya, ia selalu dalam keadaan waspada"
Pikir Rheine, ia mengamati sang boss dengan seksama dari ujung kaki hingga kepala, matanya menangkap setiap detail gerakan pria itu.
"nih makan!" perintah pria itu dengan kasar, pria itu melemparkan piring plastik berisi nasi yang tampak lusuh dan kotor itu ke arah Rheine hingga beberapa butir nasi berhamburan.
Sementara Rheine masih larut dalam pikirannya yang berkecamuk,
"kalau aku bisa menyambar pistol itu, aku bisa langsung menembaknya"
"Tapi—"
"—kelihatan sekali kalau sarung pistol itu terkunci dengan rapat. Dengan begitu, mustahil bagiku untuk menyambarnya"
"apalagi kalau dia adalah tipe orang yang selalu dalam keadaan waspada"
"ia bisa mundur beberapa langkah dengan cepat, lalu menodongkan pistolnya ke arahku"
"jika itu terjadi, aku bisa terbunuh sebelum aku membunuhnya"
"jadi, yang bisa kulakukan untuk sekarang hanya mengikutinya saja"
"toh, dia juga tidak akan membunuhku asal aku tidak mulai duluan"
Pikir Rheine, jemarinya yang terikat bergetar menahan emosi.
Rheine kemudian merangkak mendekati nasi yang di lemparkan oleh Boss tadi, ia memakannya dengan lahap meski rasanya tidak enak dan bau, karena ia sendiri belum makan berhari-hari hingga perutnya terasa perih.
Hari demi hari telah ia jalani dengan sabar, tubuhnya menahan setiap rasa sakit, mulai dari melayani sang boss dengan tangan bergetar, melakukan tugas rumah sang boss hingga tangannya lecet, hingga di seret kesana-kesini bagaikan binatang dengan tali yang diikat kuat di lehernya yang memar.
Saat waktu tidur, Rheine selalu dalam keadaan kedua kaki dan tangannya diikat erat hingga kulitnya tergores, lalu dilempar dengan kasar ke pabrik kosong yang dulunya pernah menjadi tempat transaksi atau tempat Rheine di jual seperti barang dagangan.
Hingga 1 tahun pun berlalu dengan penderitaan, umur Rheine menjadi 11 tahun, sudah 4 tahun berlalu semenjak kematian orang tua Rheine yang masih membayang dalam ingatannya.
Di pabrik kosong itu, sang boss mencengkeram kerah Rheine lalu melempar tubuhnya ke tanah dengan keras, "Diam!" teriaknya, suaranya menggema di dinding-dinding pabrik.
"apa kau ingin meracuniku? Hah!" tanya sang boss dengan kasar, urat-urat di lehernya menonjol menahan amarah.
Rheine yang terlempar dan tersungkur, hanya terdiam menatap pria itu dengan tatapan datar nan dingin.
"jawab!" bentak pria itu, ia kemudian mengayunkan kakinya dan menendang perut Rheine dengan dengkulnya sekuat tenaga.
"Arkhh" Desah Rheine kesakitan, darah segar mengalir dari sudut bibirnya yang pecah.
Rheine kemudian mengusap darah di bibirnya dengan punggung tangannya yang bergetar.
"Bu-bukan..." Ujar Rheine, napasnya terengah-engah menahan sakit.
"Dragg" Pria itu mengepalkan tangannya dan menjotos wajah Rheine dengan keras, membuat tubuh kecil Rheine terpental dan menabrak dinding.
"Berani-beraninya" Ucap pria itu dengan gigi menggeretak, sembari mengepalkan tangannya yang memerah.
"Setelah ini, dia pasti membunuhku" Pikir Rheine, tubuhnya tersungkur lemas di tanah yang dingin.
"Ahh sudahlah!"
"Cepat ganti pakaianmu, lalu bersiap-siaplah"
"carikan uang yang banyak" Perintah Pria itu dengan nada kasar, sembari melempar selembar pakaian yang sobek-sobek ke arah Rheine yang masih tersungkur lemah di tanah.
Rheine berusaha untuk bangkit dengan bertumpu pada lengannya yang gemetar. Namun, tangannya terlalu lemas hingga ia tersungkur kembali ke tanah dengan suara gedebuk pelan.
Sang boss itu berjalan perlahan menuju pintu dengan langkah-langkah berat, membukanya dengan sentakan, lalu keluar dari sana meninggalkan Rheine sendirian, kemudian menutupnya kembali dengan suara berdebam.
Rheine yang terbaring di tanah hanya terdiam dengan mata kosong memikirkan sesuatu yang berkecamuk dalam benaknya.
"Tak kusangka, pria itu tidak membunuhku"
"padahal, aku tidak melakukan apapun"
"belum..."
"Tapi—"
"—percuma saja"
"setidaknya, aku yang akan membunuhnya setelah ini"
"aku sudah menyabotase masing-masing tempat tinggal orang-orang itu selama setahun ini"
"Yah—, membutuhkan waktu setahun untuk melakukan itu semua"
"tapi, yaw udahlah"
"setidaknya—"
"aku hanya perlu menunggu sampai nanti"
"sebenarnya, kedua orang tua kandungku juga di bunuh oleh komplotan yang sama"
"jadi—"
"—aku akan membunuh mereka dengan cara yang sama"
"tapi—"
"—apa yang akan kulakukan setelah ini?"
"benar—"
"—aku mungkin bisa mati dengan tenang setelah ini"
"dengan begitu, aku bisa bertemu lagi dengan mereka di alam sana"
Itulah yang berkecamuk dalam pikiran Rheine.
"Baiklah!" Gumamnya pelan namun terdengar bersemangat meski tubuhnya masih bergetar.
Ia kemudian berusaha untuk bangkit dengan bertumpu pada tangannya yang lecet, "e-enh" desahnya pelan menahan sakit.
Ia kemudian berdiri dengan tubuh yang masih lemas dan bergoyang, lalu berjalan tertatih-tatih menghampiri pintu yang tertutup rapat.
"baiklah!"
"ini saatnya—"
"—memikirkan kematian yang cocok untukku" Gumamnya dengan semangat yang membara dalam matanya.
Ia membuka pintu itu dengan sentakan keras, "brwakk" terlihat pemandangan pepohonan yang rindang dan indah di baliknya, letak pabrik terbengkalai itu memang tersembunyi di tengah lebatnya hutan.
Namun, Rheine tiba-tiba menghentikan langkahnya mendadak, kemudian berpikir sembari memegang dagunya dengan jemari yang masih bergetar.
"tunggu,"
"bisakah aku keluar dengan kondisi seperti ini sekarang?" Gumamnya ragu, ia menunduk melihat ke bawah, memperhatikan kondisi pakaiannya yang compang-camping memperlihatkan beberapa bagian tubuh yang seharusnya tidak dilihat.
"fyuhh" Rheine menghela napas panjang sejenak, bahunya turun lesu.
"baiklah, balik aja dah" ucapnya, semangatnya surut seketika.
Ia berbalik dengan gerakan lambat, namun kakinya tidak melangkah sedikitpun.
"ah bodoamat"
"toh, nanti juga aku bakal mati"
"emang kenapa kalau begini"
Gumamnya, semangatnya kembali membara dalam matanya. Ia kemudian berbalik dengan cepat lalu melangkah keluar pabrik itu dengan langkah berat, lalu menjauh perlahan meninggalkan tempat itu.
Ia kemudian mengendap-endap menuju kota dengan hati-hati, berjalan perlahan dengan langkah-langkah seringan kucing agar tidak ada yang melihatnya dalam kondisi seperti ini.
Di tengah perjalanan menyusuri gang sempit, hidungnya mencium aroma lezat yang menggoda. "Ffh~" "Ffh~" ia berusaha mengendus-endus mencari asal aroma menggiurkan itu, ia mengikutinya dan menyusuri lorong yang gelap karena terbayangi gedung-gedung tinggi yang menjulang.
Hingga akhirnya ia sampai di sebuah warung makan yang terlihat mewah, matanya berbinar melihat berbagai macam makanan yang berjejer menggoda di meja yang ada di warung itu.
"hai kau!" panggil seseorang dengan suara kasar dari belakang.
Rheine menoleh ke belakang dengan gerakan kaku.
"apa yang sedang kau lakukan di sini?". Tanya pria itu dengan nada menuduh, pria itu mengenakan topi chef yang sudah lusuh, terlihat seperti pemilik kedai makan mewah itu.
"kau mau mencuri yah?" tuduh pria itu dengan mata menyipit curiga, ia menuding Rheine dengan jari telunjuknya.
Rheine mengibas-kibaskan tangannya di udara dengan panik, "Ti-tidak, a-aku hanya"
Belum selesai Rheine menjelaskan, pria itu kemudian mencengkeram kerah baju Rheine yang sobek lalu mengangkatnya dengan kasar hingga kaki Rheine tidak menyentuh tanah.
"Ehkk—"
Pria itu kemudian menyeret Rheine menjauh dari kedai makan itu dengan kasar, "brakk" pria itu melempar tubuh kecil Rheine ke tanah kotor, di lorong yang gelap dan pengap.
Rheine yang merasa tulangnya seakan remuk reflek memegang punggungnya yang nyeri.
"enyahlah dari sini!" Bentak pria itu dengan kasar, kemudian berbalik lalu pergi meninggalkan Rheine sendirian di kegelapan.
"aku kan juga butuh makan" Gumam Rheine pelan dengan nada kesal, ia menatap punggung pria itu yang menjauh.
Rheine kemudian bangkit perlahan bertumpu pada tangannya yang lecet.
"yahh—"
"—aku juga tidak punya uang sih"
Gumamnya pasrah, sembari menepuk-nepuk bajunya yang kotor dengan tangannya yang bergetar.
Setelah berdiri dengan susah payah, ia kemudian berjalan tertatih-tatih menyusuri gang yang sempit, kotor, nan gelap itu. Banyak sampah dan kotoran berserakan di sekitarnya, menambah bau pengap yang menyengat.
Setelah beberapa saat Rheine berjalan tanpa arah, telinganya menangkap suara gaduh perkelahian.
Disana ia melihat, sekelompok pria bersenjata sedang mengeroyok 3 orang gadis yang ketakutan.
Ia seketika mengendap dan bersembunyi di balik dinding yang retak, sesekali ia mengintip dengan hati-hati dari balik tembok.
"inikan...?" ia mengintip dari balik dinding gedung itu dengan mata menyipit.
"Perampokan? Penculikan?" Gumamnya dalam hati, tangannya terkepal erat.
Salah seorang dari kelompok itu mengangkat dan menodongkan pistol hitam mengkilat ke arah ke-3 gadis yang gemetar ketakutan itu.
Tepat sebelum jari pria itu menarik pelatuk, Rheine berlari secepat kilat ke arah mereka.
"Dorr!" pelatuk ditarik, dan peluru melesat keluar dari moncong pistol.
Rheine melompat dengan gerakan cepat, menghadang peluru itu dengan tubuhnya.
Cipratan darah keluar mengenai wajah ke-3 gadis itu yang membeku di tempat.
"a-apa I-itu?" Gumam Pria itu.
Tubuh Rheine yang berlubang perlahan jatuh ke tanah dengan suara gedebuk pelan, peluru tadi melesat tepat menembus dada Rheine, membuat napasnya terhenti seketika.
Sebelum ia benar-benar menutup mata, ia menatap langit yang bercahaya terang.
"A—"
"—apa aku te—lah ma—ti?" Gumamnya dalam hati dengan suara tercekat, napasnya terengah-engah menahan sakit yang luar biasa.
"benar, aku harap—"
"—aku bisa tenang se—"
"telah i—"
"nihh"
Pandangannya mulai mengabur dan menghitam, kemudian ia perlahan menutup matanya yang semakin berat, ke-3 gadis itu berlutut dan berusaha membangunkan Rheine yang terbaring kaku.
Tangis ke-3 gadis itu pecah memecah keheningan saat mengetahui Rheine yang tidak kunjung bangun.
Karena suara tembakan yang cukup keras menggema di gang sempit itu, lampu-lampu di lorong tiba-tiba menyala satu persatu, orang-orang dari luar berlari berhamburan ke dalam dengan panik, tidak memberikan kesempatan bagi kelompok itu untuk menarik pelatuk untuk kedua kalinya.
~ ~ ~ Continued ~ ~ ~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Violette_lunlun
ihh kok aku kasian yah...
btw kalau berminat mampir juga yuk ke karya ku 'the Cold CEO is my husband'
saling support yuk!
2025-05-17
0