Nara duduk di samping Alan yang menyetir mobil dengan fokus. Ia sedikit gusar dan merasa bersalah karena dirinya Alan tidak jadi pergi kerja.
“Ka, aku gapapa kok sendiri nanti aku bilang sama Papa kalo kamu udah beneran nganterin aku,” ujar Nara kepada Alan di sampingnya yang fokus ke depan melihat arah jalan.
“Kamu mau saya dihukum lagi oleh Papa?” potong Alan dengan nada dingin. Tatapannya menyipit ke arah jalan. “Duduk saja diam, jangan banyak bicara.”
Nara terdiam. Kepalanya menunduk, bibirnya terkatup rapat. Ia tahu, Alan tak ingin berbicara dengannya lebih dari yang diperlukan.
“Tapi Ka aku serius,” ujar Nara sekali lagi berusaha meyakinkan Alan
“Duduklah dengan tenang atau saya maupun kamu tidak akan pergi rumah sakit sama sekali,” ancam Alan kepada Nara
“Kamu kira saya mau seperti ini? Harusnya saya menyiapkan berkas saya dalam persidangan. Karena kamu saya jadi membatalkanya, merepotkan,” decak Alan
Nara termenung, dirinya bahkan sama skelai tidak meminta untuk ditemani dan ia juga sudah mengatakan bahwa Alan bisa untuk meninggalkanya dan ia akan pergi sendiri seperti biasa.
Namun, ada hal yang tak bisa Nara tahan lagi. “Ka, aku tahu kamu enggak suka aku. Tapi aku enggak pernah minta untuk ini semua,” ucapnya dengan suara bergetar. “Aku cuma mau hidup tenang... untuk aku dan baby.”
Alan menginjak rem mendadak, membuat mobil berhenti di pinggir jalan. Nara tersentak, menoleh ke arahnya dengan kaget.
Alan menatapnya, kali ini matanya tak lagi dingin, melainkan penuh dengan sesuatu yang sulit dibaca. Marah? Frustrasi? Kesal? Entah Nara sama sekali tidak bisa membaca Alan.
“Kamu pikir saya minta ini semua?” suaranya rendah, tapi penuh emosi. “Hidup saya hancur gara-gara kamu, Nara. Tapi kamu mau saya memberikan kamu ketenangan? Egois sekali?”
Air mata menggenang di mata Nara. Ia menggigit bibirnya, menahan tangis. “Aku enggak mau jadi beban, Kak. Aku cuma mau kamu tahu, aku enggak pernah mau merebut apa pun dari Kak Senja... atau dari hidup kamu.”
“Kamu kira aku juga mau? berapa banyak yang terenggut semuanya dari aku?”
Alan mengalihkan pandangannya, menghela napas panjang berusaha meredam emosinya. Beberapa detik berlalu dalam diam, sebelum akhirnya ia kembali melajukan mobil tanpa berkata apa-apa.
Di sudut matanya, Nara menghapus air mata dengan pelan, memastikan Alan tak melihat. Ia tahu, permintaannya untuk “hidup tenang” hanya mimpi kosong
Alan memakirkan mobilnya di tempat khusus kemudian menoleh ke arah samping melihat Nara yang juga menoleh melihat ke arah dirinya.
“Turun,” ujar Alan dengan singkat yang langsung turun dari mobil dengan santai.
Nara turun dari mobil dengan pelan akibat bawaan dari perutnya yang sudah mulai memberat. Ia berjalan di belakang Alan yang sudah berjalan terlebih dahulu. Ia menunduk pelan, Ia tidak pernah berada di situasi ini sebelumnya.
Ia biasanya pergi check up sendirian dengan menaiki angkutan umum kereta yang tidak jauh dari rumah dan rumah sakit. Ia senang berpergian dengan angkutan umum bertemu banyak orang dan berinteraksi berbicara berbagi pengalaman maupun cerita satu sama lain.
“Aduh” keluh Nara saat kepalanya terbentur dengan dada Alan yang berhenti tiba-tiba.
“Perhatikan jalan kamu,” ujar Alan dengan singkat.
Nara menganggukan kepalanya dan melanjutkan langkahnya mendahului Alan yang tertinggal dibelakang, Ia dapat melihat beberapa orang menunduk pelan kepada Alan. Bagaimana tidak, rumah sakit ini milik Alan dan juga Alan adalah keluarga kaya yang disegani oleh sekitar.
“Dengan apa kamu pergi ke sini biasanya?”
Nara menoleh ke samping, tersentak melihat Alan yang berjalan di sampingnya dan mendengar pertanyaan tiba-tiba dari Alan mulai berjalan menuju ruangan dokter obgyn.
“Kereta” ujar Nara dengan pelan.
Ia memberikan formulir jadwal rutin dan juga buku KIA (kesehatan ibu dan anak) kepada penjaga di depan ruangan dokter obgyn.
Alan mengerutkan keningnya melihat Nara memberikan formulir tersebut dan duduk mengantri bersama ibu-ibu yang menunggu antriannya.
Apa dia selalu menunggu seperti ini? Bukankah seharusnya anggota VVIP langsung saja membuat jadwal dan masuk ke dalam ruangan dokter tanpa mengantri dan memberikan buku maupun formulir yang dibawa oleh Nara?
Ayolah ini rumah sakitnya, kenapa Ia harus dibuat menunggu seperti ini?
Alan menoleh ke arah Nara yang melihat sekitar dan mengusap perutnya yang sudah membulat. Dirinya baru saja menyadari bahwa perut Nara memang sudah besar bahkan dirinya tidak tahu sudah berapa bulan umur bayi di perut Nara.
Jika kejadian lalu sudah tujuh bulan, bisa saja baby di dalam perut Nala sekitar enam atau masuk tujuh bulan? Batin Alan di dalam hati.
Kejadian dimana dirinya bertemu dengan Nara dan membawa Ia ke dalam rumahnya dan hidupnya.
“Wah, apakah ini anak pertama, Mbak?”
Nara dan Alan menoleh ke samping melihat sepasang suami istri yang juga tampak mengantri seperti mereka.
Nara tersenyum tipis dan menganggukan kepalanya, “Iya Mbak, bagaimana dengan, Mbak? apakah ini anak pertama juga?” tanya Nara kepada wanita di samping mereka.
Alan terdiam memperhatikan bagaimana senyuman Nara berikan kepada Ibu hamil di samping mereka, hingga senyuman itu menjadi tatapan lirih saat melihat bagaimana suami istri tersebut saling merangkul, berpegangan satu sama lain.
“Iya Mbak, kami sudah menantikan kehadiran dedek dari lama. Saat mendengar saya hamil seluruh keluarga sangat bahagia bahkan sampai mengadakan syukuran,” ujar Ibu itu dengan senyum lebarnya yang dirangkul oleh suaminya di samping mengusap perut besar milik Ibu tersebut.
Nara menunduk pelan melihat ke arah perutnya, tidak ada yang menantikan kehadiran baby di dalam perutnya kecuali dirinya dan juga Bi Rena. Tidak ada suaminya yang mengusap perutnya layaknya suami Ibu di sampingnya ini yang nampak menyayangi Ibu tersebut.
Nara berusaha tersenyum lebar dan mengucapkan, “Senang mendengarnya, semoga lancar selalu ya Mbak sampai lahiranya,” ujar Nara kepada Ibu di sampingnya.
Ibu tersebut tersenyum lebar dan menganggukan kepalanya, “Terimakasih, Mbak, begitu juga dengan Mbak pasti anaknya cantik atau ganteng karena orang tuanya sangat tampan dan cantik,” ujar Ibu tersebut dengan tulus
Nara tersenyum tipis mendengar perkataan Ibu tersebut.
“Saya duluan ya Mbak, nama saya sudah dipanggil,” ujar Ibu tersebut pamit bersama suaminya kepada Nara masuk ke dalam ruangan.
“Iya Mbak, silahkan,” ujar Nara dengan ramah.
Nara terdiam sejenak, suasana hening di antara dirinya dan Alan. Nara menoleh ke samping melihat Alan yang sibuk memutar pandangannya ke sekitar.
Alan baru sadar bahwa rumah sakit ini pelayanan yang kurang ramah, bagaimana dirinya melihat pegawai kesehatan di depan sana yang tampak tidak ramah dan ketus kepada ibu lansia di depannya.
Ia juga terkejut melihat ke belakang bagaimana adanya pertengkaran yang terjadi antara pegawai rumah sakit dengan bapak-bapak yang menarik perhatian sekitar.
“~Tidak bisa bapak, kami akan memproses kelahiran juga bayaran rumah sakit sudah lunas~”
“~Tapi istri saya sudah kesakitan di dalam sana buk. Tidak bisakah tindak lanjuti dulu, saya janji saya akan membayarnya~”
“~Saya mohon selamatkan istri saya terlebih dahulu~”
Nara mengikuti arah pandangan Alan dan membelalakan matanya saat melihat bapak tersebut bersimpuh bahkan bersujud di depan pegawai kesehatan administrasi tersebut. Ibu tersebut menghindar membuat kepala bapak yang sujud tersebut mengenai lantai.
Pertengkaran mereka menarik perhatian sekitar termasuk dengan Nara.
Nara tidak bisa, Ia tidak bisa seperti ini. Ia rapuh melihat bagaimana seorang suami berusaha menyelamatkan istrinya, Ia berdiri dari tempat duduknya yang membuat Alan terkejut tiba-tiba akan pergerakan Nara.
Nara berjalan mendekat ke arah bapak tersebut yang sudah banyak orang berusaha membantu bapak itu berdiri. Ia tidak bisa berjongkok jujur saja dengan keadaan hamil seperti ini, namun Ia berusaha memaksakanya membantu bapak itu untuk berdiri atau duduk yang juga banyak dibantu oleh orang sekitar.
“Bapak, jangan seperti ini. Ayo bangun, istri bapak akan ditangani kok,” ujar Nara dengan lembut kepada pria yang masih bersujud memohon agar diselamatkan istrinya.
Nara berusaha berdiri dengan susah payah yang langsung dibantu oleh Alan dengan cepat. Entah, dirinya spontan begitu saja mengulurkan tanganya agar Nara bisa berdiri dengan mudah.
“Apakah tidak bisa Anda menyelamatkan istri bapak ini melahirkan dulu baru mengenai uang? apakah nyawa seseorang sebanding dengan uang tidak seberapa itu?” tanya Nara dengan marah kepada wanita di depannya ini.
“Tidak bisa buk, kecuali pembayaran administrasinya sudah lunas atau setidaknya setengah,” ujar pegawai kesehatan tersebut.
Nara ingin membantu namun Ia juga tidak memiliki uang bahkan untuk beli susu saja Ia juga susah. Ia melihat seseorang yang juga sudah menawarkan uangnya terlebih dahulu kepada pegawai tersebut agar istri bapak di depanya dirawat namun ternyata biaya tidak sedikit dan masih kurang.
Nara tidak ada pilihan lain, Ia menoleh ke samping melihat ke arah Alan yang juga melihat dirinya. Nara mendekat ke arah Alan dan menangkupkan tanganya memohon.
Air matanya jatuh berlomba membasahi pipinya. “Ka, aku mohon sekali ini aja. Sekali ini saja, kamu tolong bapak ini agar istrinya bisa melahirkan. Ini rumah sakit keluarga kamu, pasti kamu memiliki kekuasaan di sini, tolong Mas,” ujar Nara kepada Alan dengan penuh air mata.
Alan terdiam, Ia tidak pernah melihat Nara memohon seperti ini. Hatinya yang mati seketika berdenyut perih. Ini juga kali pertamanya Nara memanggil Mas setelah kejadian pada hari pernikahan itu.
Nara memang tidak memanggil dirinya Mas sama seperti saat dirinya kenal dengan Nara berpacaran dengan Senja, ia dikenalkan oleh Senja kepada Nara yang merupakan adiknya Senja dan menyuruh Nara memanggil Mas namun setelah pernikahan Nara tampak menjauhkan diri dan memanggil dirinya dengan Kak seolah memberikan tembok dan jarak bahwa mereka tidak sedekat itu
Alan jalan menuju pegawai rumah sakit tersebut, mengambil telepon kantor untuk pelayanan kyang ada di dekat pegawai tersebut.
“Bapak, jaga sopan santun anda,” ucap pegawai wanita tersebut.
Alan mengabaikanya namun pegawai tersebut berusaha menarik telepon ditangan Alan namun tidak semudah itu. Ia mengambil sesuatu dari sakunya dan mengeluarkan kartu namanya memberikan kepada wanita tersebut. Alan yakin pasti pegawai ini baru dan tidak mengenali dirinya.
“Alan Ravindra Sanjaya?” ujar wanita tersebut dengan nada penuh terkejutnya.
Alan menekan beberapa angka yang tidak Nara ketahui, telepon operator tersebut terhubung. “Saya Alan Ravindra Sanjaya anak dari Bapak Baskara Putro Sanjaya. Saya kecewa dan kita perlu mengadakan rapat besar, -”
“Siapa nama istri anda dan juga anda?” tanya Alan
“Rani Tuan dan nama saya Randi” ujar pria tersebut
“Ada pasien dengan nama Ibu Rani istri dari bapak Randi. Saya tidak mau tahu datangkan dokter ahli kalian, selamatkan istrinya atau tidak kalian akan tahu apa yang bisa saya lakukan, lantai dua” ujar Alan dengan ringkas yang langsung menutup teleponya.
Seketika banyak petugas yang datang ke tempatnya yang masuk ke dalam ruangan istri Pak Randi dan juga beberapa dokter yang masuk. Bahkan manager dari rumah sakit pun sudah turun tangan menghadapi Alan.
“Bapak, maaf saya-”
“Jangan bahas di sini, kita adakan rapat besar. Selamatkan Ibu Rani tersebut dan juga bayi di dalam perutnya, saya tidak mau tahu,” ujar Alan meninggalkan manager tersebut di tempat.
Alan kembali di tempat mengantri dan memanggil Nara karena namanya sudah dipanggil sedari tadi. Nara terkesiap, Ia berjalan menuju Alan yang sudah membuka pintu masuk dokter obgyn langganannya. Kejadianya begitu cepat, ia melihat bagaimana Alan tadi
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments