Kiani adalah anak bungsu. Kiani mempunyai dua orang kakak laki-laki. kakak laki-laki yang pertama bernama Fajar, kakak laki-laki yang kedua bernama Lazuardi. Ibunya bernama Bu Poppy, bapaknya bernama pak Dede. Mereka hidup bahagia di Lumajang.
Matahari baru saja menampakkan diri di ufuk timur, menciptakan semburat jingga di langit pagi. Udara segar menguar, membawa aroma embun dan wangi dedaunan yang masih basah. Burung-burung berkicau riang, seperti memulai simfoni alam yang menenangkan jiwa. Rumah Pak Dede, sebuah rumah sederhana dengan halaman yang luas, mulai dipenuhi aktivitas pagi.
Mas Lazuardi, pria bertubuh tinggi dengan rambut hitam yang selalu disisir rapi, mengenakan kaos olahraga berwarna biru langit dan celana pendek. Ia memegang seutas tali skipping yang sudah lusuh tetapi masih kokoh. Dengan gerakan penuh semangat, ia mulai melompat. Tali itu berputar dengan ritme yang konsisten, menghasilkan bunyi “srek-srek” setiap kali menyentuh tanah. Keringat mulai membasahi dahinya, tapi senyum tipis tak pernah lepas dari wajahnya.
“Lazu, jangan terlalu memaksakan diri. Ingat, hari ini kamu harus ke bengkel juga, kan?” seru Pak Dede dari teras rumah. Ia sedang duduk santai, menyeruput secangkir kopi hitam sambil membaca koran.
“Tenang saja, Pak. Saya cuma pemanasan,” jawab Lazuardi sambil terus melompat. “Lagipula, olahraga pagi itu penting, biar tubuh tetap bugar.”
Di dapur, Kiani, putri bungsu keluarga itu, sibuk membantu Bu Poppy menyiapkan sarapan. Gadis remaja itu mengenakan apron kuning dengan motif bunga-bunga kecil. Ia sedang memotong roti menjadi bentuk segitiga, sambil sesekali mencuri pandang ke arah halaman melalui jendela dapur.
“Mas Lazuardi itu rajin sekali ya, Bu,” ujar Kiani sambil tersenyum.
“Memang. Lazu itu orangnya disiplin. Kamu harus belajar banyak dari dia,” jawab Bu Poppy sambil mengaduk adonan pancake. Tangannya cekatan, mencampur tepung, susu, dan telur hingga adonan itu mengental sempurna.
Di sisi lain halaman, Mas Fajar, kakak tertua Lazuardi, sedang membantu Pak Dede mencuci mobil. Fajar adalah pria berusia tiga puluhan dengan tubuh tegap dan senyum ramah yang selalu menghiasi wajahnya. Ia mengenakan kaos putih polos yang kini basah di beberapa bagian karena cipratan air.
“Pak, kalau bagian bawahnya ini sudah cukup bersih, ya?” tanya Fajar sambil menunjuk ke arah bumper mobil.
Pak Dede melirik ke arah yang ditunjuk Fajar. “Coba gosok lagi sedikit. Biasanya kotoran itu suka menempel di bagian bawah. Pakai sikat yang ini saja, biar lebih bersih.”
Fajar mengangguk dan segera mengambil sikat yang dimaksud. Ia jongkok, lalu mulai menyikat bagian bawah mobil dengan teliti.
“Mas, ini handuknya,” Kiani datang menghampiri sambil membawa handuk kecil.
“Wah, makasih, Ki. Pas banget lagi butuh,” ujar Fajar sambil menyeka keringat di wajahnya.
Di tengah semua kesibukan itu, suasana rumah tetap terasa hangat. Setiap orang tampak menikmati perannya masing-masing, menciptakan harmoni yang sulit dijelaskan dengan kata-kata
Mas Lazuardi adalah sosok pria bertubuh tinggi dengan postur tubuh yang tegap, mencerminkan kedisiplinan yang tertanam kuat dalam dirinya. Rambutnya hitam legam, selalu disisir rapi ke samping, memberikan kesan elegan dan teratur. Wajahnya oval dengan kulit yang sedikit kecokelatan akibat sering terpapar sinar matahari. Mata hitamnya tampak tajam namun teduh, seperti mampu menenangkan siapa saja yang melihatnya.
Setiap gerakannya terlihat mantap dan penuh perhitungan, mencerminkan kepribadian yang tenang namun tegas. Saat berbicara, suaranya terdengar jelas dan berwibawa, menambah karisma yang sudah dimilikinya. Pilihan pakaian yang ia kenakan pun sederhana namun rapi, menunjukkan bahwa ia adalah seseorang yang menghargai penampilan tanpa harus berlebihan.
Di tengah kesibukannya, senyum hangatnya selalu hadir, memancarkan keramahan yang membuatnya mudah disukai oleh orang-orang di sekitarnya. Ia adalah pribadi yang disiplin dan penuh dedikasi, baik dalam menjalani aktivitas sehari-hari maupun dalam menjaga hubungan dengan keluarga dan teman-temannya.
Fajar, seorang pria di awal usia tiga puluhan, memiliki tubuh tegap yang mencerminkan kekuatan dan kesehatan fisiknya. Wajahnya yang berbentuk oval tampak berseri, dihiasi dengan senyum ramah yang seolah tak pernah lepas dari bibirnya. Senyum itu, hangat dan tulus, mampu menarik perhatian siapa saja yang melihatnya. Matanya yang tajam memancarkan semangat, namun di balik ketegasannya terselip kelembutan yang membuat orang merasa nyaman. Setiap kali ia berbicara, suaranya yang tenang dan penuh keyakinan membuat orang lain mudah percaya dan menghormatinya. Kehadirannya memancarkan aura positif, membuatnya menjadi sosok yang selalu dirindukan dalam setiap pertemuan.
Bu Poppy adalah sosok ibu yang penuh kasih sayang dan selalu memancarkan kebaikan hati dalam setiap tindakannya. Dengan senyum lembut yang selalu menghiasi wajahnya, ia menjadi tempat perlindungan bagi keluarganya. Bu Poppy dikenal sebagai pribadi yang rajin menabung, mengelola keuangan dengan bijak demi masa depan yang lebih baik. Kebijaksanaannya terlihat dalam setiap keputusan yang diambil, selalu memikirkan kepentingan bersama. Meskipun memiliki banyak kelebihan, Bu Poppy tetap rendah hati dan tidak sombong. Ia mudah bergaul dengan siapa saja, selalu menghargai orang lain tanpa memandang latar belakang. Kehadirannya tidak hanya membawa kehangatan di rumah, tetapi juga menjadi inspirasi bagi orang-orang di sekitarnya.
Pak Dede adalah sosok bapak yang dikenal dengan kepribadiannya yang unik, menggabungkan sifat humoris dan tegas dalam dirinya. Ia selalu berhasil mencairkan suasana dengan candaan ringan yang mampu membuat orang-orang di sekitarnya tertawa lepas. Wajahnya sering kali dihiasi senyum ceria, namun tatapan matanya yang tajam menunjukkan ketegasan yang tidak bisa diabaikan. Dalam setiap keputusan, Pak Dede selalu tegas dan adil, memastikan bahwa segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya. Namun, di balik ketegasannya, ia memiliki hati yang hangat dan selalu siap membantu orang lain. Kepribadiannya yang penuh warna membuatnya dihormati sekaligus disukai oleh banyak orang.
Aroma pancake yang baru matang menyebar memenuhi ruangan, menggugah selera siapa saja yang menciumnya. Wangi manis dari adonan yang kaya akan mentega bercampur sempurna dengan harum hangat vanila. Aroma karamel yang lembut muncul dari bagian tepi pancake yang sedikit renyah karena panggangan sempurna. Jika ditambah siraman maple syrup atau olesan mentega, wangi manisnya semakin intens, mengundang imajinasi rasa yang lembut, manis, dan sedikit gurih. Bau ini seperti pelukan hangat di pagi hari, membawa kenyamanan dan rasa lapar yang tak tertahankan.
Keringat di dahi Lazuardi membentuk butiran kecil yang perlahan-lahan mengalir di kulitnya yang kecokelatan. Di bawah sinar matahari yang terik, butiran itu memantulkan cahaya seperti kristal, memberikan kesan mengilap. Beberapa tetes menggantung di ujung alisnya sebelum akhirnya jatuh, meninggalkan jejak tipis di wajahnya yang memerah karena panas. Setiap gerakan kecilnya membuat butiran keringat itu berkilauan seolah berlomba untuk menarik perhatian, menambah kesan dramatis di tengah suasana yang terik dan melelahkan.
Di lantai garasi yang basah, air mengalir pelan membentuk alur kecil yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Tetesan air dari spons yang digunakan Fajar jatuh dan memercik, meninggalkan jejak lingkaran-lingkaran kecil pada lantai keramik abu-abu. Suara gemericik lembut terdengar saat ia memeras spons, memercikkan butiran air yang berterbangan seperti kristal sebelum lenyap menyatu dengan genangan.
Fajar berdiri dengan kaki sedikit tertekuk, celana olahraga hitamnya mulai lembap di ujung karena cipratan. Bau sabun cuci mobil yang segar bercampur dengan aroma basah dari beton garasi memenuhi udara. Di dekatnya, selang hijau mengular, ujungnya memuntahkan aliran air yang menghantam ban mobil dan memantul, menciptakan percikan-percikan kecil seperti gerimis. Setiap gerakannya menghasilkan suara yang serasi—gesekan spons, bunyi air menetes, dan langkah kakinya yang sesekali menyentuh lantai yang licin.
Lazuardi: "Pagi, Kiani. Jadi, gimana rencananya hari ini? Kita tetap ke pameran seni dulu atau langsung ke taman kota?"
Kiani: "Pameran seni dulu, dong. Aku penasaran sama karya instalasi yang katanya bisa interaktif itu. Tapi, kita nggak kelamaan, ya. Aku juga pengin ke taman buat piknik."
Lazuardi: "Setuju. Kalau kita berangkat pagi, bisa sampai sana sebelum ramai. Terus, untuk pikniknya, kamu udah siapin apa?"
Kiani: "Aku bawa sandwich, salad buah, sama jus jeruk. Oh, sama aku bawa selimut buat duduk juga. Kamu bawa apa?"
Lazuardi: "Aku bawa termos kopi sama beberapa camilan ringan. Lagian, aku tahu kamu bakal siapin makanan utamanya, jadi nggak mau terlalu ribet."
Kiani: (tertawa kecil) "Tahu banget, ya, siapa yang suka repot di sini. Tapi jangan lupa, mas yang tanggung jawab bawain gitar, ya."
Lazuardi: "Tenang aja. Gitar udah aku set di mobil sejak semalam. Kita bakal bikin taman itu jadi konser kecil, nih."
Kiani: *(tersenyum) "Oke, kalau gitu kita berangkat jam sembilan, ya? Biar nggak buru-buru."
Sementara itu, pak Dede dan Fajar sedang asik membahas tentang masa lalu
Pak Dede: "Fajar, kamu tahu nggak? Waktu dulu, pas saya seumuran kamu, hidup itu nggak semudah sekarang."
Fajar: "Memangnya dulu kenapa, Pak? Bukannya dulu nggak banyak aturan kayak sekarang?"
Pak Dede: "Betul, aturan nggak sebanyak sekarang. Tapi, fasilitas juga nggak ada. Mau sekolah aja, saya harus jalan kaki tujuh kilometer tiap hari."
Fajar: "Serius, Pak? Jalan kaki tujuh kilometer? Kalau hujan, gimana?"
Pak Dede: "Ya diterjang saja, nak. Kalau nggak gitu, kapan saya mau pintar? Beda sama kamu sekarang, ada motor, ada ojek online. Dulu, mana ada semua itu."
Fajar: "Iya juga, sih. Tapi, dulu kayaknya orang-orang lebih saling bantu, ya, Pak?"
Pak Dede: "Itu benar. Waktu saya kecil, kalau ada tetangga panen, mereka suka bagi-bagi hasil ke semua orang. Sekarang, kalau panen, langsung dijual ke pasar, nggak ada cerita bagi-bagi lagi."
Fajar: "Iya, Pak. Sekarang kayaknya individualistis banget. Tapi zaman dulu kayaknya seru, ya?"
Pak Dede: "Seru? Hahaha, ya seru kalau dipikir sekarang. Dulu sih capek, nak. Tapi ya, memang kenangan itu selalu jadi indah kalau sudah berlalu."
Fajar: "Iya, saya setuju, Pak. Cerita Bapak ini bikin saya sadar, saya harus lebih bersyukur dengan apa yang saya punya sekarang."
Pak Dede: "Bagus kalau kamu bisa ambil pelajaran. Hidup itu harus pandai-pandai bersyukur dan berbagi, Fajar. Supaya nggak cuma kamu yang bahagia, tapi orang di sekelilingmu juga."
Lazuardi menatap lapangan kosong di depannya, rumputnya yang hijau tersapu cahaya sore. Sepi. Namun, dalam keheningan itu, kenangan mulai menyeruak, membawanya kembali ke masa kecilnya—masa yang dulu terasa berat dan penuh pergulatan batin.
Saat itu, Lazuardi hanyalah seorang anak kecil yang sering merasa terkucil. Tubuhnya tak sekuat teman-temannya, langkahnya sering tertinggal saat bermain di halaman sekolah. Ia tak pernah dipilih lebih dulu untuk bergabung dalam tim olahraga. Hatinya sering teriris, meski ia berusaha menyembunyikannya dengan senyuman.
Namun, semuanya berubah pada suatu sore, ketika ia sedang duduk di tangga sekolah, mengamati teman-temannya bermain bola di lapangan. Kakinya yang kecil mengayun pelan, menciptakan irama tak beraturan di lantai semen. Tiba-tiba, seorang guru olahraga menghampirinya.
“Lazuardi, kenapa cuma duduk di sini? Kenapa nggak main?” suara lembut tapi tegas itu membuatnya menoleh. Guru itu, Pak Haris, terkenal karena kesabarannya.
Lazuardi menunduk, menggenggam ujung bajunya. “Saya nggak bisa, Pak. Saya lemah… Teman-teman nggak suka kalau saya ikut main.”
Pak Haris tersenyum kecil, lalu jongkok di hadapannya. “Kamu tahu, olahraga itu bukan cuma soal menang atau kuat. Ini soal kamu lawan dirimu sendiri. Mau coba?”
Awalnya, Lazuardi ragu. Tapi, dorongan kecil dari Pak Haris mengubah segalanya. Hari itu, Pak Haris mengajarinya menggiring bola. Setiap langkah kecil yang berhasil ia ambil di lapangan terasa seperti kemenangan besar di hatinya. Ketika kakinya akhirnya mampu menendang bola ke gawang, tawa kecil meluncur dari bibirnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa dirinya berharga.
Sejak saat itu, olahraga menjadi dunia baru bagi Lazuardi. Lapangan yang dulu tampak asing kini menjadi tempat di mana ia merasa hidup. Meski tubuhnya tak sempurna, ia belajar mengandalkan semangatnya. Tak peduli seberapa banyak ia jatuh, ia selalu bangkit kembali.
Kembali ke masa kini, Lazuardi menghela napas panjang. Ia mengangkat bola di tangannya, lalu melemparkannya tinggi ke udara. Matahari yang hampir tenggelam mengukir bayangan dirinya di rumput hijau.
“Terima kasih, Pak Haris,” gumamnya pelan, seolah berbicara kepada angin. “Karena Bapak, aku tahu caranya mencintai diriku sendiri.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments