Kiani punya 4 sahabat yang sejak kecil selalu bersama. Mereka adalah Sierra si centil, Mala si tomboy, Karla si lebay, dan Nina si paling disiplin
Sierra adalah gadis dengan rambut panjang yang selalu tertata sempurna. Setiap hari ia datang ke sekolah dengan seragam yang dimodifikasi sedikit lebih rapi, rok yang dipasangi pita kecil, dan sepatu yang selalu berkilau. Saat Sierra masuk ke kelas, semua mata otomatis tertuju padanya. Tidak hanya karena penampilannya, tetapi juga karena energi yang selalu ia bawa.
"Sierraaaa, lihat deh, aku bawa gelang baru! Bagus kan?" kata Karla sambil melambaikan tangannya dengan berlebihan.
Sierra tertawa kecil. "Bagus, tapi lebih bagus kalau kamu pakai lipstik warna peach. Sesuai banget sama kulit kamu!" jawabnya sambil memberikan tips seperti seorang fashion guru.
Namun, Sierra bukan hanya soal gaya. Ia juga punya kemampuan berbicara yang membuat semua orang terpesona. Saat ada tugas presentasi di kelas, Sierra selalu menjadi sukarelawan pertama.
"Baiklah, kelompok kami akan membahas tentang pengaruh media sosial terhadap remaja," kata Sierra dengan suara lantang dan senyuman percaya diri.
Ia menjelaskan dengan gaya yang menarik, penuh gestur, dan selalu menyelipkan sedikit humor. Teman-temannya di kelas sering terkikik karena caranya menyampaikan sesuatu sangat ekspresif. Bahkan guru pun terkadang ikut tertawa kecil.
Namun, menjadi pusat perhatian bukan berarti Sierra tidak punya kelemahan. Ada saat-saat di mana ia merasa harus selalu tampil sempurna. Suatu hari, ketika ia lupa membawa makeup pouch ke sekolah, ia merasa tidak percaya diri sepanjang hari.
"Kiani, aku kayak nggak jadi Sierra tanpa makeup!" bisiknya cemas saat jam istirahat.
Kiani hanya tersenyum. "Kamu tetap Sierra kok, dengan atau tanpa makeup. Kamu tuh cantik apa adanya."
Sierra juga sering merasa bahwa teman-temannya hanya suka padanya karena penampilannya. Ketakutan itu ia pendam sendiri, hingga suatu hari ia curhat pada Mala.
"Mala, kamu pernah nggak sih merasa orang-orang cuma suka kamu karena sesuatu yang mereka lihat, bukan yang sebenarnya?" tanya Sierra saat mereka duduk di kantin.
Mala, yang selama ini lebih cuek, menatap Sierra dengan serius. "Kalau teman-teman kita, nggak, Sierra. Kita semua tahu kamu itu baik, lucu, dan selalu bikin suasana lebih hidup. Kamu nggak perlu takut soal itu."
Dari percakapan itu, Sierra mulai memahami bahwa menjadi diri sendiri lebih penting daripada selalu tampil sempurna. Di balik semua centilnya, Sierra adalah teman yang setia, yang selalu membawa warna dalam hidup sahabat-sahabatnya.
Di akhir semester, Sierra mendapatkan penghargaan dari sekolah: “Siswa dengan Semangat Positif Terbaik”. Ketika namanya dipanggil, seluruh kelas bersorak, terutama tiga sahabatnya. Mereka tahu, Sierra memang istimewa—bukan hanya karena gayanya, tetapi karena hatinya yang selalu peduli pada orang-orang di sekitarnya.
Mala dikenal sebagai gadis yang berbeda dari kebanyakan teman-temannya. Rambutnya selalu dipotong pendek model pixie, dan ia lebih suka memakai jaket hoodie serta sneakers daripada rok dan aksesori. Jika ada yang mencari Mala, tempat pertama yang harus didatangi adalah lapangan basket.
"Hei, Mala, ikut tanding sore ini? Anak-anak kelas sebelah mau rematch," teriak salah satu teman sekelasnya.
"Pastilah! Siapkan aja bola, yang kalah bayar es teh," jawab Mala dengan senyum lebar, penuh percaya diri.
Di sekolah, Mala adalah ikon olahraga. Tidak hanya basket, ia juga jago di badminton, sepak bola, bahkan voli. Saat teman-teman perempuannya sibuk membicarakan tren fashion atau drama Korea terbaru, Mala justru sibuk menonton highlights pertandingan NBA atau membaca berita tentang atlet terkenal.
Namun, kehebatan Mala di olahraga bukan satu-satunya hal yang membuatnya menonjol. Ia juga terkenal sebagai "pelindung" teman-temannya. Jika ada yang berani mengganggu salah satu sahabatnya, Mala tidak akan tinggal diam.
Suatu hari, Sierra sedang berjalan menuju kantin ketika sekelompok anak laki-laki mulai menggodanya.
"Sierra, senyummu hari ini manis banget. Lagi cari perhatian siapa, nih?" kata salah satu dari mereka dengan nada mengejek.
Sierra hanya memutar mata, tapi ia merasa risih. Sebelum Sierra sempat menjawab, Mala muncul entah dari mana.
"Hei, ada masalah di sini?" tanya Mala dengan nada datar, tapi matanya menatap tajam.
Anak-anak itu langsung mundur. Mereka tahu Mala bukan tipe orang yang bisa dianggap enteng.
"Enggak, kok. Cuma bercanda," jawab salah satu dari mereka sambil menggaruk kepala.
"Kalau cuma bercanda, jangan keterlaluan," tegas Mala. "Ayo, Sierra."
Sierra tersenyum lega. "Makasih, Mala. Kadang aku bingung gimana caranya ngadepin orang-orang kayak gitu."
Mala hanya mengangkat bahu. "Santai aja. Selama aku ada, nggak ada yang bakal ganggu kamu."
Di balik sikap tomboy dan kerasnya, Mala sebenarnya sangat perhatian. Ia sering membantu Nina mengangkat buku-buku berat atau memaksa Karla untuk ikut olahraga kecil supaya tetap sehat.
"Mala, aku capek!" rengek Karla ketika Mala mengajaknya jogging di taman.
"Capek karena nggak biasa, Karla. Kalau kamu rutin, nanti malah jadi enak," jawab Mala sambil memberikan sebotol air.
Namun, Mala juga punya sisi rapuh yang jarang ia tunjukkan. Ia merasa sering tidak dianggap feminin oleh orang-orang di sekitarnya.
"Kamu tuh kayak cowok banget, Mal. Nanti siapa yang mau sama kamu?" komentar salah seorang teman sekelasnya.
Perkataan itu sempat membuat Mala terdiam lama. Ia bahkan mulai ragu pada dirinya sendiri. Namun, sahabat-sahabatnya selalu ada untuk menguatkannya.
"Mala, kamu tuh hebat. Justru karena kamu beda, kamu istimewa," kata Nina saat mereka sedang makan bersama di kantin.
"Iya, Mala. Lagian, siapa bilang harus feminin buat bikin orang suka? Kamu adalah kamu, dan itu yang bikin kamu keren," tambah Kiani.
Mala tersenyum. "Kalian memang paling bisa bikin aku merasa lebih baik."
Karla adalah pusat dari semua drama kecil di kelompok mereka. Gadis berambut panjang dengan hiasan pita warna-warni di kepalanya ini selalu punya cerita, opini, atau ekspresi berlebihan tentang segala hal. Baginya, hidup adalah panggung teater, dan ia adalah pemeran utama.
Pagi itu, Karla masuk ke kelas dengan langkah dramatis sambil mengibaskan rambutnya.
"Astaga, kalian nggak akan percaya apa yang terjadi tadi pagi!" katanya dengan nada tinggi.
Sierra meliriknya sambil tertawa kecil. "Apa lagi, Karla? Biar aku tebak, kamu kehabisan lip gloss favorit?"
"Lebih parah dari itu, Sierra!" Karla mengangkat tangan seolah-olah sedang berpidato. "Aku telat karena ada kucing yang duduk di atas sepatuku! Dan dia nggak mau turun! Aku harus bicara lembut dulu, lalu kasih dia makan, baru dia pergi. Bisa bayangin nggak betapa sibuknya aku?"
Sahabat-sahabatnya sudah terbiasa dengan cerita-cerita Karla yang sering dilebih-lebihkan. Meski terkadang mereka tertawa geli, mereka tahu Karla sebenarnya hanya ingin perhatian.
Di kelas, Karla adalah murid yang sering membuat guru kewalahan dengan ulahnya. Suatu hari, guru bahasa Indonesia meminta semua siswa membuat puisi sederhana. Ketika giliran Karla maju, ia membaca puisinya dengan penuh emosi, seperti sedang tampil di atas panggung.
"Hujan membasahi bumi...
Seperti air mataku yang tumpah...
Saat cinta yang tak pernah terbalas... menghancurkan harapan!"
Seluruh kelas tertawa, termasuk gurunya. Tapi Karla justru memasang wajah sedih.
"Kalian nggak mengerti seni..." gumamnya dengan nada tersinggung.
Namun, di balik sikap lebaynya, Karla adalah teman yang setia. Ia selalu memastikan sahabat-sahabatnya merasa diperhatikan, meskipun dengan caranya yang unik.
Suatu hari, Nina datang ke sekolah dengan wajah muram karena nilai ujian matematikanya jeblok.
"Aku nggak tahu gimana cara perbaikin ini," keluh Nina.
Tanpa berpikir panjang, Karla langsung memeluk Nina. "Nina, jangan sedih! Kamu itu pintar banget. Ini cuma kesalahan kecil, dan aku yakin kamu bisa memperbaikinya. Kalau perlu, aku bakalan jadi cheerleader pribadi kamu sampai kamu sukses!"
Karla juga dikenal sangat emosional dalam situasi apapun. Ketika Sierra menceritakan rencananya menjadi influencer, Karla langsung bereaksi heboh.
"Sierra, kamu tuh bener-bener bintang! Aku bisa bayangin kamu di red carpet, pakai gaun indah, dan aku di sebelah kamu sebagai manajer pribadi. Ya Tuhan, ini momen yang harus kita dokumentasikan!" katanya sambil memegang tangan Sierra erat-erat.
Namun, ada saat di mana Karla merasa lelah menjadi pusat perhatian. Ia pernah curhat kepada Kiani tentang perasaannya.
"Kiani, kadang aku capek banget. Aku selalu merasa harus bikin semua orang senang atau terhibur, tapi nggak ada yang tahu apa yang aku rasakan," kata Karla sambil menunduk.
Kiani tersenyum lembut. "Karla, kita semua sayang kamu bukan karena kamu selalu heboh atau lebay. Tapi karena kamu itu peduli sama kita, apa adanya. Kalau kamu butuh istirahat, kita akan tetap di sini."
Dengan dukungan sahabat-sahabatnya, Karla belajar bahwa ia tidak perlu selalu menjadi drama queen untuk dicintai. Tapi tetap saja, ia tidak bisa sepenuhnya meninggalkan sifat lebaynya. Karena tanpa Karla, hari-hari mereka akan terasa jauh lebih sepi dan kurang berwarna.
Di akhir semester, Karla bergabung dengan klub teater sekolah dan langsung menjadi bintang utama dalam drama yang mereka pentaskan. "Ini dia panggung hidupku!" katanya dengan bangga. Sahabat-sahabatnya pun mendukung dengan penuh semangat, karena mereka tahu, Karla memang terlahir untuk bersinar di dunia drama—baik di atas panggung maupun dalam kehidupan nyata.
Di antara sahabat-sahabatnya, Nina adalah yang paling terorganisir dan selalu berpikir praktis. Ia tipe gadis yang jadwal harianya penuh dengan to-do list, catatan rapi di planner, dan alarm yang selalu berbunyi tepat waktu. Dengan rambut hitam panjang yang selalu dikuncir rapi, Nina adalah cerminan dari ketertiban.
“Jam 7 pagi. Harusnya kamu sudah ada di sini lima menit lalu, Sierra,” kata Nina dengan nada tegas saat mereka berkumpul di perpustakaan untuk belajar kelompok.
Sierra hanya nyengir. “Nina, tenang dong. Lima menit kan nggak bikin dunia runtuh.”
“Lima menit itu berarti, Sierra. Kalau kita selalu menunda, hasil akhirnya juga akan terlambat,” jawab Nina sambil membuka buku pelajarannya.
Nina sering disebut sebagai "ibu kelompok" oleh sahabat-sahabatnya karena sikapnya yang seperti orang dewasa. Saat mereka punya rencana, Nina yang mengatur semuanya—dari jadwal, anggaran, hingga pakaian apa yang sebaiknya dikenakan.
Ketika mereka memutuskan untuk pergi piknik, Nina sudah mempersiapkan semuanya:
Tikar dan peralatan makan.
Daftar makanan yang harus dibawa.
Jadwal keberangkatan dan pulang.
“Kenapa harus pakai jadwal segala, sih? Kan kita cuma piknik, Nina,” protes Karla saat itu.
“Karena kalau nggak ada jadwal, Karla, kita bakal terlambat, lupa barang, atau malah bingung harus ngapain duluan. Percaya deh, semuanya akan berjalan lebih lancar kalau terorganisir,” jawab Nina sambil menatap mereka dengan ekspresi serius.
Namun, menjadi disiplin dan terorganisir bukan berarti hidup Nina tanpa tantangan. Ada kalanya ia merasa frustrasi karena sahabat-sahabatnya sering mengacaukan rencana yang ia susun dengan susah payah.
Seperti saat mereka memutuskan untuk belajar kelompok di rumah Mala. Nina sudah membawa daftar materi yang harus dipelajari, tapi Sierra malah sibuk selfie, Karla mengeluh soal tugas yang “terlalu susah,” dan Mala malah mengajak mereka nonton pertandingan sepak bola.
“Kenapa kalian nggak serius sih? Kita nggak akan selesai kalau begini terus,” keluh Nina sambil memijat pelipisnya.
Mala menepuk pundaknya. “Santai, Nina. Kadang kita butuh istirahat sedikit biar otak nggak terlalu tegang.”
“Kalau kita istirahat terus, kapan belajarnya?” balas Nina dengan nada cemas.
Di balik kedisiplinannya, Nina sebenarnya sangat peduli pada sahabat-sahabatnya. Ia sering menunjukkan kasih sayangnya dengan cara yang tidak langsung, seperti mengingatkan mereka untuk makan teratur, membawa obat ketika salah satu dari mereka sakit, atau memberikan saran terbaik saat ada yang sedang galau.
Suatu hari, Karla datang ke sekolah dengan wajah murung karena bertengkar dengan adiknya.
“Karla, kamu kenapa?” tanya Nina sambil mengamati ekspresinya.
“Ah, nggak apa-apa kok,” jawab Karla dengan nada lesu.
“Kalau nggak apa-apa, kamu nggak akan kelihatan seperti itu. Cerita aja, siapa tahu aku bisa bantu,” desak Nina dengan nada lembut.
Akhirnya Karla bercerita, dan Nina memberikan solusi dengan cara yang rasional dan penuh perhatian.
Namun, ada satu hal yang Nina sembunyikan dari sahabat-sahabatnya: ia merasa lelah selalu menjadi yang paling bertanggung jawab. Kadang ia ingin mereka yang mengambil alih, atau setidaknya lebih menghargai usahanya. Ketika Kiani menyadari hal ini, ia mengumpulkan yang lain.
“Kita harus bilang terima kasih ke Nina lebih sering. Kalau nggak ada dia, kita pasti bakal kacau banget,” kata Kiani.
Mala, Sierra, dan Karla pun sepakat. Mereka mulai lebih kooperatif dengan rencana Nina, dan sesekali membiarkannya bersantai tanpa harus memikirkan segalanya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments