Danuh adalah anak sulung dari dua bersaudara, adiknya perempuan bernama Kiara. ibunya bernama Bu Ani. Bapaknya bernama Wahyudi. Saat itu Bu Ani menyiapkan makan siang untuk Danuh dan Kiara, sedangkan pak Wahyudi bekerja dikantornya
Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, kehidupan keluarga kecil Pak Wahyudi dan Bu Ani berjalan penuh kesederhanaan. Danuh, anak sulung yang berusia 15 tahun, dikenal sebagai anak yang rajin dan pendiam. Sementara itu, Kiara, adik perempuannya yang berusia 10 tahun, adalah sosok yang ceria dan selalu riang gembira. Mereka tumbuh di bawah asuhan penuh kasih dari Bu Ani, seorang ibu rumah tangga yang telaten, dan Pak Wahyudi, seorang pegawai kantoran yang bekerja keras demi keluarga.
Hari itu, sinar matahari masuk melalui celah jendela dapur saat Bu Ani menyiapkan makan siang. Aroma tumis kangkung dan ayam goreng memenuhi ruangan. Kiara sedang duduk di meja makan, menggambar sesuatu di buku gambarnya sambil sesekali mencuri pandang ke arah dapur. Sementara itu, Danuh baru saja pulang dari sekolah dan meletakkan tasnya di kursi ruang tamu.
"Danuh, cuci tangan dulu, ya. Sebentar lagi makan siang," panggil Bu Ani sambil mengaduk sup di panci.
"Iya, Bu," jawab Danuh sambil berjalan menuju kamar mandi.
Kiara, yang tak sabar menunggu, menghampiri ibunya. "Ibu, aku lapar sekali! Ayamnya sudah matang belum?" tanyanya dengan nada manja.
Bu Ani tersenyum dan mencubit pelan pipi Kiara. "Sabar, Nak. Lima menit lagi, ya. Kamu bantu ibu siapkan piring di meja, ya?"
Kiara mengangguk dan mulai mengambil piring dari rak. Dengan hati-hati, ia meletakkannya di meja makan sambil bersenandung kecil. Tak lama kemudian, Danuh kembali ke ruang makan dengan wajah yang sudah terlihat segar setelah mencuci muka.
"Ini lauknya," kata Bu Ani sambil membawa piring berisi ayam goreng dan sepanci sup. Ia meletakkannya di tengah meja. "Ayo, kita makan. Ayah kalian baru pulang nanti malam, jadi sekarang makan bertiga dulu."
Ketiganya duduk di meja makan. Kiara langsung meraih sepotong ayam, sementara Danuh mengambil nasi secukupnya. Mereka makan dengan lahap, menikmati masakan sederhana Bu Ani yang selalu terasa istimewa.
"Bu, tadi di sekolah ada pengumuman lomba," kata Danuh tiba-tiba. "Lomba apa?" tanya Bu Ani sambil menyendokkan sup ke mangkuk Kiara.
Suatu hari Pak Wahyudi dan Bu Ani, orang tua Danuh dan Kiara, meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan tragis. Peristiwa ini meninggalkan luka mendalam bagi kedua anak mereka. Danuh, sebagai anak sulung, merasa bertanggung jawab untuk menjaga adiknya, Kiara, yang masih kecil. Kehilangan orang tua mereka memaksa Danuh untuk tumbuh dewasa lebih cepat, menghadapi kenyataan hidup yang keras sambil memastikan Kiara tetap mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang cukup.
Flashback
"Lomba cerdas cermat, Bu. Guruku bilang aku harus ikut," jawab Danuh.
Bu Ani tersenyum bangga. "Wah, bagus sekali! Kamu harus ikut, Danuh. Ibu yakin kamu bisa menang."
Kiara yang mendengar itu langsung bersorak. "Kak Danuh pasti menang! Kak Danuh kan pintar!"
Danuh tersenyum malu-malu, tapi dalam hatinya ia merasa senang karena didukung oleh ibu dan adiknya.
Di sisi lain, di sebuah kantor kecil di pusat kota, Pak Wahyudi sedang sibuk bekerja di depan komputernya. Sebagai seorang pegawai administrasi, tugasnya cukup padat, mulai dari menyusun laporan hingga berkoordinasi dengan rekan-rekannya. Hari itu, ia menghadapi tekanan dari atasannya untuk menyelesaikan laporan bulanan yang jumlahnya tidak sedikit.
"Wahyudi, ini data yang saya minta sudah selesai?" tanya Pak Arif, atasannya yang terkenal tegas.
"Sudah hampir selesai, Pak. Saya tinggal merapikan bagian akhirnya," jawab Pak Wahyudi sambil menunjukkan lembaran dokumen di mejanya.
"Bagus. Tapi saya butuh ini sebelum jam lima. Jangan sampai terlambat," kata Pak Arif sebelum pergi meninggalkan meja Pak Wahyudi.
Pak Wahyudi menghela napas panjang. Ia tahu bahwa pekerjaan ini penting, tetapi di sisi lain ia merasa lelah karena harus terus-menerus dikejar deadline. Meski begitu, ia tetap berusaha keras menyelesaikan tugasnya karena ia tahu betapa pentingnya pekerjaannya untuk menghidupi keluarganya.
Ketika jam menunjukkan pukul lima sore, Pak Wahyudi akhirnya menyelesaikan pekerjaannya. Ia menyerahkan dokumen tersebut kepada Pak Arif, lalu bersiap pulang ke rumah.
Dalam perjalanan pulang, pikirannya melayang ke keluarga kecilnya. Ia membayangkan senyum Bu Ani saat menyambutnya di pintu, suara ceria Kiara, dan obrolan santai bersama Danuh. Semua itu selalu menjadi penghibur di tengah kesibukannya.
Setelah makan malam, Danuh duduk di meja belajarnya. Ia membuka buku-buku pelajaran dan mempersiapkan diri untuk lomba cerdas cermat yang akan diikutinya. Dalam hati, ia bertekad untuk memberikan yang terbaik, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarganya.
Kiara yang sudah selesai menggambar mendekati kakaknya. "Kak, nanti kalau menang, hadiahnya apa?"
"Katanya sih, uang tunai sama piala. Kalau menang, uangnya buat beli sesuatu yang kita butuhin di rumah," jawab Danuh.
Mendengar itu, Kiara tersenyum lebar. "Kak Danuh memang baik! Aku pasti dukung kakak!"
Bu Ani yang sedang menjahit di sudut ruangan ikut mendengarkan percakapan mereka. "Danuh, kamu belajar yang rajin, ya. Tapi jangan terlalu memaksakan diri. Ibu selalu bangga sama kamu."
Danuh mengangguk. Kata-kata ibunya selalu menjadi motivasi terbesarnya. Ia ingin suatu hari nanti bisa membanggakan keluarganya dengan menjadi seseorang yang sukses.
Persiapan Danuh dan timnya tidak main-main. Setiap hari setelah jam sekolah, mereka berlatih menjawab berbagai soal di bawah bimbingan guru pembimbing yang tegas namun mendukung. Tidak hanya itu, Danuh juga meluangkan waktu malamnya untuk membaca buku ensiklopedia, belajar sejarah, serta melatih kecepatan menjawab.
Hari perlombaan pun tiba. Di aula besar yang dipenuhi pendukung dari berbagai sekolah, Danuh berdiri dengan percaya diri di podium bersama dua rekannya. Babak demi babak berlalu, dan pertanyaan-pertanyaan semakin sulit. Namun, berkat kerja sama tim yang solid dan strategi yang matang, mereka berhasil menjawab dengan tepat di saat-saat penting.
Saat pengumuman pemenang, suasana tegang menyelimuti aula. Ketika nama tim mereka diumumkan sebagai juara pertama, seluruh tim melompat kegirangan. Danuh merasa perjuangan dan kerja keras mereka terbayar lunas. Selain mendapatkan piala bergengsi, ia juga belajar bahwa kerja sama dan ketekunan adalah kunci kesuksesan.
Setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa kedua orang tua mereka, hidup Danuh dan Kiara berubah drastis. Kehilangan itu tidak hanya membawa duka mendalam, tetapi juga beban tanggung jawab yang besar bagi Danuh. Sebagai anak sulung, Danuh yang saat itu baru berusia 15 tahun, harus menggantikan peran sebagai kepala keluarga sekaligus kakak yang menjadi sandaran bagi Kiara, adiknya yang baru berusia 7 tahun.
Mereka tinggal di rumah kecil peninggalan orang tua, yang kini terasa lebih sepi. Awalnya, banyak kerabat dan tetangga yang membantu mereka, namun seiring berjalannya waktu, bantuan itu mulai berkurang.
Danuh sering terjaga di malam hari, memikirkan bagaimana cara memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti makan, membayar tagihan, dan memastikan Kiara tetap bisa bersekolah.
Kiara, yang belum sepenuhnya memahami arti kehilangan, sering bertanya kapan ayah dan ibu akan pulang. Pertanyaan itu membuat hati Danuh hancur, tapi ia selalu berusaha menjawab dengan lembut.
Dengan uang tabungan orang tua yang semakin menipis, Danuh harus berpikir keras untuk bertahan hidup.
Ia mulai mencari cara untuk mendapatkan penghasilan, seperti menjual barang-barang yang tidak terlalu penting atau menerima pekerjaan serabutan dari tetangga.
Makanan sederhana seperti nasi dan telur menjadi menu sehari-hari. Kadang-kadang, Danuh memilih untuk tidak makan agar Kiara bisa kenyang.
Kehilangan itu juga memengaruhi kehidupan sosial mereka.
Danuh terpaksa menolak ajakan teman-temannya untuk bermain atau belajar bersama karena harus menjaga rumah dan Kiara.
Kiara, yang dulunya ceria dan mudah berteman, mulai menarik diri. Di sekolah, ia sering melamun dan tampak murung. Guru-guru merasa prihatin dan mencoba membantu, tapi Kiara lebih suka berbicara dengan Danuh.
Hidup mereka yang sulit mempererat hubungan kakak-adik itu.
Setiap malam, sebelum tidur, Danuh menceritakan dongeng kepada Kiara untuk menenangkannya. Meski lelah, ia selalu memastikan Kiara merasa aman dan dicintai.
Kiara, meskipun masih kecil, sering menunjukkan perhatian kepada Danuh. Ia membantu mencuci piring, menyapu lantai, atau menggambar sesuatu untuk menghibur kakaknya.
Meski situasinya sulit, Danuh tidak ingin menyerah. Ia percaya bahwa pendidikan adalah jalan keluar dari kemiskinan mereka.
Danuh bertekad untuk tetap bersekolah sambil merawat Kiara. Ia yakin bahwa suatu hari ia bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan memberikan kehidupan yang layak bagi adiknya.
Kiara, di sisi lain, selalu mengingatkan Danuh untuk tetap tersenyum. Meskipun kehilangan orang tua, mereka saling mendukung dan menjadi sumber kekuatan satu sama lain.
Di tempat kerja, Danuh melakukan kesalahan.
Di ruang tamu yang sepi, Kiara duduk di samping Danuh yang terlihat termenung. Danuh memegang sebuah buku catatan yang penuh coretan.]
Kiara: (menggeser duduk mendekati Danuh) Kak, kok mukanya murung gitu? Lagi mikirin apa sih?
Danuh: (menghela napas) Aku ngerasa nggak mampu, Ki. Semua usaha ini kayak nggak ada hasilnya. Aku udah coba berkali-kali, tapi tetap aja gagal.
Kiara: (mencondongkan tubuh, menatap serius) Kak Danuh, ingat nggak waktu kita main layangan bareng? Berapa kali Kakak jatuhin layangan sebelum bisa terbang tinggi?
Danuh: (tersenyum tipis) Banyak banget, Ki. Kayaknya lebih dari sepuluh kali.
Kiara: Nah, tapi akhirnya Kakak bisa kan? Layangan itu nggak langsung terbang, Kak. Perlu angin yang pas, tarik-ulur benang, dan kesabaran. Sama kayak hidup. Kalau sekarang belum berhasil, bukan berarti Kakak nggak mampu. Kakak cuma perlu waktu.
Danuh: (menatap Kiara, sedikit terharu) Tapi aku takut, Ki. Kalau terus gagal, gimana?
Kiara: (memegang tangan Danuh) Gagal itu bukan akhir, Kak. Gagal itu pelajaran. Lihat aku deh. Waktu aku gagal pas ujian Matematika, Kakak bilang apa? “Jangan menyerah, Ki. Kesalahan itu cara kita buat belajar lebih baik.” Nah, sekarang aku balikin ke Kakak. Kakak cuma perlu percaya sama diri sendiri, sama usahanya Kakak.
Danuh: (tersenyum lebar, menepuk bahu Kiara) Kamu ini kecil-kecil kok bijak banget ya?
Kiara: (tertawa kecil) Kan aku belajar dari Kakak. Lagian, aku selalu percaya sama Kak Danuh.
Danuh: (dengan penuh semangat) Makasih ya, Ki. Aku jadi ingat kenapa aku nggak boleh nyerah. Kamu selalu bikin aku merasa lebih kuat.
Kiara: (berdiri sambil merentangkan tangan) Itu gunanya adik! Jadi penyemangat Kakaknya. Ayo, bangkit lagi, Kak!
Danuh: (mengangguk mantap) Siap, Bos Kecil!
Mereka tertawa bersama, suasana hati Danuh mulai cerah kembali
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments